Remuknya Hati
27 October 2022
Kita hanya punya satu hati. Ia menampung seluruh perasaan. Kalau sedang didatangi perasaan positif, perasaan negatif akan menyingkir. Sebaliknya, kalau didominasi perasaan negatif, maka perasaan positif akan menjauh terusir. Tentu kita ingin untuk senantiasa mengisi relung hati dengan perasaan positif.
Sejatinya, perasaan itu menggerakkan. Kalau kita senantiasa menghiasi hati dengan perasaan positif, maka arah gerakannya selalu tertuju pada perkara-perkara yang menyebarkan manfaat bagi sesama.
Berbeda halnya, ketika hati selalu mengarah pada dimensi negatif, maka hati hanya akan menerima debu yang menutupi seluruh kebaikan yang bertempat dalam jiwa. Fokus pada perkara negatif berpengaruh pada remuknya hati. Mungkin saja, dahulu kita pernah diperlakukan dengan buruk oleh orang lain. Perlakuan tersebut pun menggoreskan luka yang sangat dalam di hati. Karena kita menemui bermacam pengalaman hidup, pengalaman buruk tersebut pun bisa tertutupi.
Akan tetapi, tiba-tiba pengalaman itu seperti menyeruak kembali. Memenuhi relung hati. Hati yang semula adem-ayem, tiba-tiba berhamburan dengan polusi yang membuat hati terus didera rasa sakit tak berkesudahan.
Kita mendapati warna kehidupan kita sesuai dengan apa yang kita panggil. Kalau kita senantiasa memanggil pengalaman positif, kebahagiaan-lah yang akan menguar di jiwa.
Mengapa hati mudah remuk? Mari kita cari akar permasalahannya.
Pertama, bergantung pada makhluk. Sejak dini, kita telah diajarkan oleh guru agama bahwa manusia tak punya otoritas untuk memastikan segala hal yang tergelar dihadapannya. Allah—memang—menuangkan ilmu, mengalirkan kuasa, memancarkan keinginan, bahkan hidup pun menyertai manusia, akan tetapi manusia tak punya kewenangan memastikan sesuatu. Hatta Nabi pun tak bisa memastikan. Karena itu, jika perlu berjanji terhadap perkara yang akan datang, maka hendaknya kita menyelipkan kalimat ‘Insya Allah’.
Karena kita tidak tahu, apakah besok nyawa masih di kandung badan. Masihkah besok punya kekuatan untuk mengeksekusi apa yang kita janjikan. Masihkah besok keinginan kita masih tetap teguh, atau sudah bergeser pada keinginan yang lain. Karena tak jarang, seiring berjalannya waktu, konsistensi kita tersapu oleh kenyataan baru. Atau dorongan-dorongan lain yang menyeruak dari luar.
Karena itu, bergantung pada diri sendiri saja tidak boleh. Sebab kita tak bisa menetapkan kenyataan. Apalagi bergantung pada orang lain. Selagi terhubung dengan manusia, kita masih berada di lingkup hukum sunnatullah. Hukum sebab akibat. Dan kita sadar, manusia sejatinya tidak bisa berbuat apapun tanpa izin dari Allah. Memang, Allah meminjamkan manusia kuasa, akan tetapi Allah tak memberi otoritas untuk mengeksekusi keinginan jadi kenyataan. Tak ayal, dari sekian keinginan yang terpendam di pikiran, tak semuanya mewujud menjadi kenyataan.
Jika kita tak lagi menggantungkan diri pada makhluk, maka kita telah membebaskan diri dari jeratan derita. Karena berharap manusia bukan hanya membuat kita terbayang kekhawatiran, tapi juga akan mudah terpapar rasa kecewa yang tak berkesudahan.
Ketahuilah, tidak ada yang paling menyakitkan melebihi tertambatnya hati pada manusia. Mungkin kita berpikir, bersama dengan orang yang kita cintai akan selalu membuahkan kebahagiaan. Iya, benar, kalau kita selalu fokus berbagi dan membahagiakan orang kita cintai. Namun, jika kita berharap dibahagiakan, menuntut lebih pada sosok yang kita cintai, maka kita akan mendapati bahwa orang yang kita cintai-lah yang telah berkontribusi besar terhadap penderitaan kita.
Kedua, hidup dalam lingkungan yang toxic. Lingkungan banyak mewarnai dan membentuk kehidupan kita. Tempat kita mengembangkan interaksi akan memberi warna terhadap cara berpikir, lalu bersikap, bahkan berdampak pada suasana hati. Jika bergaul dengan orang yang bermental baik, insya Allah kita akan terpengaruh untuk bermental baik. Sebaliknya, jika kita terjalin dengan lingkungan yang bermental buruk, maka kita akan terpengaruh berperilaku buruk juga. Allah meletakkan perintah mencari teman terbaik setelah takwa.
يا ايها الذين أمنوا اتقوالله وكونوا مع الصادقين
“Wahai orang-orang beriman bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kalian beserta orang-orang yang benar”. (QS. At-Taubah [9] : 119
Anda tercermin dengan siapa Anda bergaul. Kalau Anda bergaul dengan orang shaleh, berarti Anda orang shaleh.
المرء علی دين خليله فلينظر من يخالل
Jika Anda merasa berada dalam lingkungan yang toxic, maka segeralah keluar, alias hijrah ke lingkungan yang lebih baik. Karena lingkungan sedikit banyak memberi kontribusi pada pembentukan cara berpikir.
