Tak Berbunga, Tak Berbuah
18 July 2022
Bahagia bukan seperti barang yang bisa pesan antar. Tinggal kita panggil, beberapa menit kemudian sudah tiba di depan meja kita. Bahagia tak bisa digojekkan seperti halnya makanan cepat saji.
Meski orang kaya raya, bahagia tidak serta-merta dia dapatkan. Karena ia sangat mahal. Tak bisa dibeli dengan uang. Kalau pun kita memaksa membelinya, tidak bisa dengan uang, tapi dengan ketulusan dan kerendahan hati.
Saya hanya pengin menyampaikan bahwa bahagia tak bisa diperoleh secara gratis. Perlu bermodalkan hati yang bersih. Tanpa hati yang bersih, bahagia enggan singgah. Iya, bahagia hanya singgah di hati yang bersih saja.
Ada orang yang terbilang kaya. Dia bisa beli apa saja. Rumah mewah baru bisa dia bangun. Mobil ‘gres’ baru dia beli. Tetapi, kebahagiaan juga tidak kunjung menanjak - jika tak mau disebut sedang meluncur ke titik terendah. Mengapa dia yang telah diakui sukses oleh orang lain, tapi juga tak bahagia? Terbukti dari terlontarnya bermacam keluhan darinya.
Meski telah diitari kekayaan, dia teracuni kecurigaan terhadap orang-orang sekitarnya. Bahkan terhembus kabar yang tak dimengerti asalnya bahwa dia sedang disantet oleh orang dekatnya.
Mengapa harus disantet? Karena diharapkan kekayaan yang diperoleh akan berpindah tangan pada orang menyantet. Isu tersebut bergulir tak bisa dihadang. Anehnya, isu tersebut diserapnya tanpa difilter terlebih dahulu.
Ketakutan pun segera menyebar menggerogoti saraf jiwanya. Dia terus membayangkan bagaimana jika upaya santet itu berhasil? Tentu saja, kematiannya berada di ujung tanduk. Sebentar lagi, pikirnya.
Karena bayangan terus menyelimuti pikiran, menyerang jiwa dan mendera hatinya, seluruh pencapaiannya sama sekali tak bisa meredam derita yang dialaminya. Dia tak ubahnya seperti bangunan bagus, namun sangat rapuh. Sekali disentuh, apalagi dihantam barang keras, langsung roboh. Rata dengan tanah.
Dia mudah sekali marah. Pengin rasanya terus mengutuk orang yang diduga hendak menyantetnya, meski indikasi kena santet sama sekali tidak terlihat padanya. Dia sakit pikiran karena dibombardir oleh isu liar tersebut.
Terpautnya hati pada kekayaan yang dimilikinya, membuat stress terus saja menyambarnya. Kekayaan sama sekali tak bisa membawanya menuju istana kebahagiaan. Malah, seakan melemparkan dia pada lembah derita yang tak pernah dia angankan sebelumnya. Sebelumnya, dia berfikir bahwa kekayaan akan mendekatkan pada kebahagiaan. Tapi mengapa malah membuatnya terjauhkan dari kebahagiaan yang didambakannya?
Bahagia tak berasal dari luar. Kalau kita berkelana melintasi negara untuk mencari harta karun kebahagiaan, kebahagiaan tak akan kita dapatkan, arena bahagia tidak bertempat disana. Jangan kita berpikir bahwa bahagia akan menyembur dari mobil yang kita kendarai, dari rumah yang kita tinggali, atau dari popularitas yang kita nikmati. Semuanya bukan situs kebahagiaan bagi kita.
Bahagia terletak di hati yang bersih. Selagi hati belum bersih, segala kemewahan hidup sama sekali tak bisa mendatangkan kebahagiaan. Sebaliknya, mungkin hidupnya tak bertabur kekayaan, tapi karena hatinya bersih, bahagia selalu menyelimutinya.
Kebersihan hati merupakan sebuah pokok perjuangan yang dilakukan oleh seorang murid. Karena tanpa kebersihan hati, derajat jiwa tidak pernah beranjak, diam di tempat. Meski fisik bisa terbang ke mana-mana, tapi hati tetap terdampar di tempat yang rendah. Saking pentingnya kebersihan hati, Allah menekankan dalam al-Qur'an.
قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ
“Sungguh beruntung orang yang mensucikan hatinya” (Surat Al A’la Ayat 14). Beruntung disini berarti bahagia. Selagi orang terperangkap dalam kelalaian dalam membersihkan hati, tetap saja dia tak bisa keluar dari liang kesedihan yang mencekam. Bahagianya hati hanya ketika bersih.
Mengapa ada istilah hati bersih? Lantas apa yang membuat hati kotor? Hati kotor tersebab diterpa oleh sombong, dengki, dan riya’. Imam Abdul Hamid al-Ghazali menyebut tiga penyakit ini sebagai tiga yang menghancurkan kebahagiaan. Kita harus selalu mengawasi hati, jangan sampai terkena noda, meski setitik saja. Karena noda ini bukan hanya mengurangi keindahan, tapi juga sangat memperjelek wajah batin, lalu berlanjut terpancar pada wajah lahir.
Setiap ketemu dengan sesama, periksa hati selalu, apakah di sana tebersit riya’, bercokol dengki, atau dikuasai kesombongan.
Tak jarang, tiba-tiba pada orang yang menempati kedudukan yang lebih tinggi, mendadak timbul riya’, pamrih dalam berbuat dan banyak kepentingan yang terselip. Pada orang yang lebih moncer posisinya, kita tiba-tiba bersikap iri hati. Pengin rasanya hanya kita yang sukses dan bahagia.
Andai ada orang yang sukses lagi kaya, orang iri “mendesak” Allah agar segera menggusur dan meludeskan semua pencapaian orang tersebut. Bahkan, bagaimana caranya kesuksesan itu berpindah tangan pada sosok yang iri.
Lebih parah lagi, ketika kesombongan menyesaki dada. Sombong seperti kegelapan di atas kegelapan. Tidaklah seseorang menyerap kebahagiaan selagi hatinya diselimuti oleh tebalnya kesombongan. Sombong adalah meremehkan, alias merendahkan, alias menghinakan orang lain. Dan tak mau menerima kebenaran.
Sombong menghalangi seseorang meraih keselamatan. Dengki menghalangi seseorang mendapatkan rahmat. Dan riya’ menghalangi seseorang mengunduh keberkahan.
Bersamaan dengan lepasnya kesombongan, seseorang bisa menebarkan salam. Bersamaan dengan lepasnya kedengkian, seseorang bisa menebarkan cinta tanpa syarat dan tanpa batas. Bersamaan dengan lenyapnya riya’, seseorang bisa menebarkan keberkahan. Tidak hanya bermanfaat bagi orang beriman saja, tapi juga bisa menebarkan kemanfaatan bagi semua manusia.
Bersihnya tiga penyakit dari hati akan memantulkan cinta. Cinta memancarkan bermacam sifat baik, berupa : tawadhu, ridha dengan kebahagiaan orang lain, dan timbul ketulusan. Anda bisa membayangkan sendiri apa yang akan Anda rasakan apabila ketiga sifat baik telah bersinggasana di hati.
Cinta membawa seorang hamba menjalin kedekatan dengan Allah. Kedekatan dengan Allah dari sisi ruang dan psikologis. Secara ruang, kita sudah dekat dengan Allah. Allah lebih dekat pada kita melebihi dekatnya urat nadi dan urat nyawa. Disadari atau tidak, Allah selalu dekat, meliputi kita.
Sementara kedekatan psikologis adalah terciptanya sekemauan dengan Allah. Sekemauan dengan kehendak tasyrik Allah ditunjukkan dengan kepatuhan yang tulus. Juga sekemauan dengan kehendak takwin Allah, ditunjukkan dengan ridha atas segala takdir yang telah Allah sajikan dalam hidup kita.
Ketika orang telah sekemauan dengan Allah, entah pada kehendak tasyrik atau kehendak takwin, maka seorang telah mengalami kedekatan dengan Allah.
Cinta berarti ridha atau sekemauan dengan Allah. Ketika sekemauan dengan Allah terus saja terjalin, maka bahagia akan memenuhi hati. Hubungan ridha (cinta) dengan bahagia seperti hubungan bunga dan buah. Bunga mendahului buah, cinta mendahului kebahagiaan.
0 comments