-->

Saat Rumahku Tak Lagi Surga

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Saat Rumahku Tak Lagi Surga

14 July 2022

Saat Rumahku Tak Lagi Surga

14 July 2022



Rumah bukan hanya tempat tinggalnya fisik, tapi juga tempat berteduhnya jiwa. Lelaki sebagai tulang punggung keluarga. Ketika bekerja di kantor, disana harus berjibaku dengan tumpukan tugas yang tidak tuntas-tuntas. Ditambah lagi dengan tekanan kerja yang sangat berat. Tercapainya satu target disambut oleh target baru yang lebih besar. Perlu memeras otak lebih keras. 

Lebih berat lagi, dengan munculnya kompetisi dan rivalitas dalam perusahaan. Sarat intrik. Menginjak yang di bawah dan menjilat atasan. Lelah menyergap—tidak hanya—fisik, tapi juga merambat hingga ke jiwa. Rasa capek menghimpit seluruh tubuh. Keringat membanjiri sekujur tubuh. Lelah lahir dan batin telah menerjangnya. 

Praktis pulang ke rumah membawa setumpuk persoalan. Stress yang mendera. Akan tetapi, setibanya di rumah, disambut istri dengan senyum hangat, baju rapi, disiapkan teh hangat plus roti siap saji di depan meja. Apalagi anak menyambar dengan keceriaan melangit. Tak terasa seluruh rasa lelah yang menerpa tubuh dan batin mendadak sontak menguap, berganti kegirangan yang tak bertepi. 

Di luar rumah banyak toksik kebahagiaan, tapi penawarnya tersedia di rumah. Disana kita menanam cinta yang indah. Karena sering menyiram dengan air cinta, maka keluarga tumbuh segar dengan kebahagiaan. Kasih sayang pun tumbuh subur dalam rumah tangga.

Suami mencurahkan kasih sayang pada istri. Begitu juga istri, sayang pada suami disertai penghormatan yang penuh. Ayah-ibu sangat besar kasih sayangnya terhadap anak. Begitu juga anak terhadap kedua orang tuanya, sungguh besar pengagungannya. 

Rumah telah menjelma surga. Keluarga menghisap segala polusi yang datang dari luar. Setibanya di rumah, seorang suami bukan hanya sedang bersihkan badan dari segala kotoran dan keringat yang lengket di tubuh, tapi juga membersihkan kotoran yang terselip di pikiran dan hati. Keadaan tersebut akan dirasakan bila seluruh keluarga telah terbina menjadi keluarga yang sholeh. 

Surga Yang Hilang

Dikala hendak menikah, sudah terbayang di pikiran betapa besarnya kebahagiaan yang didulang dengan pasangan. Akan tetapi, kenyataan tak sepenuhnya sejalan dengan apa yang pernah diangankan - jika tak bisa disebut bertolak belakang.

Lahirnya ‘hape’ yang telah menyediakan segala kebutuhan, apalagi disertai dengan kian merebaknya media sosial, kita mendapati rumah tangga cenderung garing. Tidak lagi menjadi peneduh jiwa.

Seorang suami, misalnya, seharusnya mendapatkan suasana teduh, malah sering terlibat dalam silang pendapat dengan istri, lalu kemudian menjurus pada pertengkaran. 

Suami pulang dari kantor dengan membawa bermacam persoalan. Setibanya di rumah bukan malah menguras persoalan yang sedang menyesaki dadanya, melainkan  persoalan bertambah-tambah. Daya tekannya pun tambah meningkat. 

Suami yang pengin menyerap keteduhan di rumah akhirnya gagal meraih bahagia. Lalu dia ngacir ke warung sebelah rumah. Untuk apa? Menghindari omelan istri. 

Di warung pun kebahagiaan tak bisa dipulihkan. Tetap terpuruk di titik terendah. Di kantor sudah menderita. Setibanya di rumah, lagi-lagi derita yang dia rasakan. Seperti orang yang keluar neraka menuju neraka. 



