Haji: Selamat Tinggal aku
27 June 2022
Dunia bukanlah tempat abadi buat kita. Ia tak lebih hanya perlintasan yang harus kita lewati. Jika kita bersikeras menetap di perlintasan ini, kita takkan sampai pada tujuan yang hakiki dan abadi. Juga tak berlabuh di medan kebahagiaan yang kekal.
Andai kita pengin sampai pada tujuan yang agung, maka kita harus meninggalkan perkara kecil yang kita cintai. Seperti halnya jika kita hendak menuju sebuah tempat, kita harus meninggalkan medan yang kita tempati sekarang.
Siapa tujuan kita? Tujuan, seharusnya lebih agung daripada yang menuju. Artinya, lebih agung daripada kita. Tujuan abadi jiwa kita adalah Allah SWT. Karena Dialah sumber dari segala kebahagiaan hidup kita. Pencapaian seperti apapun tanpa mendapatkan-Nya, apalagi terlempar dari sisi-Nya, hidup akan melulu diharu-biru kebingungan tak berujung.
Karena itu, kita perlu selalu berpegang teguh pada Rukun Islam yang menjadi alur perjalanan tercepat menuju Allah. Via Rukun Islam, kita akan memperdekat jiwa pada Allah SWT. Mula-mula, mendeklarasikan Allah SWT sebagai satu-satunya tujuan dan Rasulullah Muhammad SAW sebagai satu-satunya jalan dan teladan agar terbimbing untuk berlabuh pada puncak tujuan tersebut.
Shalat meneguhkan orientasi kita agar tidak ambyar. Hanya Allah sebagai orientasi hidup kita. Shalat memandu kita agar fokus pada Allah semata. Dan jiwa menemukan ketenangan ketika menghadap pada Allah SWT.
Setelah tekad teguh, selanjutnya kita melangkah untuk tantangan pertama, yakni dunia. Cetusan kesadaran ini direalisasikan secara aplikatif lewat zakat. Bermacam kemilau dunia yang begitu memukau jiwa tak boleh menjerat kita, karena berdampak pada lalainya kita terhadap tujuan yang sebenarnya.
Memang, kita hidup di dunia, tapi jangan pernah terkurung oleh bermacam sihir duniawi. “Hidup di dunia,” kata guru mulia, “tapi jangan mendunia.”
Kita tak boleh membenci dunia karena kita tinggal di dunia, dan dunia tempat kita melakukan sujud dan beribadah pada Allah. Dunia sebagai medan beramal menghimpun bekal untuk kehidupan akhirat. Dunia hanya akan kita lewati, lalu kita tinggalkan. Lebih tepatnya, dunia adalah tempat singgah sementara. Sejenak saja. Tempat abadi kita di akhirat.
Karena itu, kita tidak layak mencintai—melekat—pada perkara yang nyata-nyata akan kita tinggalkan. Tengoklah sejarah penguasa atau orang kaya terdahulu. Mereka telah mendulang berbagai prestasi duniawi dengan sangat menakjubkan. Akan tetapi, pada akhirnya mereka pulang tak membawa apa-apa. Hanya amal kebaikan yang menemani mereka. Andai seseorang sama sekali tak punya tabungan amal kebaikan, maka akhirat akan menjelma menjadi camp penyiksaan dan penderitaan yang tak terperikan.
Setelah kita tak lagi melekat pada harta duniawi, berikutnya kita melintasi tantangan akhirat. Kita lintasi akhirat melalui puasa. Yah, puasa sebuah ungkapan selamat tinggal pada akhirat.
Selagi orang tertambat hidupnya pada perkara duniawi, dia akan terhalang mereguk kebahagiaan di akhirat. Dan selagi orang terjebak oleh orientasi kehidupan akhirat, dia terlarang mendapatkan perjumpaan dengan Allah SWT. Karena itu, puasa menjadi pembimbing kita untuk menjadikan Allah sebagai tujuan satu-satunya.
Orientasi akhirat memang bagus, tapi jangan sampai menjadi hijab bagi kita untuk terhubung dengan Allah SWT. Jika seseorang telah melepaskan orientasi akhirat, maka ia akan menjadi kekasih Allah. Menerjemahkan akhlak Allah dalam kehidupannya. Dia telah terbebas dari orientasi makhluk, entah disebut dunia atau akhirat.
Meski kita telah berhasil melintasi dunia dan akhirat, tersisa satu lagi tantangan yang harus kita lewati. Siapa itu? Itulah diri sendiri. Disebut aku individual. Aku palsu. Kita harus melampaui aku palsu ini. Selama orang tertipu oleh aku palsu, maka dia takkan bersua dengan Aku yang asli.
Kita—menurut para sufi—tidak ada. Tidak ada secara independen. Kita hanya diadakan oleh Allah. Makhluk disebut wujud mumkin. Sementara Allah adalah wujud mutlak.
Sejatinya kita tidak ada. Kita—tak lebih—hanya bayangan dari Ada yang sejati. Bagaikan orang yang bercermin. Dia melihat dirinya terpampang di cermin. Ketika ditanya, “apakah gambar yang ada di cermin itu adalah dirimu?” “Tentu saja diriku!”, jawabmu. “Apakah benar-benar dirimu?”, kembali ditanya. “Tidak. Itu hanya gambar dari diriku.”
Begitulah, kita sejatinya tidak ada. Kita hanyalah pantulan dari sifat Allah. Oleh karena itu, jangan pernah merasa punya eksistensi sendiri. Kuasa kita sebagai pantulan dari Kuasa (Qudrah)-Nya, kehendak kita sebagai refleksi dari Kehendak (Iradah)-Nya. Ilmu kita hanyalah pancaran dari Ilmu-Nya, dan hidup kita berasal dari Hidup-Nya. Sifat-sifat itu bersumber dari Allah, dan memantul pada kita.
Jika demikian, tidak ada wujud kecuali wujudullah. Kita—sekali lagi—tak lebih hanya sekadar bayangan. Bayangan berserah diri pada yang punya bayangan. Dikala orang telah berserah diri total pada Allah, maka dia telah menggapai untuk apa dia melakukan haji. Itulah mengapa Imam al-Ghazali menganjurkan agar selama haji tidak bercermin. Karena bercermin akan menimbulkan perasaan aku ada. Padahal yang sebenar-benarnya ada hanya Allah SWT.
Dan ingatlah, ketika orang telah berserah diri total pada Allah, maka Allah tidak hanya memberinya kenikmatan dunia, tapi kenikmatan akhirat pun akan Allah serahkan. Bahkan, Allah menyerahkan Diri-Nya padanya. Artinya, Allah akan menyematinya dengan sifat-sifat-Nya yang baik. Alias berakhlak dengan akhlak Allah. Adakah nikmat yang lebih agung daripada mendapatkan sifat-sifat Allah yang Mahaindah?
Masya Allah ......matur nuwun Ustadz 🙏
ReplyDelete