Mencintai Yang Kau Nikahi
19 September 2022
Bukan sebatas imajinasi anak muda bahwa pernikahan menyajikan keindahan dan kebahagiaan yang mengalir terus-menerus. Memang, pernikahan yang dituntun oleh agama berpeluang menghadirkan kebahagiaan di dalam hati.
Namun perlu diingat, cinta melewati badai keraguan, bahkan melampaui keyakinan. Jangan kau teruskan apa yang semula menimbulkan rasa ragu. Karena keraguan menjadi petunjuk bagi Anda agar tidak melanjutkan perjalanan. Tapi, kalau sudah yakin, jangan pernah mundur ke belakang, apalagi mempertebal tembok keraguan. Karena keraguan yang terbit setelah keyakinan membulat hanya sebagai tipu daya setan agar Anda tidak melangkah di jalan kebaikan.
Mengapa ragu menguar?
Tak sedikit orang yang lama menjalin hubungan pra-nikah tidak kunjung memutuskan pernikahan karena masih terus diselimuti keraguan. Mungkin saja terbesit dalam pikiran : apakah saya bisa bahagia menikah dengannya; apakah saya bisa memberi nafkah padanya; berapa yang harus saya tinggalkan dan korbankan ketika sudah menikah dengannya; dan masih banyak lagi lintasan pikiran yang mengikis keyakinan, sekaligus mempertebal keraguan.
Setan pengin orang tenggelam dalam hubungan yang haram. Ketika dua sejoli sudah siap menikah, maka setan akan hembuskan keraguan ke dalam hatinya, sehingga dia merasa aman menjalani hubungan tanpa stastus halal. Bukankah di sana tak berlaku tanggung jawab? Selain itu, ketakwaan sama sekali tidak terbentuk, malah terkikis tersebab maksiat yang dilakukan.
Jika sejak awal kau telah yakin, maka jangan mundur oleh karena bisikan keraguan yang datang menyambar. Hilang keraguan dengan membenahi kualitas shalat, baca Al-Quran, baca shalawat, dan banyak berzikir. Itulah cara efektif untuk mengusir keraguan yang berakar di hati.
Keyakinan menguat, pernikahan diikat, kebahagiaan pun terbit memenuhi relung jiwa. Seiring berjalannya waktu, pernikahan menghasilkan rasa bosan. Apalagi tergerak membandingkan dengan pasangan lain. Pasangan lain mesra, berkecukupan. Sementara dirinya jauh dengan kemesraan, pertengkaran malah sering tercetus. Pasangan lain memiliki ini dan itu, sementara diri dan pasangan tak punya apa-apa yang bisa dibanggakan. Dia terus mengutuk diri dan pasangannya. Disana dia tak kunjung meraih kebahagiaan yang sejati.
Memang, kita sering mendapatkan penampakan di kejauhan begitu indah dan mempersepsi sosok yang dekat begitu jelek. Itu semua karena kita masih bermain persepsi dan prasangka, tidak menengok ‘langsung’ apa yang dialami oleh pasangan lain.
Pernikahan menjadi seni meleburkan diri bersama pasangan. Selagi pernikahan disusupi kepentingan diri, maka kebahagiaan takkan terbit dalam relung jiwa. Hanya ketika seseorang bisa menumpas kepentingan dirinya, mengalihkan fokus untuk memenuhi kebahagiaan pasangan, maka kebahagiaan merekah di hati.
Selagi terjebak pada kalkulasi kepentingan pribadi, kita tak akan bisa bersyukur dengan hadirnya pasangan. Bahkan, kita mempersepsi pasangan sebagai biang dari segala bentuk penderitaan yang menghajar. Penderitaan adalah akumulasi dari tak terpenuhinya keinginan yang pernah menyeruak sebelum pernikahan dihelat. Akibatnya, setelah menikah, yang didapatkan bukan kehidupan yang baik-baik saja, melainkan semakin melorot dalam penderitaan yang bertubi-tubi.
Mengingat banyaknya kenyataan yang tidak sejalan dengan ekspektasi, membuatnya mudah tersusupi persepsi, benarkah orang yang kunikahi ini adalah jodohku. Ditambah lagi dia memandang banyak orang di luar sana yang memiliki sikap lebih baik. Sudah tak seharusnya, pertanyaan itu mengusik hati kita setelah pernikahan dihelat.
Kita harus meyakini apa yang sudah ditakdirkan Allah untuk kita adalah pasti terbaik. Yang belum kau nikahi, belum tentu baik. Tapi, orang yang sudah kau nikahi, sudah pasti baik. Mengapa? Karena jodoh yang terjalin cinta denganmu adalah pilihan Allah. Tak ada jalan lain, kecuali ridha dengan ketetapan Allah SWT.
Kalau Anda bersabar dengan segala kenyataan yang tak senafas dengan ekspektasi, kelak Allah akan menyingkapkan hikmah yang luar biasa.
Selain itu, harus disadari bahwa kebahagiaan tidak serta merta tumbuh ketika pernikahan dijalankan. Kebahagiaan rumah tangga dibentuk melalui proses yang panjang. Ketika awal-awal pernikahan, karena masih proses saling memahami dan saling menyesuaikan, tak jarang terjadi pertengkaran-pertengkaran kecil. Dari pertengkaran yang sering mengiringi perjalanan pernikahan, lalu tergerak untuk melakukan muhasabah.
Terpungut sebuah kesimpulan, pertengkaran sama sekali tak menghadirkan kebahagiaan. Maka, cara tepat membangun kebahagiaan adalah melalui kerukunan. Kerukunan hanya bisa dibentuk ketika ada semangat saling mengalah, dan berjuang menyesuaikan diri dengan pasangan selagi tidak keluar dari batas-batas agama.
Bukan hanya mengalah, tapi juga selalu memaafkan, bahkan tak jeda berbuat baik pada pasangan yang mungkin belum bisa menyajikan kebahagiaan padamu. Anda akan mudah memaafkan pasangan ketika timbul kesadaran bahwa manusia tempatnya salah, juga ketidaksempurnaan. Tidak hanya memaafkan, tapi juga berbuat baik pada pasangan. Karena kaulitas kebaikan manusia diukur bagaimana dia berbuat baik pada pasangan.
Rasulullah SAW bersabda : “Sebaik-sebaik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku”. (HR. Tirmidzi)
Mencintai Takdir
Jodohmu adalah takdirmu. Kalau Anda justru mengalihkan pandangan pada selain dia, atau memupuk kebencian padanya, sejatinya tanpa disadari, kau sedang membenci takdir. Kenapa dulu, di saat awal perkenalan, orang begitu besar rasa cintanya pada calonnya. Akan tetapi, setelah si pasangan resmi menjadi jodohnya, lalu seolah-olah cinta menghilang dan terkikis habis.
Ketika pernikahan telah dihelat, maka kita sedang menjalani lorong kehidupan untuk tetap memperjuangkan cinta. Sebagaimana menapaki kebahagiaan penuh dengan perjuangan, maka mempertahankan cinta pun juga membutuhkan perjuangan.
Jadi, pernikahan adalah wahana bagi kita untuk bisa mengolah dan merawat kebahagiaan. Kebahagiaan dalam rumah tangga perlu kerjasama karena kebahagiaan tidak bersifat individual, tapi bersifat kolektif. Kalau Anda bisa membahagiakan orang lain, disana kau akan menemukan kebahagiaan. Begitu pula suami istri, kerjasama keduanya sangat efektif dalam menghadirkan kebahagiaan.
0 comments