-->

Tetap Bahagia Dalam Musibah

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Tetap Bahagia Dalam Musibah

08 September 2022

Tetap Bahagia Dalam Musibah

08 September 2022



Semenjak dilahirkan ke bumi, kita telah ditahbis sebagai peserta ujian. Siapapun tak bisa mengelak dari ujian.  Mendengar istilah ujian, maka yang terpantik di pikiran adalah tentang kenaikan derajat. Iya, hanya dengan berhasil melampaui ujian, seseorang akan naik kelas. 

Hanya pembual dan tukang tipu saja yang berani berujar,“kemarin naik kelas.” Sementara dia diketahui tak pernah mengikuti ujian yang diselenggarakan. Apakah seorang murid akan lulus dan naik kelas ketika teman-temannya sedang mengikuti ujian, dia sendiri nongkrong di kantin, tanpa mengikuti ujian yang sedang berlangsung? 

Tentu saja, dia tidak naik kelas. Meski naik kelas, di tetap merasa bahwa kenaikan kelas yang dia raih sama sekali tidak menghadirkan kehormatan pada dirinya. Malah menggerus kehormatannya. Seperti orang yang tidak jujur. Bisa saja dia memperoleh apa yang ditargetkan dengan segala cara, tapi pencapaian itu sama sekali tak membekaskan rasa tenang ke dalam jiwa. 

Musibah adalah sebuah keniscayaan yang akan dialami setiap manusia. Meski kita akan disertai musibah, kita tetap bisa bahagia. Karena menderita dan bahagianya kita tidak bergantung oleh datangnya nikmat dan musibah. Akan tetapi sangat terkait oleh sikap kita terhadap musibah. Dan sikap terbaik terbit dari sudut pandang yang baik. 

Lantas, bagaimana perspektif yang kudu dibangun dalam kesadaran kita terkait musibah? Jika perspektif ini telah terbentuk dalam kesadaran kita, kebahagiaan akan selalu menghiasi hati kita, meski kita senantiasa didera musibah. 

Pertama, musibah sebagai wujud kekuasaan Allah. Tak seorang pun bisa mengelak dari musibah. Seperkasa apapun, manusia tidak bisa menghadang laju musibah yang sedang berlari kepadanya. 

Orang punya jabatan tinggi, tiba-tiba harus meluncur ke titik terendah dalam waktu sekejap. Jabatan prestesius harus dicopot. Dia harus merelakan diri jadi orang biasa saja. Sosok konglomerat yang telah menghimpun sekian kekayaan yang membuat orang tercengang, dalam waktu singkat seluruh kekayaan ludes. Jatuh bangkrut. Bahkan dia harus terjerat hutang yang menggunung. 

Mungkin ada sosok orang yang popular, namanya menyebar dan viral. Seantero negeri mendadak mengenalnya. Dia diundang ke mana-mana. Hanya dalam waktu singkat, seluruh popularitas meredup. Dan namanya kembali senyap. Tak ada lagi orang yang mengenalnya. Media juga tak lagi tertarik untuk mengeksposnya. Bukankah media hanya mengekspos yang laku dijual. Menghasilkan rating. Kalau sudah tak ada yang baru lagi yang bisa diberitakan, maka media kehilangan gairah untuk mengekpos kembali. 


Kesemua fenomena yang saya paparkan hanya menggambarkan tentang kekuasaan Allah. Tentu saja tak ada yang pengin jatuh miskin, jabatannya hilang, atau popularitasnya redup. Akan tetapi, jika Allah berkehendak, maka tak ada yang bisa menghalangi dan menghentikannya. Bahkan, andaikan kita tetap melawan kenyataan yang datang, kita akan semakin babak belur. Semakin besar rasa sakit yang diderita. Sekali lagi, takdir mengalir dari kuasa Allah yang tak terbatas. 

Kesadaran di atas memandu kita agar masih memiliki celah untuk bahagia. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan andai Allah berkehendak, maka sangat mampu untuk menimpakan musibah yang lebih besar. 

Namun Allah memberi musibah sesuai porsi kita, sehingga tidak membuat kita terpelanting, jatuh, dan mati oleh tersebab musibah. Jika musibah tak membuatmu mati, maka musibah tersebut hadir untuk menguatkan sendi-sendi mentalmu. Tak lagi mudah mengeluh dengan musibah yang datang bertubi-tubi menghajarmu. 