Kalau kita amati, hadirnya teknologi bukan hanya merampas waktu produktif, lebih parah akibatnya adalah memusnahkan kemesraan yang selama ini terjalin antara suami istri. 

Kebahagiaan—cukup—didapatkan melalui akses media sosial yang jadi penyedia hiburan. Menyaksikan konten-konten lucu dianggap efektif mengusir kepenatan, meski tidak benar-benar menghilang.

Hiburan kocak yang kita akses lewat Youtube, misalnya. Mungkin akan dapat menghilangkan rasa lelah dan tertekan hanya dalam durasi yang bersifat sementara. Beberapa saat kemudian rasa lelah itu akan menyeruak lagi dengan volume yang lebih besar.

Seperti orang mengobati sakit gigi dengan obat anti nyeri. Memang sakitnya terasa hilang sementara. Beberapa saat kemudian sakit tersebut kembali terasa.

Sejak ‘hape’ semakin perkasa, ditambah dengan tersedianya bermacam fitur menarik, membuat orang bisa betah berlama-lama di depan layar hape. Sambil scrolling. Tiada habis-habisnya. 

Tak terasa, waktu 2 jam sudah terlewati tanpa mendapatkan pelajaran apa-apa. Waktu yang sebenarnya berharga menjadi sampah yang tiada guna di tangan orang yang gila teknologi komunikasi ini. 

Bukan hanya menggusur dan merampas waktu manusia yang berharga, tapi juga ‘hape’ turut menyeret manusia ke sudut-sudut individualisme. Terperangkap dalam memikirkan diri sendiri. Terjerat dalam jejaring, yang diistilahkan oleh Eric Fromm : man for himself  (manusia untuk diri sendiri). 

Semua gerak dan langkahnya hanya fokus untuk memperjuangkan dan memenuhi kepentingan diri sendiri. Tak peduli harus menerabas dan menabrak hak orang lain. 

Bayangkan, ketika suami, istri, dan anak berkumpul di ruang makan, misalnya. Disana, biasanya tertumpah berbincangan dan curhat. Mengalir bermacam ilmu yang turut menyegarkan pikiran dan hati.



Hingga datanglah zaman media sosial ditambah dengan game yang membuat orang ketagihan dan kecanduan. Keindahan meja makan telah tergusur. Jadi puing-puing pengalaman yang sulit untuk dihadirkan lagi. 

Mereka sedang fokus memandangi layar ‘hape’nya masing-masing. Suami sedang asyik berbalas komentar di akun facebooknya. Istri sedang hanyut oleh euforia yang ditawarkan Tik Tok. Bahkan, dia juga bergairah untuk menampilkan diri dengan gaya ibu-ibu. Anak tak mau kalah. Selain membuka video-video pendek yang lucu, juga menginstall game yang membuat jari-jemarinya tak mau berhenti bergerak.

Intinya, mereka bersama—secara fisik, tapi hatinya sedang terpisah. Saling membelakangi satu sama lain. Tak jarang, diantara mereka terjebak dalam pertengkaran. 

Hegemoni ‘hape’ yang begitu besar terhadap keluarga membuat mereka sibuk memenuhi impuls jasmani dan psikologis saja. Lalu lupa untuk memenuhi dimensi spiritualnya. Shalat berjamaah ditinggalkan, zikir-zikir diabaikan, majelis taklim dijauhi.

Keseluruhan hidupnya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hewaninya. Tak ayal, dia tampak sebagai manusia—secara fisik—tapi jiwanya tak lebih daripada hewan yang senantiasa meladeni perkara jasmani. 

Karena hubungan dengan Allah sangatlah rapuh, maka persoalan selalu datang dan pergi tanpa bisa meninggalkan hikmah. Tatkala persoalan memapar rumah tangga, mereka berebut untuk saling menyalahkan satu sama lain. Semuanya merasa benar. Tak ada yang merasa bersalah. 

Jika demikian setiap hari, maka rumah tangga alih-alih menjadi oase dan peneduh jiwa, malah akan selalu menjelma sebagai neraka yang membakar jiwa. 



