Maqam Zikir
06 September 2022
Tenangnya orang beriman adalah ketika dianugerahi kesempatan untuk mengingat Allah. Mengingat Allah merupakan sebuah anugerah yang agung. Bukankah dengan mengingat Allah, kita akan diingat oleh-Nya?
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Nabi SAW bersabda, Allah Ta’ala berfirman: “Aku sesuai prasangka hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika mengingat-Ku saat kesendirian, Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada itu (kumpulan malaikat). Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasa. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka aku mendatanginya dengan lari”. (HR. Bukhari)
Bayangkan, bagaimana rasanya nama kita disebut-sebut oleh seorang walikota? Tentu saja hati kita bergetar, bahkan ter-eksitasi, terluapi kebahagiaan tak terperikan. Apalagi, bagaimana jika nama kita disebut-sebut dan dipuji oleh Allah di kalangan para malaikat? Niscaya jiwa kita akan bergetar. Kebahagiaan pun bergolak di hati.
Sepertinya kita yang berzikir pada Allah, lantas Allah mengingat kita. Padahal pada hakikatnya, justru sebaliknya. Allah mengingat kita, lalu kita terilhami mengingat Allah. Mengingat Allah adalah pedang yang efektif untuk menumpas keakuan.
Dikala kita mengingat Allah, kesadaran kita telah tenggelam dalam keagungan Allah. Sudah tak lagi ditemukan jejak diri. Yang ada hanya Allah.
Begitu pentingnya berzikir pada Allah, sehingga ulama merumuskan martabat (tingkatan) zikir. Setelah mengetahui—memahami—tentang tingkatan, kita bisa menakar diri sendiri, kira-kira kita sudah sampai di derajat zikir yang mana?
Pertama, Zikir Lisan.
Pada mulanya, kita mengenal seutama- utamanya zikir, ‘laa ilaaha illallah’. Seringnya menghunjamkan kalimat zikir ke dalam hati diharapkan akan membersihkan bermacam kotoran yang tersangkut padanya. Zikir ini diucapkan dengan lisan.
Atas perantara lisan, terkirim getarannya ke hati. Andai hati begitu keras seperti karang, tahlil bisa menghancurkan, sehingga hati menjadi gempur, dan lembut.
Dari hati, kemudian, tumbuh sifat-sifat baik yang membawa kecondongan manusia untuk mengingat Allah.,
Tahlil, jika diucapkan dengan sungguh-sungguh, memancar dari hati yang tulus, akan menjadi bibit (kalimat) yang baik, yang akarnya menghunjam kuat, dan cabang-cabangnya menjulang ke langit. Ketika sudah tiba pada puncak pertumbuhan, akan mampu menyajikan buah-buah ranum, nikmat, dan menyebarkan manfaatnya bagi sesama.
“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat, dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat”. (QS. Ibrahim [14]: 24-25)
Selain sebagai zikir, tahlil juga menjadi penghapus segala perkara negatif yang berjejak di dalam hati. Seperti sebuah ruangan yang selama ratusan tahun diliputi kegelapan yang pekat, kemudian datang bermacam cahaya lilin menerangi ruangan tersebut, maka tak lagi ada bekas kegelapan disana. Ruang tersebut dikelilingi cahaya yang terang-benderang.
Kedua, Zikir Sirri.
Zikir ini sudah tak lagi menggunakan lisan lahir, tapi telah menguasai lisan batin. Hati sedang menghayatinya dengan sungguh-sungguh. Di hati hanya ada nama Allah yang selalu disebut. Allah disebut dengan lafadz jalalah. Lafadz Agung yang menembus segala penghalang.
Mengingat kisah Sayyidina Muhammad SAW yang sedang istirahat di bawah pohon, tiba-tiba datang Ghaurats dengan mengacungkan pedangnya, dan siap untuk membabat Nabi. Sembari dia sesumbar, “Siapa yang bisa melindungimu dariku?”
“Allah,” ucap Nabi Muhammad SAW dengan lantang. Ucapan tersebut membuat keseluruhan tubuh Ghaurats gemetar, sehingga pedang yang tergenggam oleh tangannya terhempas jatuh ke tanah.
Bersamaan dengan pedang yang jatuh, Nabi Muhammad SAW meraih pedang tersebut dengan tangkas. Setelah pedang berpindah ke dalam genggaman Nabi SAW, sambil mengacungkan pedang, beliau SAW menyatakan, “Siapa yang akan menolong kau hari ini?”. “Tidak ada yang bisa menolongku, hanya kebaikanmu”, jawabnya.
Amatilah, bagaimana ketika kalimat Allah disebutkan? Bergetar hati seseorang. Segala kotoran yang mendekam di hati terbakar oleh lafadz agung tersebut. Selain itu, tepercik kerinduan yang mendalam pada Allah.
Allah bukan hanya membersihkan qolbu, tapi juga membersihkan ruh. Jika ruh bersih, maka seseorang akan mengenal Allah, yakni makrifat.
Ketiga, Zikir Nafas.
Sejatinya dari sekian tahun yang dilalui, kita hanya menjalani satu detik demi satu detik. Berada diantara tarikan dan hembusan nafas. Jika ditarik pada muasal waktu, ya hanya satu detik. Secara umum kita menjalani waktu satu tahun, dipersingkat lagi menjadi bulan, minggu, hari, jam, menit, dan terpendek adalah detik. Di detik tersebut, kita bisa mengalirkan zikir lewat tarikan dan hembusan nafas.
Ingatlah hidup ini hanya menarik dan melepaskan. Sebagaimana Allah ciptakan malam dan siang. Malam sebagai waktu terindah untuk menarik, dan siang sebagai waktu untuk melepaskan. Lihatlah, ketika malam datang merambat, burung-burung beterbangan memasuki sarangnya. Tidak ada yang masih berkeliaran di luar. Dan ketika pagi datang ditandai dengan terbitnya matahari, burung-burung keluar dari sarangnya. Malam sebagai momen penggulungan, dan siang sebagai momen penggelaran.
Allah menciptakan malam dan siang, berarti antara tarikan dan hembusan nafas, tidak lain kecuali kita mengisinya dengan berzikir dan bersyukur. Memuji Allah sekaligus berserah diri padanya.
“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran (berzikir) atau yang ingin bersyukur”. (QS. Al-Furqon [25]: 62)
Lantas, bagaimana praktiknya agar nafas kita dipenuhi dengan zikir dan syukur? Ada dua ‘sighah’ yang bisa kita hayati saat menghela dan mengembus nafas. Bisa dengan sighah ‘lillaahil hamd’, juga bisa ‘yaa huwa’. Saat menarik nafas, kita sedang menghayati ‘lillahil’ dan saat mengembus nafas menghayati ‘hamd’, yang artinya, milik Allah segala puji.
Bisa juga dengan menghayati ‘yaa huwa’. Saat menarik nafas, kita menghayati kalimat ‘yaa’, artinya Yang Maha Terpuji, dan saat mengembus nafas menghayati kalimat ‘huwa’, yang artinya, berserah diri.
Jika kita bisa mempraktikkan ini, maka segala kotoran yang menempel di dinding jiwa, insya Allah akan terhapus, dan menjadi bersih kembali.
Manfaat Zikir
Zikir ‘laa ilaa ha illaah’ berkhasiat untuk membersihkan hati, sehingga timbul mahabbah.
Zikir Allah berkhasiat membersihkan ruh, sehingga tumbuh makrifat.
Zikir ‘huwa’ berkhasiat membersihkan sirr, sehingga timbul musyahadah.
0 comments