Artinya, meski Allah berkuasa, Allah tak pernah melampaui batas. Apalagi berbuat zalim pada hamba-Nya. Musibah, bahkan, sebagai bentuk tarbiyah makin mendewasa jiwanya, makin menghunjam imannya, dan makin menjulang derajatnya. 

Pemahaman seperti ini akan membimbing kita untuk bersabar dalam menjalani musibah. Seperti orang menyangga beban, maka perlu kesabaran. Apabila dia terlatih bersabar dengan sebuah beban, pada saatnya beban tersebut akan terasa ringan. Gilirannya akan bisa menanggung beban yang lebih besar. Andai orang belum mampu menanggung beban dirinya, maka bagaimana dia bisa menanggung beban orang lain. Hanya orang-orang yang telah teruji menghadapi musibah dengan kesabaran yang tinggi, insya Allah akan bisa berkiprah menanggung beban orang lain. 

Selain itu, akan terbit kegembiraan dari ufuk batin. Karena musibah yang disabari menghasilkan pahala tanpa batas dari Allah Swt. Dan tentu di sana terbentang kebahagiaan—yang juga—tak terbatas bagi orang yang hatinya berlapis kesabaran. 

Kedua, Mahabaik. Kesadaran semacam ini akan membentuk pandangan kita selalu baik atas segala realitas takdir yang menerpa kita. Bukankah semua kenyataan mengalir dari mata air yang sama. Mata air kasih sayang dan kemahabaikan Allah. 

Keyakinan bahwa Allah baik membuat hati jadi lerem, marem, dan tenteram meski berenang di antara musibah. Seorang guru menggambarkan seperti teko. Teko hanya mengeluarkan apa yang menjadi isinya. Jika berisi susu, maka yang keluar adalah susu. Jika berisi racun, maka yang keluar juga racun. Jika berisi madu, maka yang mengalir darinya adalah madu. 

Dan Allah adalah kebaikan mutlak. Maka sudah barang tentu yang mengalir dan meluncur dari-Nya hanya kebaikan. Ingatlah musibah dan nikmat berasal dari tangan yang sama. Tangan Allah. Tangan yang penuh kebaikan.

“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapapun  yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imron [3]: 26)

Dalam pandangan guru saya, musibah dan nikmat sebatas kulit. Sementara isinya hanya kebaikan saja. Takdir bisa bermacam warna. Tapi isinya hanya kebaikan. Pada akhirnya kembali pada bagaimana kita memandangnya. Kelihatan dari luar musibah, tapi pada akhirnya Anda akan menyadari sebagai nikmat. 

Sebuah kisah menarik sering diceritakan oleh guru mulia. Seorang Raja bersama pengawal setianya. Di suatu kesempatan raja turun ke laga perang yang sangat dahsyat. Raja ikut bertarung dalam perang tanding tersebut. Keadaan nas pun menimpa raja. Jemarinya tertebas oleh pedang musuh. Dia tentu saja meringis, dan bersedih. 

Demi mengerti bahwa jari raja tertebas, pengawal setia bilang, “yang terjadi yang terbaik, wahai raja!” Kalimat sang pengawal bukan membuat raja merasa tenang, malah dia marah dan meradang. Sekaligus meminta pengawal lainnya akan meringkus sang pengawal setia, langsung dijebloskan ke penjara. Sebelum digelandang ke penjara, si pengawal kembali mengucapkan, “Yang terjadi yang terbaik.” Mendengar ucapan tersebut, raja sangat gemas. Dia langsung diseret ke penjara. 

Tibalah waktunya, raja pergi berburu ke hutan. Setibanya di hutan, raja ternyata dikejar oleh suku primitif yang tinggal di pedalaman hutan. Raja ditangkap dan diringkus. Dihadapkan pada ketua suku. Sedianya raja hendak dijadikan tumbal persembahan. Sebelum dijadikan tumbal, maka dia perlu diteliti dan ditelusuri dahulu, apakah memenuhi syarat atau tidak. Ternyata setelah diteliti, raja tak memenuhi syarat untuk dijadikan tumbal. Karena anggota tubuhnya tidak lengkap. Alias cacat. Urunglah raja dijadikan tumbal. Tentu saja kebahagiaan meluapi hati raja. 

Dari situ, terbukalah hati raja terkait kalimat yang diucapkan oleh pengawal yang kini mendekam di penjara. “Yang terjadi yang terbaik.” Dia langsung menemui pengawal tersebut, dan mengeluarkan. “Saya baru sadar bahwa saya mendapat musibah kehilangan jari adalah yang terbaik.” ujar raja. “Karena berkat kehilangan jari, saya terhindar dari musibah yang lebih besar. Kehilangan nyawa.” 

“Tapi, aku tidak paham, mengapa kau mengatakan bahwa kau dijebloskan ke penjara sebagai kenyataan yang terbaik?”

“Iya raja, ke mana saja raja pergi, saya selalu membersamai dan mengawal raja. Ketika saya tidak dipenjara, tentu saya akan ikut raja berburu. Kalau Raja tak memenuhi syarat untuk dijadikan tumbal, siapa kira-kira penggantinya, wahai raja?”

Dari situ, raja tersenyum simpul. Telah memahami makna apa yang terjadi yang terbaik. Seseorang bisa meyakini yang terjadi yang terbaik bakda dia mengetahui bahwa setiap takdir mengalir dari Yang Mahabaik. Allah Swt. 


Ketiga, selagi bukan musibah akhirat, maka musibah tersebut kecil. Dunia ada batas dan durasinya. Begitu juga kenyataan takdir yang mengiringi manusia di dunia juga ada batas waktunya. Tidak ada yang permanen. 

Kehilangan uang bisa jadi musibah dunia, tapi kehilangan waktu shalat sebagai musibah akhirat. Kehilangan uang boleh jadi membuat orang susah, tapi kehilangan shalat, berarti terputus hubungan dengan Allah membuat seseorang terputus dari kebahagiaan hidup. Kesengsaraan di akhirat sudah terbentang di depan mata. 

Bahkan tak jarang, orang mendapati musibah dunia, malah membuat orang mendekat pada akhirat, sekaligus mendekat pada Allah Swt. Kalau musibah dunia membuat orang dekat dengan akhirat, sejatinya sebuah kenikmatan yang tersembunyi. Musibah menjadi pembuka seorang hamba memeroleh hidayah dari Allah Swt.    

Musibah akhirat—yang disabari—akan memeroleh ganti di akhirat, tapi orang yang kehilangan nikmat akhirat, maka dia tak memeroleh nikmat apapun. Karena itu, selagi bukan musibah akhirat, maka musibah itu sangatlah kecil. Karena sifatnya sementara dan bahkan semu.

Keempat, Allah Mahakaya. Ketika Allah mengambil sesuatu dari kita, bukan karena Allah telah kehilangan kekayaan. Allah tidak pernah tertimpa kekurangan. Karena Dia Mahakaya. Andai seluruh makhluk diberi kekayaan semua tak pernah mengurangi kekayaan Allah. Iya, kekayaan Allah tak pernah berkurang. 

Kalau Allah mengambil sesuatu dari kita, karena Allah hendak mengganti dengan yang lebih baik. Amatilah, bagaimana jalan raya yang biasa kita lewati, tiba-tiba dibongkar dan dikeruk. Mungkin Anda mengeluh, “mengapa sih jalan kok dibongkar begini. Kan, jalannya saya terusik?” 

Ingatlah, jalan itu tak selamanya berlubang dan amburadul. Kenyataan tersebut hanya terjadi sebentar. Tunggulah, sampai para tukang itu menyelesaikan tugasnya, maka Anda akan mendapati jalan semakin lebar, semakin halus, dan juga kokoh. Anda akan mendapati keadaan yang lebih nyaman. 

Keyakinan harus dipahatkan dalam kesadaran kita bahwa Allah tak pernah mengambil. Andai Allah mengambil dari kita, karena Allah hendak mengganti yang lebih baik. Karena Allah memaksa tangan kita yang lama tergenggam agar terbuka. Seketika terbuka, dia tak hanya melepaskan apa yang di genggaman, tapi dia mendapatkan ganti yang lebih baik.

Keyakinan-keyakinan di atas bisa memandu kita untuk tetap bahagia—setidaknya tidak berkurang—meski musibah datang mendera.       



BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang