-->

Ragam Respon Terhadap Musibah

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Ragam Respon Terhadap Musibah

29 August 2022

Ragam Respon Terhadap Musibah

29 August 2022


 

Dunia layaknya lembah ujian. Jika orang pengin menangguk kesenangan atau kenyamanan yang sifatnya terus-menerus di dunia, maka sadarkanlah bahwa dia salah alamat. Dunia bukan tempat mencerap kesenangan tak berlimit. Syekh Ja’far Shodiq ra menyampaikan, “Orang yang pengin mendapatkan kenyamanan di dunia, dia sedang salah alamat”.

Sedari awal, bayi dilahirkan di dunia dalam keadaan menangis, karena batin terdalamnya sadar bahwa kehidupan dunia jauh berkebalikan dengan kehidupan alam ruh. Dunia sebagai ujian, tempat menanam, sehingga manusia bisa meraih panen melimpah di akhirat. Dunia—tempat kita tinggal—sebagai wahana untuk menjadikan kita semakin dewasa. Di bumi ini tergelar realitas yang bersifat dualisme. Dan yang dinanti adalah bagaimana kita menyikapi “kondisi ganda” tersebut. Tak ada orang yang bisa menyingkir dari kenyataan yang bersifat dualisme tersebut. 

Karenanya, tidak ada orang yang menempati satu kenyataan terus-menerus tanpa mencicipi kenyataan sebaliknya. Untung, misalnya. Tentu saja semua orang pengin senantiasa dalam keberuntungan : bisnis yang selalu mendulang keberuntungan, pun karir yang terus mengalami kenaikan. Namun, kenyataannya, tidak bisa. Ada saatnya kerugian menyambar manusia. Bahkan, sejatinya kerugian datang agar kita bisa mensyukuri keberuntungan. Jika untung terus-menerus yang didapatkan, maka keberuntungan terasa kurang bermakna. 

Allah menghadirkan nikmat dan musibah sama-sama sebagai ujian. Dengannya, Allah pengin mengamati, bagaimana sikap kita atas kenyataan itu. Kebahagiaan tidak bisa diperoleh secara gratis. Demi mendulang kebahagiaan surgawi, seseorang harus rela mengorbankan banyak hal. Terutama membentengi jiwa dengan kesabaran yang berlapis-lapis. 

Anda bisa melihat ujian iman yang menerpa Nabi Ibrahim as. Beliau berserah diri pada Allah ketika harus dilemparkan dalam kepungan api Namrud. 

Nabi Ayyub as—demi membuktikan keimanannya pada Allah—harus rela diterpa ujian berupa kehilangan harta, kehilangan anak-anak, bahkan dia dijangkiti penyakit borok yang terus digerogoti oleh ulat-ulat . Karena iman senantiasa menyala di dadanya, beliau tidak berhenti mengucap syukur pada Allah SWT, meski rentetan musibah terus menderanya. 

Nabi Zakaria -demi membuktikan imannya kepada Allah- harus rela dikejar oleh orang-orang Yahudi. Beliau menyusup di sebuah pohon yang berlubang. Dia menyelinap di pohon itu. Namun, karena mereka bisa mendeteksi persembunyian Nabi Zakaria as, mereka pun menggergaji pohon tersebut. Sehingga bersamaan dengan pohon yang digergaji, Nabi Zakaria as pun ikut terbunuh.

Jika para Nabi harus melewati beragam ujian untuk meraih surga dan kemuliaan, sudah seharusnya kita pun harus siap diuji. Sekaligus menyiapkan mental sabar. Tanpa bersabar melewati ujian, maka kemuliaan tidak akan pernah kita dapatkan. 


“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang bersabar”. (QS. Ali Imron [3]: 142)

Pengakuan keimanan perlu diuji, apakah benar-benar iman, atau hanya berupa pengakuan palsu. Seperti seorang penyepuh emas. Dia membakar sebuah logam. Dari situ, bisa disaksikan apakah logam tersebut benar-benar emas, atau hanya sekadar loyang. 

Ketika mengucap kebaikan, tidak serta-merta kita menjadi orang baik. Setiap ucapan perlu dibuktikan dengan melewati ujian demi ujian yang senantiasa mengiringi hidup. Begitu juga ketika mendeklarasikan diri beriman pada Allah, maka kita harus siap diuji oleh Allah SWT, sehingga iman nyata dalam perbuatan dan sikap yang ditampilkan. 

