Kesedihan Menggerogoti Jiwa
11 November 2024
Kesedihan tiba-tiba menyerang jiwa, tanpa memberi aba-aba, bahkan tanpa mengetahui dari mana asalnya. Semakin kita melawan kesedihan, alih-alih kesedihan terusir, malah semakin kuat mencengkram. Sebaliknya, kalau kita menerima kesedihan tersebut, tanpa resistensi sedikit pun, perlahan-lahan kesedihan memudar dari jiwa.
Kalau Anda mau menelusuri dengan seksama, Anda bisa menebak dari mana sebenarnya kesedihan itu berasal. Hanya saja perlu kesabaran dalam menelitinya. Diharapkan setelah kita memahami asal muasal dari kesedihan, kita akan bisa menekan seminimal mungkin kesedihan tersebut agar tidak terus-menerus menggerogoti jiwa kita. Karena kesedihan yang terus-menerus menyambar jiwa, pelan-pelan akan membuat jiwa layu bahkan mati. Tak sedikit orang yang sengaja membuat jiwanya mati dengan cara putus harapan. Dan terus membiarkan jiwanya terbelenggu kesedihan tanpa henti.
Ketahuilah, kesedihan itu berasal dari tiga keadaan, yakni masa lalu yang tidak diridhai, nikmat yang tidak disyukuri, dan musibah yang tidak disabari.
Pertama, masa lalu yang tidak diridhai. Iya, meskipun orang sedang berpijak di hari ini, tak jarang jiwanya sedang terbajak di masa lalu. Dia tenggelam di lautan masa lalu. Dia membiarkan trauma dengan masa lalu. Ketika orang terperosok dalam kubangan trauma masa lalu, dia tidak bisa melangkah ke mana-mana. Membiarkan dirinya berada di pojok sejarah. Bahkan menjadi fosil kehidupan. Dia terus dikepung ketakutan yang tak beralasan untuk mengukir sejarah dalam kehidupannya. Apalagi dia selalu berpikir masa kini dan masa depannya akan selalu sama dengan masa lalu yang telah dilewati.
Dia tidak mau terpuruk dua kali di lubang yang sama. Itu alasan yang terus memenuhi pikirannya. Padahal, sequence demi sequence kehidupan yang Anda lewati selalu berbeda. Apa yang terjadi sekarang tidak persis sama dengan apa yang terjadi kemarin. Mungkin sama-sama gagal, menurut Anda, tapi kegagalan yang Anda dapatkan tentu saja berbeda. Mungkin saja berbeda garapannya, atau kualitasnya. Yang pasti tidak akan sama.
Saya masih teringat dengan sebuah kalimat yang diutarakan seorang filosof, “Seseorang tidak akan melintasi jembatan dua kali dalam kondisi yang sama. Boleh jadi jembatannya sama, tapi keadaan yang mengapung di sungai sudah berbeda”.
Intinya, tidak ada realitas yang sama. Karena tidak ada yang sama, maka Anda tetap saja bisa memungut pelajaran di balik setiap peristiwa yang Anda alami. Sudah barang tentu tidak ada yang sia-sia. Tak jarang, orang sukses kadang harus dibangun dengan fondasi kegagalan yang bertubi-tubi. Kegagalan itu mengokohkan jiwanya karena dihadapi dengan kesabaran totalitas. Sebagian banyak orang berpikir bahwa kegagalan hadir untuk meruntuhkan dan menghancurkan. Ingatlah, selama kegagalan tidak membuatmu mati, maka sejatinya kegagalan itu hadir untuk menguatkan jiwamu. Bahkan tak sedikit orang yang belajar pada kegagalan masa lalu untuk kemudian bangkit menenun masa depan yang cemerlang.
Belajarlah pada Thomas Alva Edison, bagaimana dia menemukan lampu pijar. Dia harus melakukan percobaan berkali-kali. Lebih tepatnya 9.998 kali. Bahkan disebut dengan banyak kegagalan. Tapi, dia tidak memandangnya sebagai kegagalan, tetapi memandangnya sebagai ribuan teori yang berbeda. Karena kegigihan dan kesabaran menelan kegagalan, dia menjelma menjadi ilmuwan raksasa di dunia. Sampai hari ini, kita menikmati hasil penemuannya yang cemerlang.
Selain itu, Anda harus menyadari bahwa segala kenyataan, baik besar atau kecil berada dalam kendali dan rencana Allah. Dari bagaimana galaksi yang tertata dengan rapi sampai daun yang jatuh dari pohon tidak lepas dari pengetahuan dan pengaturan Allah. Ketika Anda memahami ini, maka tidak akan pernah menganggap segalanya kebetulan. Seolah tanpa hukum sebab akibat. Padahal semua yang memiliki muasal pasti ada penyebabnya. Kalau ada penyebabnya pasti bukan kebetulan, sudah terangkai dengan terencana dan sempurna. Mengapa? Karena pasti ada yang telah mengendalikan penyebab tersebut. Dan yakinilah bahwa Pemilik Sebab adalah Allah Swt.
Lalu, Anda merambat pada pemahaman bahwa jika Allah sebagai penyebab utama dari setiap kejadian, sementara Allah Maha Baik, maka sudah barang tentu semua yang meluncur dari Tangan-Nya adalah hanya kebaikan saja. Tidak ada keburukan sama sekali. Berangkat dari konsep apa? Konsepnya bahwa teko hanya mengeluarkan apa yang menjadi isinya. Teko yang berisi susu, mengeluarkan susu. Teko yang berisi madu, mengeluarkan madu. Teko yang berisikan racun, mengeluarkan racun. Yakinilah bahwa Allah Maha Baik, maka tidak ada yang mengalir dari-Nya kecuali kebaikan. Kebaikan Mutlak.