Kita belajar dari hijrah seorang pembunuh dengan korban sebanyak 99 orang. Berhasil membunuh 99 orang bukanlah sebuah kebanggaan baginya. Bahkan diam-diam menggali penyesalan yang sangat dalam. Karena tidak ingin terus terjerembab dalam jurang kejahatan tersebut, dia berniat tobat, dan lekas keluar dari tabiat jahatnya. Datanglah dia pada seorang ahli ibadah. Setibanya di depan ahli ibadah, dia menyampaikan tentang jejak perjalanan hidupnya yang berlumur darah manusia.
Beliau pun kaget, sekaligus terkejut dan marah mendengar pengakuan pembunuh tersebut. Orang yang ada di hadapannya adalah pelaku dosa yang tak termaafkan. “Apakah Allah akan menerima tobat saya?”, tanya si pembunuh.
“Begitu besar dosamu. Tak ada peluang tobatmu diterima oleh Allah”, ucap ahli ibadah dengan ekspresi penuh kebencian.
Mendengar jawaban yang tidak memuaskan, bahkan menyakitkan, maka dia menjadikan si ahli ibadah tersebut sebagai korban berikutnya. Terbunuhlah si ahli ibadah. Genaplah 100 orang yang terbunuh di tangannya.
Dia pun mendatangi seorang ulama Yahudi. Menyampaikan keadaan dirinya yang penuh dengan dosa. Sang ulama menyimpan belas kasih mendalam pada pria tersebut. “Seluruh dosamu akan diampuni oleh Allah. Tobatmu akan diterima oleh Allah, asalkan kau berpindah dari tempatmu sekarang (buruk) ke daerah tempat berkumpulnya orang shaleh”, nasihat sang ulama.
Dada si pembunuh dipenuhi dengan penyesalan mendalam. Dadanya merasa sesak ketika mengingat perbuatan dosa yang telah dilakukan di masa lalu. Dia bertekad untuk berubah menjadi lebih baik. Bertobat dari masa yang kelam. Dia berpindah ke daerah berhimpunnya orang shaleh. Namun dalam perjalanan hijrah tersebut, dia wafat.
Wafatnya menggemparkan dunia malaikat. Lebih tepatnya, malaikat azab dan malaikat rahmat bersitegang. Malaikat azab mengklaim bahwa pembunuh itu sebagai bagiannya. Sosok yang pantas mendapatkan azab tersebab tumpukan dosa yang dilakukan. Sementara malaikat rahmat justru yakin bahwa pembunuh itu masuk bagiannya. Karena dia telah bertobat sekaligus bertekad meninggalkan masa lalunya yang kelam. Dia juga telah membuka lembaran baru yang berisi ketaatan dan kedekatan dengan Allah.
Perselisihan itu terus berlangsung, hingga datanglah Malaikat Jibril as untuk melerainya. Malaikat Jibril as mengajukan penyelesaian dengan mengukur tempat dimana orang tersebut sekarang tinggal. Kira-kira jaraknya lebih dekat ke tempat yang ditinggalkan, atau ke tempat yang ditujunya? Kedua Malaikat sepakat. Akhirnya mereka mengukur. Hasilnya, ternyata tempat kematiannya lebih dekat jaraknya dengan tempat yang ditujunya. Karena itu, maka Allah terima tobatnya, dan Allah masukkan dia ke dalam surga.
Dari sekelumit kisah tersebut, bisa kita petik kesimpulan, jika orang bertekad berubah, maka dia harus hijrah. Berpindah dari tempat yang penduduknya berbuat maksiat ke tempat yang penduduknya berlomba-lomba dalam ketaatan dan kebaikan.
Sakitnya kita berasal dari dua jalan. Sakit oleh karena lingkungan yang tak membawa kondusifnya batin. Sehingga hati jadi tempat bertumpuknya perasaan negatif yang merusak. Jika kebiasaan negatif terus menyambar kita, maka akan membentuk mental kita yang punya kesamaan dengan lingkungan dimana kita tinggal. Kalau kita bergaul dengan lingkungan perusak, maka kita akan menjelma juga menjadi perusak.
Ketiga, kurang laku ruhani. Untuk bahagia tidak cukup kita mengetahui tentang bagaimana bahagia. Akan tetapi, perlu juga ditopang dengan laku ruhani yang ketat. Kebahagiaan jangan digantungkan pada kondisi eksternal, namun gantungkan pada keadaan batin kita sendiri. Hati yang bersih hanya bisa dibentuk oleh adanya laku ruhani. Biasa disebut dengan mujahadah. Beberapa jenis mujahadah—oleh Guru Mulia—diringkas dengan puasa dan shalat malam.
وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ وَإنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ إِلَّا عَلیَ الْخٰشِعِيْنَ
“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk”. (QS. Al-Baqarah [2] : 45).
Jika keduanya dilakukan dengan ajek alias istiqamah, maka hati pelan-pelan akan bersih dari segala kotoran.
Hati seperti magnet. Kalau hati kita baik, insya Allah kebaikan pula yang akan mendatangi kita. Hati serupa dengan ruang. Kalau ruang itu kotor, menguar bau busuk, maka jangan salahkan kalau binatang menjijikkan datang merubungi ruang tersebut. Kecoak, tikus, lalat, dan semacamnya. Meski Anda, misalnya, mengusir binatang-binatang tersebut, selagi tempatnya masih tetap kumuh dan busuk, mereka akan datang kembali.
Berbeda halnya, jika ruang tersebut bersih, harum, lapang, dijejeri bunga-bunga yang indah, maka yang terundang ke tempat tersebut adalah kupu-kupu yang indah, dan manusia yang datang pun akan merasa nyaman berlama-lama disana.
Demikian pula hati kita. Kalau banyak penderitaan merangsek pada kita, jangan salahkan siapa-siapa, tapi salahkan hati kita sendiri, sembari berupaya membersihkan hati sehingga cemerlang. Dengan demikian, kebahagiaan pun akan mendatangi hati. Insya Allah.
0 comments