Dahsyatnya Shalawat
20 October 2022
Kita mungkin tak bisa mengandalkan kekuatan dan kemampuan diri sendiri. Optimisme kita bukan memancar dari kuasa kita, melainkan berasal dari hadirnya Sayyidina Muhammad SAW. Iya, kegembiraan raya menyelimuti kita karena telah ditakdirkan menjadi umat beliau. Sosok yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah SWT.
Jika kita sedang dipapar bermacam masalah, maka panggillah nama sosok ini, semoga segala bentuk kerumitan hidup yang menyambar kita akan segera terurai, sirna, berganti dengan kemudahan demi kemudahan yang dipuncaki dengan kegembiraan, plus kepuasan.
Shalawat tidak hanya berlaku saat Sayyidina Muhammad SAW dilahirkan. Shalawat, bahkan, sudah diucapkan sebelum beliau dilahirkan ke dunia. Setelah beliau wafat pun efek shalawat masih tetap berlaku. Shalawat menjadi sarana solusi sepanjang zaman. Saya coba memaparkan beberapa petikan kisah menakjubkan tentang shalawat.
Shalawat sudah terkenal semenjak Nabi Adam as tinggal di surga. Di suatu kesempatan, beliau terlihat sangat kesepian. Meski diitari malaikat di kanan-kirinya, beliau tetap diselimuti perasaan sedih. Merasa belum mendekap kesempurnaan hidup. Mengapa demikian? Karena beliau tak mendapati sosok yang siap menemaninya dari jenisnya sendiri.
Allah Maha Mengetahui tentang kesedihan yang terselip di hati penghulu semua manusia. Nabi Adam as tertidur pulas. Setelah terjaga dari tidurnya, betapa terkejutnya beliau karena mendapati seorang wanita disampingnya. Wanita ini—kemudiaan—disebut Hawa.
Melihat wanita tersebut, Nabi Adam as tergerak hati untuk menyentuhnya. Allah melarang. Hanya pernikahan yang bisa menghalalkan Hawa bagi Adam. Karena itu, dinikahkanlah Nabi Adam as dan Hawa. Namun, apa kiranya mahar yang tepat untuk pernikahan agung tersebut? Jibril manawarkan shalawat sebagai mahar pernikahan tersebut. Kemudian shalawat tersebut dinamakan Shalawat Jibril. Adapun shighah-nya : “Shallah ‘ala Muhammad”. Dengan bermodal mahar tersebut, resmilah Nabi Adam as dan Hawa menjadi suami-istri.
Setelah diturunkan dari surga, Nabi Adam as terus-menerus melangitkan tobat pada Allah. Akan tetapi, tobatnya tak juga diterima. Kemudian beliau bertawasul pada Sayyidina Muhammad, sehingga taubatnya diterima oleh Allah. Iya, demi menyelipkan nama Muhammad dalam tobatnya, Allah pulihkan dan maafkan Nabi Adam as.
Nabi Musa as adalah seorang nabi yang bisa “berbincang” dengan Allah. Beliau pernah dihimpit oleh kenyataan yang amat darurat. Bagaimana tidak, di depan terbentang lautan merah. Jika beliau, menerobos lautan tersebut, terbayang akan tenggelam di lautan terdalam. Sementara di belakang, Fir’aun bersama pasukannya mengejarnya dengan membawa api amarah yang besar dan siap membunuh Nabi Musa beserta pengikutnya.
Ketika sudah tiba di bibir pantai, Nabi Musa as menghantamkan tongkat yang dipegangnya ke Laut Merah. Namun, tidak ada yang berubah pada lautan. Kemudian Allah mewahyukan Nabi Musa as untuk membaca shalawat pada Nabi Muhammad SAW. Apa yang terjadi selanjutnya? Kali ini, Laut Merah mendadak terbelah menjadi jalan raya dengan asbab bacaan shalawat. Nabi Musa as bersama pengikutnya pun bisa melenggang dengan lempeng di jalan tersebut.
Saya menukil dari ceramah KH. Mas Yusuf Muhajir, bahwa dahulu—jauh sebelum Rasulullah SAW dilahirkan, ada Pasukan suku Wadfan yang beragama Yahudi. Mereka berharap bisa menggapai kemenangan gemilang dalam sebuah peperangan. Biasanya, jika pasukan ingin meraih kemenangan, maka mereka harus mengatur strategi yang cerdik, menambah pasukan, dan melengkapinya dengan peralatan yang canggih.
Hanya saja, jawaban yang muncul dari seorang rahib Yahudi saat itu bukan tiga hal tersebut. Dia malah meminta agar bertawasul pada Nabi Muhammad SAW. Apa yang terjadi kemudian? Sebuah keajaiban pun mewarnai perang tersebut. Peperangan itu dimenangkan oleh Suku Wadfan. Dari mana kemenangan berasal? Dikarenakan bertawasul pada Sayyidina Muhammad SAW.
Bayangkan, Rasulullah SAW belum dilahirkan, tapi bertawasul pada beliau sangat efektif mengantarkan kemenangan bagi orang Yahudi. Dari sini, kita bisa menerima bahwa Rasulullah SAW bukan hanya rahmat bagi orang beriman, tapi juga rahmat bagi seluruh alam.
Saya juga pernah mendengar cerita dari guru mulia, Semoga Allah selalu mengampuni dan mengasihi beliau. Beliau bercerita bahwasanya ada seorang China datang ke Allah Yarham KH. Hamid. Dia mengeluhkan kondisi bisnisnya yang sedang terpuruk. Dia mendatangi Kyai Hamid berharap agar bisnis yang sedang ditangani pulih dan berjalan kembali.
Karena itu, Kyai Hamid mengajarkan shalawat padanya. Beliau tahu orang China tersebut non muslim, tapi mengapa kyai memberikan amalan shalawat? Di kemudian hari diketahui, ternyata bisnis yang dijalankan oleh orang China tersebut pulih, merangkak, dan bahkan melejit. Setelah bisnisnya bertumbuh pesat, dia datang kembali ke Kyai Hamid mengungkapkan rasa syukur dan terima kasihnya.
Bayangan, jika pada orang non muslim saja, shalawat punya dampak yang sangat dahsyat, lebih-lebih pada orang beriman. Bukankah orang beriman punya ketertautan jiwa dengan Sayyidina Muhammad. Kira-kira apa saja manfaat yang akan diperoleh orang beriman yang mendawamkan shalawat?
Tiada yang memancar dari shalawat kecuali kebaikan saja. Nyaris tidak didapatkan efek negatif bagi pengamal shalawat. Karena sosok yang kita sebut—melalui shalawat—sebagai rahmat yang Allah hadiahkan. Rahmat di dunia juga rahmat di akhirat. Rasulullah SAW bersabda, “Bahwasanya saya adalah rahmat yang dihadiahkan”. Kalau kita berdekatan dengan rahmat ini, maka sudah barang tentu tidak akan pernah tersentuh oleh penderitaan. Hidup kita hanya dihiasi kebahagiaan semata.
“Tetapi Allah tidak akan menghukum mereka selama Engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan”. (QS. Al-Anfaal [8] : 33)
Mengapa pengamal shalawat tidak akan terjerat penderitaan? Karena pengamal shalawat digolongkan sebagai ahli syukur. Orang yang berdoa belum tentu mendapatkan, orang yang meminta ampun belum tentu memeroleh pengampunan, tapi orang yang bersyukur sudah pasti diterima dan ditambahi oleh Allah SAW.
Shalawat sebagai ekspresi syukur kita atas kehadiran sayyidul wujud, Nabi Muhammad SAW. Dengan bersyukur, seseorang akan terhindar dari bermacam penderitaan, sekaligus akan dilimpahi kebahagiaan demi kebahagiaan.
“Allah tak akan menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman. Dan Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui”. (QS. An-Nisa [4] : 147)
Syukur sebagai ekspresi terdalam dari cinta. Shalawatmu pada Nabi Muhammad SAW menjadi penanda bahwa kita memendam cinta pada kekasih Allah. Setiap kali kita memanggil Nabi Muhammad—sang kekasih Allah, maka kita telah menghadirkan Allah dalam hidup kita. Setiap hati yang dikunjungi Allah, maka kebahagiaan melimpah disana. Kebahagiaan yang tak bisa digambarkan dengan pikiran biasa.
Tak jarang, kita menemukan orang yang terserap dalam pusaran ekstasi dikala mendendangkan shalawat. Mereka bukan hanya membaca shalawat, tapi juga bersimuka dengan sosok yang dishalawati, Sayyidina Muhammad SAW.
Intinya, kita memasuki samudera keselamatan dan kebahagiaan dengan bershalawat, karena shalawat mengandung rasa syukur pada Allah SWT sekaligus bersyukur pada Nabi Muhammad SAW. Dan syukur adalah puncak ekspresi seorang hamba.
0 comments