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji? Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-Ankabut [29]: 2-3)

Ketika kita lahir di dunia, otomatis kita telah menjadi peserta ujian. Allah akan menguji siapa yang terbaik diantara kita. Siapa yang telah melakukan amal terbaik, juga dilapisi sikap hidup terbaik, insya Allah dia akan diangkat menjadi yang terbaik.  

“Mahasuci Allah yang mengusai segala kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Mahapengampun”. (QS. Al-Mulk [67]: 1-2)

Iya, dunia ini merupakan wahana ujian bagi kita untuk bisa menakar siapa diantara kita yang kelak berdiri di hadapan Allah sebagai hamba terbaik. Kebaikan disini bukan hanya dilihat dari amal, tapi juga dilihat dari sikap. Sikap ini, dalam istilah lain disebut dengan ‘akhlak’.



Kemudian, bagaimana seharusnya sikap orang beriman atas musibah yang menimpanya?

Pertama, bersabar. Sikap paling dasar dari orang beriman adalah bersabar. Sabar berarti menahan agar tidak bereaksi negatif. Menahan diri untuk tidak marah-marah. Menahan diri dari mengeluh, apalagi mengutuk kenyataan. Meski hati berkecamuk oleh penolakan atas kenyataan yang mendobrak, tapi dia menahan diri agar tidak sampai muntah ke permukaan. Ingatlah, orang yang bersabar—menahan diri—tidak marah dengan kenyataan yang tiba padanya, maka dia termasuk orang yang kuat. 

Jika orang bisa menahan diri untuk tidak memuntahkan sikap negatif, maka dia akan mendapatkan keindahan. Setidaknya, dia menahan diri agar masalah yang dihadapinya tidak tersebar ke banyak orang. Berarti, salah satu ciri yang tidak sabaran adalah orang yang tidak bisa menahan diri dari mengungkapkan masalahnya pada orang lain. Gampang mencurhatkan masalah pada sesama.  

Tak sedikit orang tatkala ditimpa masalah, semua orang harus mengetahuinya. Membiarkan menyebar viral. Tapi, orang yang sabar akan menyimpan masalah hanya untuk dirinya sendiri. Enggan memberitahu siapapun. Hanya dia dan Allah yang mengetahuinya. Dia bersabar karena meyakini bahwa segala kenyataan—termasuk kenyataan pahit—berasal dari Allah, dan telah diramu dengan ilmu-Nya. Jika sudah mendapat sentuhan ilmu-Nya, sudah barang tentu disertai dengan tujuan. Karena setiap yang diilmui pasti punya tujuan. Tujuannya pasti terbaik, karena Dia Mahabaik.

Kedua, ridha atas musibah. Bagaimana caranya agar kita ridha? Ridha setelah mengetahui bahwa kenyataan takdir adalah bukan berlawanan, melainkan berpasang-pasangan. Bahwa orang bisa merasakan nikmat AC setelah merasakan panas dan sengitnya terik matahari. 

Seseorang yang pernah tertimpa sakit, pasti merasakan makanan menu apapun sama saja, terasa sepah. Tak adanya rasanya. Seluruh tubuh terasa sakit. Terlintas bayangan tatkala Allah berikan dia sehat. Dia pun pulih dari sakitnya. Badannya kembali sehat. Makannya kembali lahap. Dari situ, dia sangat bersyukur pada Allah, karena telah kembali merasakan sehat. 

Sehat terasa bermakna justru setelah melewati masa sakit. Selain itu, dia ridha karena meyakini semua yang datang padanya adalah yang terbaik. Karena setiap kenyataan -entah baik atau buruk- sama-sama berasal dari Allah Yang Mahabaik. Tidaklah mungkin dari Yang Mahabaik mengalir keburukan. Iya, dari tangan Allah hanya mengalir kebaikan.

“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau beri kekuasaan pada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapapun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu”. (QS. Ali Imron [3]: 26)

Keyakinan bahwa di tangan Allah hanya kebaikan akan membimbing seseorang selalu ridha dengan ketetapan Allah. 