Hanya pikiran manusia yang kadang menganggapnya tidak baik. Apalagi, kita mengaitkan kebaikan dengan keinginan. Kalau sesuai dengan keinginan dianggap baik, dan kalau tidak sejalan dengan keinginan disebut buruk. Padahal, Allah menegaskan bahwa kebaikan—kebahagiaan—tidak identik dengan keinginan. Boleh jadi yang Anda inginkan ternyata buruk bagi Anda. Sebaliknya, yang tidak Anda sukai justru baik untuk kita. Karena manusia terhalang oleh kabut kebodohan yang ada pada dirinya. Sementara orang yang telah tersingkap kebodohannya, dia hanya akan melihat semuanya adalah kebaikan.
Seperti orang yang hanya melihat mendung. Dia melihat awan hitam berarak di langit, kadang tiba-tiba langit dipenuhi awan putih. Awan hitam dan awan putih bukan sebenarnya. Tapi langit biru yang membentang luas itulah yang sejati. Sementara awan hitam dan awan putih itu datang dan pergi, terbit terbenam, dan timbul tenggelam.
Ketika Anda hanya fokus pada kebaikan yang mengalir dari Allah, maka Anda akan selalu ridha, alias puas dengan setiap sajian dari Allah. Anda tak lagi tertuju pada kulitnya, tapi melihat pada isinya. Dan isinya hanya kebaikan saja.
Kedua, nikmat yang tidak disyukuri. Ketahuilah, bukan nikmat yang membuat Anda bahagia. Jika hati Anda masih saja diliputi keluhan demi keluhan, maka nikmat sebesar apapun tidak akan pernah bisa menaikkan tingkat kebahagiaan. Nikmat hanya bisa memproduksi kebahagiaan ketika disertai dengan rasa syukur.
Kalau Anda selalu bisa memotret realitas dengan rasa syukur, maka realitas seperti apapun akan selalu mewariskan kebahagiaan ke relung hati. Kalau Anda bisa mensyukuri nikmat, Anda akan melihat realitas itu sempurna. Lahirnya nikmat, dan batinnya juga nikmat. Casing-nya nikmat, dan isinya juga nikmat. Betapa bahagianya. Di sisi lain, orang terlempar dalam kehampaan, meski nikmat terus-menerus mendatangi. Mengapa? Karena hidupnya tidak dihiasi dengan rasa syukur.
Adalah orang kaya, rumahnya luas bak istana. Dikelilingi taman yang indah sekaligus lampu kelip-kelip yang menyempurnakan keindahan rumah itu. Hanya saja, penghuni rumah itu selama berbincang tidak pernah sedikit pun melontarkan kalimat syukur. Justru banyak keluar kalimat keluhan. Seorang guru menegurnya, “Ji, rumahmu yang mewah ini, kok tidak ada setetes pun rahmat yang turun?”
Kalimat itu terasa menyadarkan penghuni rumah itu dari lamunan panjang. Sembari bergumam dalam hatinya, mengapa dia tidak bersyukur dengan bermacam kenikmatan yang telah Allah berikan padanya. Tidak berhenti disitu, sang guru mengajaknya berkunjung ke penjara.
Setibanya di penjara, keduanya berbincang santai dengan narapidana yang terkerangkeng di penjara itu. Dari perbincangan sederhana itu, memancing rasa syukur pada orang kaya itu. Sepanjang jalan dia bersyukur, karena Allah berikan kebebasan, bisa bercengkrama dengan keluarga, juga bisa menjalankan usahanya tanpa ada kendala. Memang, sesekali kita harus mendapati pembanding di bawah kita, agar kemudian terus tumbuh rasa syukur dari hati kita atas nikmat yang telah Allah curahkan.
Ketiga, bersabar dengan musibah. Musibah merupakan sebuah keniscayaan yang dialami oleh setiap insan selagi berada di dunia. Bukankah kita semua adalah peserta ujian? Mungkinkah peserta ujian tidak mendapatkan soal ujian? Tentu saja dia akan dipertemukan dengan soal ujian. Dan setiap ujian berpeluang menaikkan kelas dan derajat kita.
Tidak ada orang yang tiba-tiba naik kelas tanpa harus mengikuti proses ujian. Karena musibah merupakan hal yang niscaya dan tak terelakkan, maka kita harus menyiapkan senjata agar musibah tidak menjadi racun, bahkan bisa memasukkan nutrisi pada batin kita. Senjata efektif untuk menghadapi musibah adalah sabar. Dan pastikan kesabaran kita tidak terbatas. Mengapa? Karena pahala yang Allah sediakan bagi orang yang sabar pun juga tidak terbatas, sehingga kita jangan membatasi kesabaran. Ingatlah, rahmat Allah tak terbatas, jika kita mau menggapai kebaikan yang tak terbatas, maka bersabarlah.
Kalau Anda terus meningkatkan kesabaran atas musibah yang datang, maka kita akan mendulang pahala tanpa batas dari Allah. Bahkan, kita akan memperoleh kebersamaan dengan Allah Swt. Bukankah Allah selalu menyertai orang yang sabar?
Ketika hati sudah dipenuhi ridha terhadap masa lalu, bersyukur dengan nikmat yang didapat, dan bersabar atas musibah yang menerjang, maka kebahagiaan akan berkunjung dan memenuhi hati. Insya Allah. Jika kita masih tetap tersangkut dalam kesedihan, maka tanyakanlah pada diri sendiri, apakah dalam hati kita sudah ada tiga sikap tersebut, atau ternyata kosong?
0 comments