Belajar Hidup pada Ayaz
10 November 2022
Di suatu kesempatan, Ayaz diberi mentimun oleh tuannya. Dia menerimanya dengan sukacita. Karena diminta makan oleh sang Tuan, dengan sigap Ayaz memakan, mengunyah, dan menelan mentimun dengan sangat menghayati. Tuannya sangat girang melihat Ayaz begitu menikmati mentimun tersebut. Tuannya tergoda untuk ikut menikmati mentimun tersebut. Ia pun meminta sedikit pada Ayaz. Anehnya, setelah dimakan oleh si tuan, mentimun tersebut terasa sangat pahit. Si Tuan tidak marah, hanya bertanya pada Ayaz, “Mengapa Anda begitu menikmati mentimun tersebut, padahal rasanya sangat pahit?”
“Iya, wahai Tuan. Hanya sebentar saja rasa pahit yang saya rasakan. Selama ini lebih banyak kemanisan dan kelezatan yang saya nikmati”, jawaban tak terduga meluncur dari Ayaz.
Betapa kagum Sang Tuan mendengar jawabannya. Ayaz lebih fokus pada kebaikan yang dicurahkan si Tuan dan nyaris melupakan kondisi buruk yang diterimanya. Seakan rasa pahit telah tertutup oleh rasa manis yang dia nikmati sepanjang membersamai tuannya.
Dari kisah tersebut, kita bisa menerapkannya dalam kehidupan. Meski bertubi-tubi kenyataan buruk dan pahit menerpa, kita harus yakin bahwa kebaikan Allah jauh lebih banyak. Allah memang pernah menimpakan sakit pada kita, tapi Allah lebih banyak memberi karunia kesehatan pada kita. Allah pernah menyeret kita dalam kondisi kesulitan, tapi banyak kemudahan yang sudah kita nikmati. Kalau kita menyadari betapa banyak kebaikan yang telah Allah hadiahkan pada kita, tentu kita akan malu berkeluh kesah pada Allah ketika sebuah kesulitan menyambar kita.
Ayaz merasa telah menangguk banyak sekali kebaikan dari tuannya, sehingga tak patut mengeluh tersebab satu ‘ketidakbaikan’ yang diterima. Jangan seperti orang yang gampang melupakan kebaikan ketika sejenak saja disambar musibah.
Sepanjang hidup telah menangguk keberuntungan hidup. Andai dihitung, maka kita tak sanggup menghitung kenikmatan yang terus mengalir pada kita. Agar kita tidak terlalu sakit ketika ditimpa musibah, maka kita perlu selalu mengingat kebaikan yang telah Allah curahkan pada kita.
Selain itu, tersedia ruang keyakinan pada Ayaz bahwa tuannya sangat baik. Kita pun seharusnya meyakini dengan total bahwa Allah Mahabaik. Keyakinan ini membimbing kita untuk senantiasa berprasangka baik ketika realitas buruk menerpa kita. Kita tak terkecoh oleh kenyataan yang tergelar, tidak terpukau oleh gelombang yang berdebur, tidak tertipu oleh warna yang terlihat.
Perhatian kita tertuju pada siapa yang berada dibalik kenyataan itu. Fokus pada arus dibalik gelombang. Dan rasa yang berada dibalik warna. Kita meyakini bahwa Dialah yang menjadi arus, Dia juga yang menjadi rasa sesungguhnya. Hakikat dari semua kenyataan berasal dari-Nya. Sudah barang tentu hanya kebaikan semata. Rasa itu menetap di hati karena meyakini bahwa Allah Mahabaik. Mana mungkin dari Yang Mahabaik meluncur keburukan? Tidak mungkin.
Selain itu, Ayaz tetap bahagia meski merasa pahit, karena di sisinya ada tuannya. Begitu juga kita, dalam kesulitan seperti apapun, harus terus merasa bahagia. Karena Allah tak pernah meninggalkan kita. Dia selalu membersamai kita dalam situasi apapun. Kesertaan Allah membawa kita dalam suasana batin yang tenang. Dia bersama kita dengan kasih sayang-Nya, dengan kelembutan-Nya, dan kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Dia tak pernah berubah kepada kita, kapan saja dan dimana saja.
Selagi bersama ibunya, seorang bayi sangat tenang dan merasa aman. Ditinggal sebentar oleh ibunya, dia akan merengek, menangis, atau bahkan menjerit. Begitu juga bagi seorang hamba, tidak ada kedukaan yang paling dalam melebihi terpisahnya diri dengan Allah. Tak mengapa kehidupan dikepung musibah, asalkan selalu bersama Allah Swt. Sebaliknya, orang akan terperosok dalam penderitaan meskipun dikitari oleh kemewahan hidup, seperti tikus yang mati kelaparan di lumbung padi.
0 comments