Ketiga, bersyukur atas musibah. Mungkinkah ada orang yang bersyukur atas musibah? Mungkin saja. 

Seorang kakek menaiki sepeda onthel. Dikala dia sedang mengayuh sepedanya, tiba-tiba dia terjatuh. Dari lisannya tidak keluar keluhan sama sekali. Justru mengalir ucapan ‘alhamdulillah’. Sembari berkata, “Nikmat apa kiranya yang sebentar lagi akan Allah berikan pada saya?” 

Dia pun bangkit, dan kembali mengayuh sepedanya. Di depannya terbentang jembatan. Tinggal beberapa meter dia sampai di bibir jembatan, mendadak jembatan itu roboh. Mengetahui jembatan itu roboh, maka si kakek sujud syukur di hadapan Allah. 

Dia menyadari bahwa jatuhnya dia dari sepeda sebagai musibah, tapi Allah  hendak menyelamatkan dari musibah yang lebih besar. Jika demikian, musibah jatuh dari sepeda tersebut disebut nikmat, karena telah menghindarkannya dari musibah yang lebih besar.

Lagi-lagi, seorang kakek yang kesehariannya biasa menunggangi keledai. Kemana saja dia pergi, pasti dia tunggangi keledainya. Di suatu kesempatan, dia bepergian tanpa menunggangi keledai. Di hari itu keledai lari tunggang langgang, hingga ia terperosok ke dalam jurang. Tewas seketika. 

Orang-orang datang berkerumun, menyaksikan keledai telah tergolek. Setelah memastikan keledai itu mati, orang-orang berhamburan mencari dan menemui sang kakek. 

“Wahai Kakek, keledai yang biasa kau tunggangi terperosok ke dalam jurang. Dan tewas”, kata mereka.

“Alhamdulillah!”, respon sang kakek.

“Lho, kok bilang alhamdulillah, Kek. Kami serius, keledai kakek telah tewas”.

“Iya, saya bersyukur, karena pada saat keledai itu lari dan terperosok ke jurang, saya tidak sedang menungganginya. Bayangkan, jika aku sedang menungganginya, aku akan ikut terperosok”.

Sang kakek tersebut seperti selalu memiliki alasan untuk bersyukur. Pada musibah sebesar apapun, dia selalu melihat celah untuk bersyukur pada Allah.

Bersyukur dalam setiap keadaan hanya mengisi hati orang yang telah makrifat kepada Allah. Dia menyadari bahwa nikmat dan musibah bukan hanya suatu yang berpasangan saja, apalagi berlawanan, tapi kedua kenyataan itu juga ‘satu’. Seperti mata uang yang terdiri dari dua sisi. Nilainya sama. 

Iya, dua kenyataan—yang sepertinya—berbeda, namun keduanya sama-sama sebagai bentuk kehadiran Allah SWT. Datangnya nikmat menandakan bahwa Allah datang dengan sifat jamal-Nya. Dan ketika musibah yang menerjang, Allah sedang mendatangi kita dengan sifat jalal-Nya. Seorang pencinta tak lagi berpikir apa yang diberikan, tapi yang dibutuhkan adalah kehadiran yang dia cintai.  


Oleh-Oleh

Setiap orang sudah barang tentu menjumpai musibah, kecil atau besar, dalam rentang waktu yang sebentar atau lama. Dan Allah menengok bagaimana sikapnya terhadap musibah tersebut. 

Bagi orang yang dadanya telah dialiri salam, dia akan menyikapi musibah dengan sabar. Sementara orang yang hatinya diukir dengan rahmat, dia akan menyikapi musibah dengan ridha. Puncaknya, orang yang telah terpahat berkah di hatinya, dia akan menyikapi musibah dengan syukur. 

Sabar atas musibah merupakan sikap orang muslim. Ridha terhadap musibah merupakan sikap orang mukmin. Dan tidak kehilangan rasa syukur di tengah musibah merupakan sikap orang muhsin. 

Dengan sabar, orang akan terhindar dari neraka penderitaan. Dengan ridha, orang akan mendapatkan surga. Dan dengan bersyukur, seseorang akan mendapatkan tiket liqo (berjumpa) dengan Allah.  


Sumber:

Tulisan oleh Ustad Khaliel Anwar
Gambar oleh laminaria-vest dari Pixabay 
BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang