Sakit Menyehatkan Jiwa
22 July 2022
Kita pengin selalu mendekap dan diliputi keadaan yang terbaik, sekaligus pengin menyingkir dan menyingkirkan keadaan yang buruk. Iya, pikiran telah terjebak pada putaran dualisme yang tiada ujungnya. Kita mengenal untung-rugi, bertemu-berpisah, sehat-sakit, cinta-benci, dan lain sebagainya.
Kita memandang untung lebih baik daripada rugi, juga sehat lebih utama daripada sakit. Pun pikiran kita -membikin alarm- bertemu lebih nikmat daripada berpisah, dan seterusnya.
Dengan pemahaman demikian, kita mendekap untung dan menendang rugi, merangkul sehat dan menjauhkan sakit, menggenggam pertemuan sekaligus melemparkan perpisahan. Kita telah membiarkan diri kita terjebak pada keadaan dualitas. Keadaan yang terus berganti dan berubah setiap saat.
Ingatlah, kita tak bisa terus-menerus memertahankan diri pada satu situasi. Ada kalanya kita harus menjumpai kondisi lain yang berlawanan. Kita tak bisa terus-menerus disertai sehat, misalnya. Kita juga harus bisa menerima bila suatu saat terpapar sakit. Takdir -yang telah Allah tetapkan- tak bisa kita hindari.
Karena itu, selagi kita terjebak pada mindset yang berlawanan dan selalu ingin mendapati keadaan sesuai dengan yang nafsu ‘gandrungi’, maka tatkala kondisi yang menyenangkan terhidang, kita sangat gembira, bahkan euforia. Kita juga akan mendadak terkurung dalam kesedihan, bahkan kepahitan, tatkala apa yang kita senangi hilang, apalagi berganti dengan lawannya.
Kita, misalnya, sangat senang dengan keuntungan. Ketika keberuntungan itu berkurang, apalagi hilang, apalagi berganti dengan kerugian yang bertubi-tubi, bersamaan dengan itu tergeruslah kebahagiaan yang sudah tertampung di hati kita. Dan kita terus-menerus membiarkan diri dikendalikan oleh situasi di luar. Kita tidak menempatkan diri sebagai pengendali kehidupan kita sendiri.
Seorang Arif billah memberikan wejangan : “Siapa yang sangat besar gembiranya ketika memperoleh sesuatu, maka dia akan sangat bersedih hati ketika kehilangan sesuatu”.
Kesedihan atas kehilangan sangat bergantung pada volume kebahagiaan ketika mendapatkan. Gelas yang penuh, ketika habis isinya, akan sebanyak itu pula kondisi kosong yang didapati. Karena itu, kita perlu biasa saja memandang kenyataan yang bergonta-ganti.
Setengah kosong dan setengah penuh sebagai sebuah keadaan yang dipatrikan dalam jiwa. Menggapai moderasi jiwa. Seimbang. Tidak terlalu bergembira -hingga bergolak sebagai euforia- ketika didatangi nikmat, juga tidak terlempar di jurang kesedihan yang dalam ketika kehilangan nikmat, atau dilabrak musibah.
Sikap seperti ini hanya muncul ketika kita memandang segala perkara yang semula kita anggap berlawanan adalah sebenarnya berpasangan. Sebagaimana kiri adalah pasangan bagi kanan, sebagaimana sakit adalah pasangan bagi sehat, rugi sebagai pasangan bagi untung dan sebagainya.
Bayangkan, ketika orang selalu dikarunia nikmat -tanpa menjumpai musibah-, maka nikmat tersebut akan dianggapnya biasa-biasa saja. Bayangkan, jika orang selalu disertai karunia sehat, misalnya, tak pernah menjumpai sakit sama sekali, tentu saja dia akan kurang memaknai sekaligus mensyukuri sakit. Ketika sakit menerpa fisik, makan sama sekali tidak berselera. Lidah terasa pahit, tenggorokan pun terasa sakit dikala menelan.
Dari situ, kita akan bisa merasakan betapa nikmatnya sehat, bisa mengunyah dan menelan makanan dengan nikmat. Walhasil, ketika sakit sudah sembuh, kita akan mensyukuri kesehatan yang Allah anugerahkan.
Bukan hanya itu, sakit membuat jiwa pulih dan sehat. Bukankah dengan sakit, seseorang mudah mengenali kelemahan dirinya, lalu menelusur serta mentafakuri kesalahan yang menghiasi hidupnya? Sehingga terpantiklah semangat bertobat, mentransformasi jiwa. Jika sebelumnya jauh dari Allah, maka dia segera bergerak lari mendekat pada Allah.
Kesombongan yang selama ini merangsek di jiwa akan terkikis habis tersebab rasa sakit yang dialami, hingga kemudian bersemailah jiwa kehambaan pada Allah.
Memang sakit tidak enak di badan, tapi dia sedang dibenahi agar merasakan nikmat yang sebenarnya. Dia sadar, selama ini Allah anugerahi kesehatan, namun lupa dengan nikmat sehat yang Allah hadiahkan, sehingga keadaan jiwa terasa merana meski dilimpahi nikmat. Kini, dengan washilah sakit, lentera kesadaran dalam diri menyala. Hati pun senantiasa diliputi kebahagiaan.
0 comments