Rayakan Kemenangan Jiwa
11 July 2022
Fajar hari raya telah terbit. Takbir bergema dari berbagai penjuru. Bukan hanya melengking dari masjid. Di jalan-jalan pun, semarak takbir sangat terasa. Di pasar, takbir bergema. Takbir bersahut-sahutan pula di lapangan yang luas.
Semuanya bertakbir. Takbir sebagai ekspresi pengagungan pada Allah. Meski kita sering mendengar lantunan takbir, lalu diiringi bunyi beduk yang bertalu-talu, tetap saja takbir hari raya menyimpan kesan yang selalu istimewa yang tak pernah membuat pendengarnya bosan. Karena bermacam emosi tergenang dalam takbir. Rasa bangga, haru, dan rindu, semuanya bercampur menjadi penggenap kebahagiaan.
Takbir sebagai tanda syukur. Sejalan dengan apa yang dilakukan semesta; langit, bumi, dan segala apa yang ada di dalamnya, bertasbih pada Allah. Hanya saja, kebanyakan manusia tak memahami tasbih mereka.
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada suatu pun kecuali bertasbih dan memuji-Nya. Tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh Dia Maha Penyantun Maha Pengampun.” (QS. Al-Isra [17]: 44)
Ketika bertakbir, berarti bertasbih, kita sedang menjalin kesetaraan jiwa dengan seluruh semesta. Air yang mengalir jernih menuju muara sedang menggemakan tasbih. Angin sepoi-sepoi yang menerpa pepohonan pun bertasbih. Pepohonan yang bertumbuh sedang bertasbih. Binatang yang bergerak pun bertasbih. Intinya, dari debu hingga arsy, semuanya bertasbih pada Allah SWT.
Semesta bertasbih, termasuk tumbuhan dan binatang. Bertasbih berarti bersyukur pada Allah. Karena bersyukur terus-menerus pada Allah, maka semesta tak mengalami kelangkaan. Malah semakin berlimpah dan meruah. Bayangkan, kita tidak hanya menikmati buah yang pohonnya di tanam di negeri kita. Kita bisa menikmati buah yang pohonnya ditanam di negeri nun jauh disana. Dan buah itu selalu tersedia; kurma misalnya. Meski ditanamnya di Madinah, di Indonesia terasa sebagai buah lokal, karena masih mudah untuk didapatkan.
Kalau kita pengin menjadi orang dengan jiwa yang berkelimpahan, seharusnya takbir kita mengandung syukur pada Allah SWT. Memang takbir sebagai ekspresi syukur. Sebaliknya takabbur sebagai ekspresi kufur.
“…mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya kepadamu agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).
Mengapa kita masih perlu bertakbir di hari raya? Bukankah setiap hari, kita sudah bertakbir? Panggilan shalat dihiasi takbir, bahkan disela-sela shalat kita terselip takbir? Karena, selama ini takbir kita belum menjadi takbir yang sebenarnya. Takbir kita masih palsu. Takbir kita ucapkan dalam shalat, tapi tidak meresap hingga ke hati. Allah tidak benar-benar besar di hati kita.
Panggilan bos segera kita penuhi. Tanpa banyak mikir. Sementara panggilan Allah, kita masih sering menunda-nunda. Kehilangan uang rasanya menjadi musibah sangat besar, menguras emosi dan sekaligus menggerus kebahagiaan kita. Lain halnya, jika kita kehilangan shalat, kita anggap biasa-biasa saja. Berarti kita lebih rela menunda ibadah demi terpenuhinya kebutuhan duniawi. Padahal kita sadar bahwa penjamin rezeki bukan pekerjaan, melainkan Allah SWT. Namun tetap saja, hak-hak Allah tak begitu kita perhatikan.
Dalam shalat, kita mungkin mengagungkan Allah. Tapi di luar shalat, kita masih sering kepincut mengagungkan jabatan. Dalam shalat kita bertakbir, mengagungkan Allah. Ketika di luar shalat, kita lupa Allah, memilih mengagungkan popularitas dan pujian dari manusia. Dalam shalat kita mengagungkan Allah. Tapi di luar shalat kita terseret arus mengagungkan dunia dengan segala kemilaunya.
Selagi cinta belum tumbuh pada Allah SWT, maka takbir kita masih sebatas ucapan. Takbir tanpa nyawa. Sementara orang beriman harusnya menempatkan cinta pada Allah di atas segala-galanya. (lihat QS. At-Taubah: 24).
Kita perlu belajar pada Nabi Ibrahim as yang telah mengorbankan semuanya sebagai manifestasi cintanya pada Allah. Bagaimana beliau harus menjalani 10 perintah Allah yang teramat berat, tapi semuanya bisa terlewati.
Juga bagaimana beliau harus dilemparkan dalam kobaran api Namrud, misalnya. Namun beliau sama sekali tidak bersedih hati, karena beliau dibakar oleh cintanya pada Allah.
Puncaknya, bagaimana beliau harus mengorbankan anaknya -Ismail as, meski kemudian Allah ganti dengan kambing besar dari surga. Cinta, memang bukan sekadar kata-kata, tapi mewujud dalam pengorbanan yang nyata.
Dikala orang telah timbul cinta yang luar biasa pada Allah, berarti dia telah memiliki kendaraan untuk pulang menuju Allah SWT. Menggapai perjumpaan dengan Allah.
Cinta dipahami sebagai suatu yang sangat abstrak, sehingga perlu ada sebuah indikator atas keberadaan cinta. Cinta sebuah kepatuhan yang tulus pada Allah. Selagi kita membiarkan diri terus-menerus terpuruk dalam kemaksiatan, maka cinta kita hanya sekadar ungkapan kosong. Hambar. Tanpa rasa.
Jiwamu berhari raya ketika Anda selalu dituntun berbuat taat. Tentu saja, ketaatan lahir diikuti dengan ketaatan batin. Lahirnya patuh, dan batinnya ikhlas dalam beramal. Ketika amal lahir dan batin telah berpadu, tentu saja bahagia akan memenuhi ruang batin kita. Ketika orang selalu berada dalam ketaatan, berarti cinta yang mekar di jiwa akan bisa efektif mengendalikan hawa nafsu. Bukankah ketika seseorang telah berhasil mengendalikan hawa nafsu, kebahagiaan akan meluberi jiwanya?
“Dan adapun orang-orang yang takut dengan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat [79]: 40-41)
Cinta bukan hanya berhasil mengendalikan hawa nafsu, tapi juga sanggup mengendalikan keakuan. Manifestasi cinta yang bisa mengendalikan keakuan tampak pada Nabi Ismail as. Bagaimana beliau—tanpa ragu—menyerahkan dirinya untuk disembelih, ketika ayahnya -Nabi Ibrahim as- mengisahkan tentang mimpinya.
Saat keakuan telah terkendali, maka seseorang akan mudah berserah diri pada Allah. Berarti, penghalang orang berserah diri adalah keakuan. Anehnya, setelah keakuan terkendali, hidup ini terasa ringan.
Tanda orang telah berserah diri adalah dia menyerahkan kuasanya pada kuasa Allah dengan tawakkal. Dia serahkan kehendaknya pada kehendak Allah dengan ridha. Dia serahkan ilmunya pada ilmu Allah dengan sabar. Dan dia serahkan hidupnya pada hidup Allah dengan bersyukur.
Menyelamnya seseorang dalam samudera penyerahan diri, maka hidup yang dijalaninya bukan hanya benar, tapi juga baik, serta indah. Benar, baik, dan indah inilah yang kemudian memadat menjadi kebahagiaan di jiwa.
Kendaraan Pulang Pada Allah
Andaikan ruang dan waktu sebagai medan untuk pulang kepada Allah, maka Allah sediakan kendaraannya berupa cinta. Agar selamat dalam perjalanan, maka kendaraan bernama cinta harus diisi dengan kepatuhan yang tulus.
Tentu saja bukan hanya selamat, tapi bagaimana kita bisa menikmati perjalanan, yakni selalu bahagia dalam perjalanan. Perlu ditambah lagi dengan penyerahan diri. Manifestasi penyerahan diri adalah ridha terhadap ketetapan Allah.
Cinta yang seperti ini telah membuat orang dekat dengan Allah. Tak berselisih dengan Allah. Dengan kepatuhan yang tulus -berarti takwa, seorang hamba telah menyatu dengan kehendak tasyrik (perintah dan larangan). Sementara dengan ridha, seseorang telah menyatu dengan kehendak takwin (takdir yang baik atau yang buruk).
Orang seperti ini bukan hanya merayakan Idul Qurb, tapi juga mengalaminya.
0 comments