Apakah yang menjadikan rumah tiba-tiba menjadi neraka? Ketika penghuninya telah terperangkap dalam keakuan masing-masing. Sibuk memenuhi kepentingan diri sendiri. Lupa bahwa kebahagiaan tumbuh melalui spirit saling memberi dan berbagi dengan penuh kasih sayang. Dan bukan dengan saling menuntut yang disertai rasa kurang yang terus-menerus mendera.

Bermula dari semangat memenuhi diri pribadi, cinta tidak tumbuh dalam rumah tangga. Mengalami kegersangan. Rumah tangga tak lagi jadi tempat mengunduh kebahagiaan. Tapi jadi ladang memetik penderitaan. 

Di rumah tak bisa memperoleh suasana surgawi, sehingga tak lagi memiliki daya panggil agar bisa segera pulang. Bahkan, lebih betah berlama-lama di luar rumah.

Karena bahagia tak lagi dapatkan di rumah, keluarga pengin mencari kebahagiaan di luar. Pergi ke tempat wisata eksotis yang dirasa lebih sanggup memanjakan mata dan lidah. 

Setelah semua menu wisata sudah dinikmati, bahagia tak juga dirasakan secara paripurna. Justru seperti ada rongga derita yang masih menetap di hati. Mereka tidak memeroleh kebahagiaan. Mereka hanya mendapatkan remah-remah kebahagiaan yang sifatnya sementara, sekaligus palsu. 



Memulihkan Surga di Rumah 

Kita bisa mendesain surga di rumah. Ketika kita telah menemukan surga di rumah, sudah barang tentu tak lagi terobsesi dengan kesenangan selintas yang tergelar di luar. 

Lalu bagaimana cara agar surga bisa kita rasakan di rumah? Surga akan dirasakan jika pasangan telah memulihkan hubungan yang baik dengan Allah. Menyuntikkan kesadaran cinta yang mendalam pada Allah.

Cinta pada Allah tidak berhenti pada kesadaran semata. Tapi berlanjut pada upaya merealisasikan cinta dalam tindakan nyata. Tercermin pada ibadah malamnya yang khusyuk, serta kesigapannya dalam berbagi pada sesama. 

Terbitnya dua perbuatan tersebut akan menyuburkan cinta pada Allah. Ingatlah cinta kita pada Allah sebagai refleksi cinta Allah pada kita. Artinya, cinta kita pada-Nya bukan berasal dari kita secara independen, melainkan berasal dari Allah.

Tergerak hati untuk mencintai Allah dengan nyata, berarti Allah telah mencintai kita. Tergenangnya cinta pada Allah dalam hati membukakan jalan kita untuk membagikan cinta pada sesama. Terutama cinta khusus yang dipersembahkan untuk pasangan. 

Terikatnya dua hati oleh cinta karena Allah berdampak pada terpancarnya kebahagiaan dalam rumah tangga. Karena, sekali lagi, pengikat cinta kita dengan pasangan bukan kita secara mandiri, melainkan karena Allah sangat mencintai kita. Dan Allah mengikatkan cinta kita dengan cinta Allah Yang Agung. 

Terjalinnya cinta karena Allah, lalu direalisasikan dengan amal-amal yang Allah ridhai, maka rumah tangga akan teramu oleh kebahagiaan. Suasana surga akan kembali menghiasi keluarga. Kedudukan keluarga tak bisa digantikan oleh apapun dalam menghadirkan kebahagiaan. Rumah dan penghuni selalu menjadi yang dirindukan.


BLANTERLANDINGv101
  1. orang yg baik, akan menunjukkan jalan keluarga mereka menuju surga
    orang yg lebih baik, akan membawakan surga u mereka
    sedangkan orang yg lebih baik lagi,
    akan menjadikan diri dan keluarganya adalah surga bagi sesama dan lingkungannya.
    ...
    Allahumma Sholli ala Muhammad wa ala alii Muhammad.

    ReplyDelete

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang