Jadikan Rasulullah SAW Teladan Terbaik
03 October 2022
Stok orang pintar melimpah. Pun kata-kata hikmah, bertebaran di mana-mana. Di bermacam platform media sosial, kita bisa membaca dan menyimak banyak kata-kata hikmah. Kadang diramu tutur kata dan bahasa yang indah, namun tidak membekas ke dalam hati. Ada kalimat yang sukses menyentuh dan membuat mata gerimis. Hanya saja, bekas yang dirasakan hanya sementara. Lalu menguap begitu saja.
Orang populer juga banyak stoknya. Apalagi kepandaian yang berpadu dengan popularitas, maka ke-tokoh-annya menyebar dengan masif. Di akhir zaman ini, tidak ada kendala berarti bagi orang yang pengin mengakses pengetahuan. Pengin apa saja, sudah tersedia sangat mudah untuk mengunduhnya.
Di tengah berjibunnya pengetahuan, dan menggunungnya karya-karya ilmiah, kita sedang mengalami krisis keteladanan. Kita sulit mendapatkan cermin untuk melihat keburukan dan aib yang menempel pada kita. Tak pelak, kadang kita terperosok dalam suasana psikologis merasa benar. Tak pernah merasa bersalah dengan apa yang sedang kita perbuat. Mengapa kita selalu merasa benar, lalu tidak mudah merasa bersalah atas perbuatan yang kita jalani?
Karena kita sudah merasa tahu hanya dari buku yang kita baca. Akan tetapi, kita kehilangan tempat bercermin. Hilang keteladanan. Teladan seperti cermin. Kalau wajah kita kotor, tanpa bercermin, maka kita akan membiarkan wajahmu kotor. Bahkan, andai ada orang memberitahu tentang kotoran yang melekat di wajah kita, bukannya kita berterima kasih, malah emosi kita meloncak, meradang, dan marah besar. Bagaimana kita yang telah merasa bersih, lalu tiba-tiba ada orang yang memberitahu bahwa diri kita kotor?
Apalagi kita memandang orang yang sedang memberitahu kita juga kotor. Ya, teman kita mengetahui bahwa wajah kita kotor. Demikian juga kita, mengetahui bahwa wajah teman kita kotor. Berbeda halnya, jika kita bertemu dengan cermin yang bening. Meski dia tidak berbicara, diam saja, kehadirannya selalu bisa mengubah. Menginspirasi orang untuk berbenah diri.
Lalu siapa tempat bercermin terbaik? Rasulullah SAW menempati posisi sosok terbaik untuk kita jadikan teladan. Kita bisa menelusuri sejarah beliau, menyusuri perjalanan hidup beliau, serta menyimak dengan seksama tentang cara berpakaian, cara bertutur, dan cara berperilaku beliau.
Jika kita menyimak dengan sangat cermat, tentu kita menemukan mata air jernih yang bisa mengobati kehausan jiwa. Mendapati cermin bening yang siap membenahi langkah hidup kita. Rasulullah SAW merupakan sosok terbaik, baik secara lahir maupun batin. Tidak ada orang yang menaruh benci pada beliau SAW kecuali orang yang memang jiwanya sedang terhijab.
Apa saja yang perlu diteladani pada sosok Nabi Muhammad SAW?
Pertama, shurah, yakni penampilan fisik dan lahiriah beliau. Melihat penataan rambut beliau, cara beliau berjalan, cara beliau berpakaian, cara beliau berbicara. Semua penampilan lahir beliau SAW digambarkan dengan sangat indah dalam Syamail Nabi Muhammad SAW. Penyusunnya Imam at-Tirmidzi. Silakan membacanya dengan jiwa riang gembira.
Hanya memandangi—membayangkan—dimensi lahiriah Nabi SAW, kita akan terkagum-kagum pada beliau. Bayangkan, ketika orang memanggil beliau dari belakang, maka beliau membalikkan seluruh badan, dan segera menghadap pada orang yang memanggilnya. Beliau lebih banyak merespon dengan senyum.
Kalau beliau berbicara, di antara gigi depan beliau seperti keluar cahaya. Mungkin kita perlu menelaah bagaimana Nabi Muhammad SAW berpakaian. Pakaian yang biasa dikenakan Rasulullah SAW adalah gamis. Soal warna, Rasulullah kadang mengenakan pakaian berwarna merah, hijau, dan putih. Jika kita mencintai Rasulullah SAW, maka hendaknya kita bisa meniru beliau SAW dengan tanpa beban.
Bayangkan seorang yang sangat mengidolakan pemain sepak bola. Nyaris setiap sudut rumahnya terpampang foto sang idola. Bukan hanya memasang foto, tapi juga menerima gaya hidup sang idola. Mungkin dia terkesima dengan gaya berpakaian, gaya rambut, bahkan mungkin gaya berbicara.
Adalah seorang pemuda menampilkan gaya berbicara persis seperti Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Karena penasaran, seseorang bertanya, “Apakah Anda fans Cak Nun?”. Dia mengangguk, mengiyakan. Memang pecinta selalu berusaha melakukan identifikasi diri dengan sosok yang dicintainya.
Adalah sahabat Nabi SAW dari kalangan ahlus shuffah, yakni Abdullah bin Umar ra. Beliau sosok yang tenggelam dan terpesona pada Sayyidina Muhammad SAW. Karenanya, beliau sangat ingin meniru persis Sang Junjungan. Di suatu kesempatan, dia tergerak untuk mengunjungi tempat yang pernah dihampiri Rasulullah SAW. Setibanya di tempat-tempat tersebut, maka Abdullah bin Umar ra meniru bagaimana Rasulullah Saw berjalan, berjinjit, dan duduk. Dia meniru persis gerak-gerik Sayyidina Muhammad SAW.
Karena itu, jika ada orang yang meniru cara berpakaian Rasulullah SAW, kita perlu menghormatinya. Jangan sedikit-sedikit bilang sebagai produk budaya Arab. Jubah—misalnya—disebut cara berpakaian orang Arab. Seolah tidak terkait dengan Nabi Muhammad SAW. Ditambah lagi, Abu Jahal juga pakai jubah. Ketika pakai jubah, fokus peniruan kita pada Nabi Muhammad SAW. Peniruan tersebut berbasis pada cinta.
Kedua, Sarirah (kepribadian). Selain kita meniru dimensi lahiriah (jali) Rasulullah SAW, kita perlu meniru hiasan batin (khofi) beliau. Karena kebahagiaan sejati memancar dari keadaan batin kita. Kalau keadaan batin dihiasi dengan sifat-sifat baik, maka bahagia menyertai kita. Sebaliknya, ketika keadaan batin kita dihiasi dengan sifat-sifat buruk, maka penderitaan akan selalu merenggut kita. Apakah Anda bisa menggambarkan tentang kepribadian Rasulullah? Bagaimana saya bisa yang sarat dengan kekurangan dan keterbatasan bisa menggambarkan tentang kepribadian Rasulullah SAW.
Saya pernah menyimak sekilas cerita tentang seorang Yahudi yang bertanya tentang Rasulullah SAW pada Sayyidina Ali kw, “Ya Ali, bisakah kau menggambarkan pada kami tentang Nabi Muhammad SAW?”. Disodori pertanyaan seperti itu, Sayyidina Ali kw balik bertanya, “Apakah kau bisa menggambarkan kepada saya tentang dunia ini?”. Mereka geleng kepala, tanda tidak sanggup menggambarkan kehidupan dunia. “Jika kehidupan dunia yang disebut sedikit saja tak bisa kau beri gambaran, lalu bagaimana saya menggambarkan keadaan Sayyidina Muhammad yang agung”.
Iya, Addunya mata’un qolil (kehidupan dunia adalah sedikit), dan Rasulullah SAW disebut innaka la’alaa khuluqin ‘adhiim (sesungguhnya Engkau berada pada akhlak yang agung). Penggambaran sedetail apapun tentang Nabi Muhammad SAW tetap saja tidak bisa memberikan gambaran yang sempurna tentang beliau. Andai seluruh pohon di daratan dijadikan pena, dan air di seluruh lautan dijadikan tinta, tetap saja tak bisa melukiskan dengan paripurna tentang beliau SAW. Maka tak aneh, jika musuh menghormati beliau, dan sahabat-sahabatnya mencintai beliau SAW.
Jika mau digambarkan secara sederhana, kepribadian Nabi SAW berhimpun dalam 8 sifat, yakni zikir, syukur, ikhlas, sabar, dermawan, ridha, berserah diri, dan tawakkal. Kalau saya diminta menjabarkan 8 sifat ini secara utuh, maka membutuhkan tulisan tersendiri. Semoga Allah memberikan keluasan pemahaman bagi saya untuk menggambarkan. Meski demikian, saya yakin bahwa penggambaran seperti apapun tetap saja tidak mewakili secara sempurna tentang kepribadian Sayyidina Muhammad SAW.
Ketiga, Sirah (sejarah). Kita kenal bahwa seluruh perjalanan Sayyidina Muhammad SAW dihiasi dengan dakwah. Menyeru manusia kepada Allah SWT. Ketika kita mengaku mencintai beliau, kita akan tergerak untuk mengikuti jejak beliau. Berdakwah—sekali lagi—bukan pekerjaan, tapi panggilan jiwa agar kita bisa hadir sebagai bagian dari rahmat bagi semesta alam. Siapa yang menempuh jalan dakwah, berarti dia telah menapaki jalan Rasulullah SAW.
“Katakanlah (Muhammad), inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin. Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik”. (QS. Yusuf [12]: 108)
Dakwah menjadi sebuah jalan menebar rahmat, merawat kepedulian pada sesama. Tidak terjebak dalam pikiran egosentris. Atau beragama secara individualis. Mungkin saja kita mendengar, “Yang penting kita shalat, kita sudah zakat, tidak pernah mengganggu dan mengusik manusia. Terkait dengan orang lain, saya tak peduli”.
Ingatlah, orang yang tidak peduli dengan urusan orang beriman, disebut oleh Rasulullah SAW, bukan termasuk golongan beliau. Artinya bukan termasuk orang yang beriman kepada Allah. Karena orang beriman selalu terdorong untuk menyebarkan manfaat bagi sesama. Dia hadir bukan hanya sebagai salam, rahmat, tapi juga mengekpansi berkah.
Kebahagiaan tidak hanya direguk sendiri, tapi dibagikan kepada sesama. Orang berdakwah adalah sosok yang sudah berbuah.
Kita berharap menjadi kekasih Allah. Namun tidak ada kekasih Allah yang lalai dari berdakwah. Memang, tidak semua dai kekasih Allah. Tapi setiap kekasih Allah pasti dai. Karena dia telah mengikuti jejak Sayyidina Muhammad SAW.
0 comments