Menahan Cinta yang Pergi
23 August 2022
Tak sedikit orang merasakan dirinya disentuh cinta. Selagi cinta belum menyentuh hati, hidup yang dijalani terasa hambar. Tak terarah. Tak bermakna. Cinta semacam anugerah yang sangat besar. Cinta juga membuat kehidupan ini bergerak dengan segala realitas yang berhamburan di dalamnya.
Tanpa cinta, kehidupan ini terhenti. Iya, dengan cinta Allah yang menyusup dan menyebar pada semua makhluk, kehidupan senantiasa mengalir dan bertumbuh.
Bahkan, pertengkaran yang mewarnai kehidupan di bumi dipicu oleh adanya cinta. Bagaimana seorang suami yang besar cintanya pada istri, kemudian mendapati istrinya berselingkuh dengan lelaki lain, hingga terpaksa kemarahannya terpacu dan meledak keras. Dia bisa memukul selingkuhan istrinya hingga tewas. Mengapa dia bisa melakukan perkara tersebut? Karena ada cinta.
Seorang laki-laki, di kala masih hidup single, dia bisa dengan mudah menjalani kehidupan santai tanpa beban. Dia juga bisa melakukan apa saja yang dia mau. Bisa pergi ke sana-sini tanpa harus ada orang yang menginterupsi dan mengusiknya. Akan tetapi, setelah dia menjalin ikatan suci dengan gadis yang dicintainya, mulailah merasakan adanya kekangan. Kekangan dari sosok yang dicintai dan mencintainya.
Meski demikian, kebahagiaan terus bertumbuh karena hatinya telah terpaut dengan yang dia cintai. Sebuah nama yang terukir indah di dalam hati.
Dahulu, semasa bujang, dia mungkin merasa santai. Namun kini dia harus menceburkan diri pada kesibukan yang tak berujung. Melompat dari satu target ke target lainnya. Meski badan berpeluh keringat, bahkan babak belur, pikiran pun didesak oleh bermacam rencana yang terus memanjang, sama sekali tak membuatnya mengeluh, asalkan dia bisa menyaksikan pasangan dan anaknya bahagia. Segenap rasa lelah yang mendera fisik mendadak menguap dikala disambut hangat oleh orang tercinta.
Pecinta selalu menjadi oase dalam kerasnya kehidupan. Bayangkan, bagaimana hidup seseorang tanpa cinta. Iya, ibarat orang yang terus dipapar sengatan terik matahari di padang gersang tanpa ada tempat berteduh. Sepanjang mata memandang hanya gundukan gunung dan bebatuan yang terjal. Tanpa ada sedikit pun oase yang terselip di antara lembah-lembah yang dilaluinya.
Berharap Kembali
Tanpa kehadiran cinta, orang akan berjalan di alur kehidupan yang hampa. Namun, ada kondisi yang lebih menyesakkan ketimbang belum menemukan cinta, yakni berharap agar cinta yang telah pergi bisa datang kembali. Dia seperti menerjunkan diri di sungai kenangan yang begitu deras. Dirinya hanyut dalam masa lalu yang terus mendera. Apalagi, yang dinanti justru sama sekali telah kehilangan cinta padanya.
Mungkin saja Anda merajut cinta kasih dengan seseorang. Bukan hanya merangkai cinta, bersamanya, kau telah mengukir kehidupan yang sangat indah. Namun tersebab perbedaan yang tak lagi bisa diurai, akhirnya seluruh keindahan itu harus berakhir.
Dahulu, sebelum cinta bersemi, dia berjuang untuk mengingat, hingga tercurah kontribusi dan pengorbanan. Segala kebersamaan yang dia dokumentasikan, dahulu, bagai taman-taman yang menyuguhkan keindahan di hati. Tapi, kini, dia melakukan langkah berkebalikan. Berjuang untuk saling melupakan.
Dahulu, kala rindu sedang menyapa, sesekali membuka buku kenangan, kebahagiaan kembali merekah di jiwa. Namun sekarang berbeda, membuka buku kenangan justru seperti menghantamkan pecahan kaca ke dalam hati. Rasa sakitnya tak ketulungan.
Tak sedikit orang yang telah Allah beri yang lebih baik, masih saja menoleh ke masa lalu. Padahal masa lalu belum tentu memberi kebahagiaan. Ketika ditanya, “Apa yang dekat dengan kita?”. Jawabannya, “Yang dekat dengan kita adalah kematian”. Ditanya lagi, “Apa yang terjauh dengan kita?”. Jawabannya, “Masa lalu”.
Iya, masa lalu seperti selembar daun yang pernah hanyut di sungai. Dia mungkin hanyut di aliran yang sama, tapi di waktu yang berbeda.
Mungkin sudah tak lagi berharap, tapi diam-diam gambaran dia sering terlintas di hati. Jika mengingatnya, tiba-tiba emosi melonjak, meradang. Pengin rasanya menghabisi dia untuk membalas dendam yang terus merongrong batinnya.
Mengingat dengan penuh kebencian, alih-alih akan mengembuskan angin surga ke relung jiwa, malah yang dirasa adalah penderitaan yang bertubi. Luka lama tiba-tiba harus terobek.
Kita tak perlu merasa kehilangan sesuatu. Andai ada yang hilang, maka ia pasti akan menjelma dengan rupa yang baru. Ketika Allah mengambil dengan paksa apa yang tergenggam di tangan kita, itu karena Allah hendak memberi yang lebih baik. Bayangkan, jika tangan terus digenggam, maka yang di dalam tidak bisa keluar. Kadang genggaman terpaksa harus dibuka untuk menerima anugerah baru, yang lebih indah.
Amatilah, bahwa setiap kehilangan pasti berganti dengan ganti yang lebih baik. Sebuah bangunan dihancurkan, rata dengan tanah, karena sebentar lagi di atas tanah yang sama akan berdiri rumah yang menjulang tinggi dengan fondasi yang lebih kokoh. Tentu saja lebih mewah.
Jika Anda melihat sebuah jalanan dihancurkan atau digali, bukan berarti jalanan tersebut akan rusak dan hancur seterusnya, melainkan sebentar lagi akan terbentang jalan yang lebih halus dan lebih kuat daripada sebelumnya.
Seperti halnya dengan dunia pepohonan. Setelah ditanam, disiram, dipupuk, dan dirawat dengan sangat telaten, pohon tersebut berbunga. Tak lama, bunga yang bersemi pun rontok. Apakah petani bersedih dengan rontoknya bunga? Petani malah bergembira, karena rontoknya bunga menandakan sebentar lagi akan menggantung buah dari tangkai pohon tersebut.
Begitulah seharusnya mindset yang tertanam teguh dalam kesadaran kita. Jika Allah mengambil sesuatu dari kita, insya Allah sebentar lagi akan datang ganti yang lebih baik. Allah Mahakaya. Allah mengambil sesuatu dari kita bukan karena Dia kurang, melainkan karena Dia hendak mengganti dengan anugerah yang lebih baik.
Dikala Allah mengambil sesuatu dari kita, salah satunya dengan kepergian orang kita cintai, yakinlah, Allah hendak memberikan kejutan pada kita, dengan hadirnya orang yang lebih baik. Tiada siang yang benderang menghiasi kecuali setelah kita menjumpai malam yang pekat.
Selain itu, kehilangan merupakan sebuah proses untuk mendewasakan jiwa kita. Mentransformasi jiwa agar menjadi lebih anggun. Atau, membangun ulang cara pandang dengan mindset yang luhur dan agung. Dengan cara pandang baru tersebut diharapkan lebih mudah dan sederhana untuk menemukan kebahagiaan.
Source:
Tulisan oleh Ustad Khaliel Anwar
Gambar oleh Patricia dari Pixabay
0 comments