-->

Ruhul Muhammadiyah

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Ruhul Muhammadiyah

26 September 2022

Ruhul Muhammadiyah

26 September 2022



Ruhul Muhammadiyah selalu menjadi kajian menarik bagi setiap pejalan ruhani. Terutama orang yang pengin mengenal Tuhan. Karena tidaklah seseorang mengenal Allah tanpa terlebih dahulu mengenal Ruhul Muhammadiyah. Sebagaimana, seseorang tidak akan pernah bisa menggapai cinta Allah tanpa terlebih dahulu mencintai Sayyidina Muhammad SAW. 

Meski pelik, karena dibumbui filsafat, tema ini selalu menggugah kita untuk menyelami dan mengupasnya dengan penuh keceriaan. 

Sejatinya pengetahuan kita tentang Ruhul Muhammadiyah bukan hanya terkait dengan Nabi SAW, tapi juga terkait kehidupan yang tunggal dan terintegrasi. Disana, kita tak lagi menemukan kenyataan yang bersifat parsial. Segalanya integral. 

Bukankah hanya dengan mencapai keutuhan, berarti kesempurnaan, manusia akan memasuki istana kebahagiaan yang sebenarnya? Berbincang Ruhul Muhammadiyah bukan membicarakan perkara di luar kita, melainkan berbicara tentang diri kita sendiri. Mengapa demikian? Karena kita berasal dari dia. 

Kalau kita menyelami keberadaan kita hingga mendasar, bukan hanya meraih kerang, tapi juga membelahnya untuk mendapatkan mutiara, maka disana kita mengenal Nur Muhammad. Siapa yang telah mengenal Nur Muhammad, maka dia akan menjelma menjadi manusia yang hampa keakuan (nir-egoism). Menjelma seperti ruang yang tak bisa dihancurkan. Dia hidup untuk merangkul segalanya dengan utuh.

Setiap pejalan ruhani pasti penasaran siapa dan apa Nur Muhammadiyah itu? Bukankah Nur inilah yang paling dekat kedudukannya dengan Allah SWT? Setingkat Malaikat Jibril saja, yang notabene ia menjadi penghulu dari semua malaikat, tidak bisa menembus sidratul muntaha. Namun Sayyidina Muhammad SAW—yang padanya tersimpan Nur Muhammadiyah, bisa sampai kepada Allah. Saking dekatnya, digambarkan bahwa antara Allah SWT dan Rasulullah SAW hanya berjarak dua busur panah. 

Lantas, apa Ruhul Muhammadiyah itu? Dalam pandangan guru mulia allah yarham KH. M. Dhiyauddin Qushwandhi, Ruhul Muhammadiyah terdiri dari tiga anasir, yakni hidup, cahaya, dan ruang. 

Pertama, bibit kehidupan semesta. Karenanya ia disebut dengan bibit atau biji semesta. Andaikan kehidupan ini adalah pohon, maka bijinya adalah Nur Muhammadiyah. 

Kalau kita menelusuri, mana biji semesta, kok tidak terlihat? Kita bisa belajar pada petani yang sedang menanam biji jagung. Ketika biji jagung ditanam dan dikubur di tanah, kemudian di tunggu beberapa lama, maka biji tersebut menumbuhkan pohon jagung, hingga kemudian menghasilkan bertongkol-tongkol jagung. Dan setiap tongkol menghimpun berbiji-biji jagung. Sekarang, bagaimana jika kita diminta untuk mencari biji yang dulu ditanam. 

Kita akan bergegas mencabut pohon tersebut, sembari menguruk dan menggali ke dalam. Tentu saja, kita tidak akan mendapati biji jagung itu lagi. Meski tidak ada biji jagung tersebut, bukan berarti benar-benar tidak ada. Biji jagung telah meliputi seluruh pohon jagung. Ia terserap di akar, menyusup di pokok, merambat di batang dan ranting, dan meresap dalam buah. Semua unsur tanaman dipenuhi dengan jagung.

Adalah sebuah hadits Qudsi, “Aku rahasia dari manusia, manusia adalah rahasiaku”. Seperti pohon jagung bilang, aku adalah rahasia biji jagung, dan biji jagung adalah rahasiaku. Ketika biji jagung sedang ditanam, disana tersimpan blue print pertumbuhan pohon jagung. Ketika pohon jagung sudah tumbuh, maka jagung menjadi rahasianya. Tunggu beberapa bulan, maka dari pohon jagung menyembul bertongkol-tongkol jagung. 

Kalau tidak karena Ruhul Muhammadiyah, maka kehidupan ini tidak terselenggara dan tergelar. Allah berfirman dalam hadits Qudsi, “Kalau tidak karena Engkau Muhammad, tidak Kuciptakan Adam, Surga, dan neraka”. Hadits tersebut menandakan bahwa selain Ruhul Muhammad SAW sebagai tujuan penciptaan, juga karena bibit dari penciptaan semesta. 

Kedua, Nur. Tanpa ada cahaya, kehidupan tidak akan tampak. Guru mulia mengibaratkan cahaya dalam televisi. Di televisi sudah tersedia gambar-gambar. Tapi masih semacam potensi. Gambar-gambar bergerak itu baru bisa disaksikan ketika ada cahaya. Ia ada sebelum alam semesta tergelar. Iya, sejak dahulu kala cahaya itu ada. Bagaimana Sayyidina Muhammad bersabda, “Yang pertama kali Allah ciptakan adalah cahayaku. Dari cahayaku diciptakan segala sesuatu”.


Hubungan Nur Muhammad dengan Allah seperti hubungan cahaya dan matahari. Sebagaimana cahaya tak bisa dipisahkan dari matahari, pun Nur ini tak bisa dipisahkan dengan Allah SWT. Meski demikian, Nur Muhammad bukan Allah. Sementara manusia hanyalah pantulan dari Nur ini. Guru mulia memberi perumpamaan seperti cahaya matahari yang memancar terang. 

Di bumi berjejer 1000 bejana berisi air. Maka tentu saja, kita melihat cahaya matahari tampil pada seribu bejana. Cahaya dalam bejana hanyalah pantulan, bukan sebenarnya cahaya. Selain itu, segala anasir terlihat di bumi karena adanya cahaya. Cahaya bersifat menampakkan. 

Kalau kita berada di sebuah ruangan yang tertata apik, kursi dan meja berjejer apik, lalu kita ditanya, kau sedang lihat apa? Mungkin kita menjawab, “Saya melihat ruangan yang indah, dengan meja dan kursi yang diatur dengan rapi”. “Apakah tak melihat yang lain?”. “Tidak!”. 

Seharusnya kita melihat cahaya sebelum melihat segala yang tergelar di depan kita. Namun, karena saking terangnya cahaya, kita tak bisa melihat cahaya itu sendiri. 

Serupa dengan burung yang terbang, meliuk di udara. Ia masuk ke sebuah lubang, kembali memperlihatkan atraksinya meliuk-liuk di udara, hingga kemudian ia melihat ada sebuah jendela yang berkaca terang. Dia terbang menabrak kaca tersebut. Iya, saking terangnya kaca, sehingga tidak terlihat oleh burung tersebut. 

Nur Muhammad sangat terang. Saking terangnya, semua tenggelam dalam terangnya. Seperti hilangnya cahaya bintang-bintang ketika disambar oleh cahaya rembulan. 

Nur Muhammad merupakan penghulu dari semua keberadaan. Kalau kita begitu cinta pada kedirian diri sendiri, seharusnya kita bisa lebih mencintai Nur ini. Karena dialah, sekali lagi, penghulu semua keberadaan. 

Ketiga, ruang. Jika hidup seperti film negatif, Nur seperti cahaya yang memancari film negatif, sehingga gambarnya tampak. Sementara ruang seperti layar, sebagai wahana yang menampung gambar dan cahaya. Ruang di luar luas, tapi ada batasnya. Mungkin kita tahu sebuah kota Jakarta, tapi karena kita sedang tinggal di Surabaya, maka kita tidak bisa langsung tiba ke Jakarta saat ini pula. Selain itu, ruang yang kita tempati, mungkin daya tampungnya terbatas. Kalau kita terus isi dengan barang, maka ruang itu mengalami sesak, dan berjejal. 

Begitulah keadaan ruang di luar. Sementara pada kita, ada ruang di dalam berupa kesadaran. Kesadaran tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Jika kita sedang berpikir sebuah kepulauan di Indonesia, kita bisa berimajinasi benar-benar berada disana, tanpa harus menggunakan kendaraan super cepat. Pikiran memang lebih cepat daripada cahaya. 

Selain itu, ruang di dalam sangat luas. Kalau kita sedang berpikir sebuah kota yang besar, maka kota itu “memasuki” kesadaran kita dengan utuh. Kesadaran itu bisa menampung lebih besar daripada kota itu. 

Puncak kesadaran adalah cinta yang memancar dari hati. Setiap yang dicintai tertampung di dalam hati. Kalau kita mencintai Allah, maka Allah berada dalam dalam hati. Makanya, Allah tak bisa ditampung dengan langit dan bumi, tapi bisa ditampung oleh hati orang beriman. Ketika kita sadar akan kehadiran Allah, maka Allah ada disitu. Bukankah ada bergantung pada sadar, dan tidak ada bergantung pada tidak sadar?


BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang