Ketika Akhlak Ditinggalkan
24 November 2022
Sosok yang dikenal pintar. Ketika ditanya sebuah dalil, bisa ribuan dalil yang meluncur dari lisannya. Saking banyaknya hafalan yang nyangkut di otaknya. Akan tetapi, ketika dia berucap, terkesan kasar, sembrono, dan menyakiti orang lain.
Kepintarannya sama sekali tak mendongkrak kebahagiaan baginya. Buktinya, dia tak bisa menyajikan kebahagiaan di hati seseorang. Seharusnya ilmu bisa menjadi cahaya bagi pemiliknya, kemudian menyebar sebagai cahaya bagi orang lain. Ketika ilmu membuat seseorang tersiksa, berarti ilmu yang didulang sama sekali tak memberi manfaat bagi dirinya, apalagi bagi orang lain.
Kaya. Sebuah label yang membalutnya. Kemewahan hidup tampak dari gaya dan perilaku yang dibawakannya. Hanya saja, kekayaan telah membuatnya lupa. Seolah kekayaan itu dia dulang oleh usaha kerasnya, otak cerdasnya, dan terobosan cerdiknya. Walhasil, dia tak nampak sebagai orang yang rendah hati tersebab pencapaian yang diperolehnya, melainkan semakin menjulang kesombongannya. Sekali lagi, kekayaan tak bisa memberi kontribusi terhadap kebahagiaan hidupnya. Malah menjelma sebagai racun yang menggerogoti kebahagiaan yang bersemi di hatinya.
Popularitas. Orang yang tersisih di strata bawah mungkin membayangkan betapa memesonanya jika menjadi orang yang terkenal. Di mana saja, orang mengerumuni dan menyalaminya. Fotonya terpajang dimana-mana. Gegap gempita dan tepuk tangan akan sering didapatkan. Apakah benar popularitas bakal menumbuhkan kebahagiaan bagi kita? Nyatanya, tak sedikit artis yang telah memeroleh popularitas membiarkan dirinya terkapar dalam bunuh diri. Apakah yang bunuh diri bahagia? Karena terlempar kebahagiaan dan terperosok dalam penderitaan itulah yang membuat mereka berani bunuh diri.
Rasulullah Saw menyajikan formula kebahagiaan berdasarkan standar akhlak. Makin mulia akhlak seseorang, maka kebahagiaan pun semakin meningkat. Bahagia—diyakini—tidak berasal dari luar, melainkan bersumber dari dalam. Ketika manusia telah menemukan keutuhan (wholeness), maka kebahagiaan akan mekar dari dalam dirinya.
Seorang senantiasa terkapar dalam penderitaan selagi terjerat dalam jomblo. Apalagi masih sering memeroleh serangan perisakan yang membuat jiwanya selalu tertekan.
Seluruh penderitaan lalu tersingkap bersamaan dengan bertemunya dia dengan sosok yang dicintainya. Merajut hubungan dengan cara yang halal. Senyum pun tersungging indah dari bibirnya. Dia merasa telah menemukan dirinya yang telah lama hilang. Dia merasakan dirinya yang utuh. Bukankah jodoh sebagai diri yang dulu pernah menyatu dalam ketetapan Allah, lalu kemudian terpisah, dan menyatu kembali dalam takdir agung bernama pernikahan.
Akan tetapi, kalau pernikahan meniscayakan orang bahagia, mengapa pernikahan bagi banyak orang malah menjelma sebagai penderitaan. Tak sedikit orang menyesal semenyesal-menyesalnya terkait pernikahan yang dihelat dan dijalani. Mereka merasa jomlo lebih bahagia karena bisa menghirup kebebasan yang sebenarnya. Hidup tanpa ikatan.
Bahagianya jiwa adalah ketika bisa berakhlak dengan akhlak Allah. Tanpa akhlak, maka kehidupan seperti makanan tanpa nutrisi, tanpa rasa. Akhlaklah yang bisa membubuhi makna dalam kehidupan kita. Akhlak seperti angka 1, kata Al-Khawarizmi, pencetus algoritma. Sementara yang lain seperti nol. Kekayaan bernilai nol. Ketika di depannya ada 1, maka akan menjadi 10. Kecantikan nol juga. Ketika kekayaan dan kecantikan berpadu menjadi dua nol. Ditambah akhlak, maka menjadi 100. Popularitas ditambah lagi nolnya, berakumulasi menjadi 1000.
Akan tetapi, meski orang telah mendulang popularitas, kecantikan dikenal dimana-mana, dan kekayaan berada dimana-mana, namun dia tidak menghiasi jiwanya dengan akhlak, maka keseluruhan pencapaian tersebut seperti deretan nol tanpa makna. Iya, kalau pun kita menulis berlembar-lembar angka nol, maka tidak ada artinya tanpa didahului oleh angka 1. Satu tersebut adalah akhlak.
Akhlak tidak pernah usang sepanjang kehidupan. Semakin berakhlak seseorang, maka semakin mulia. Tapi, tanpa akhlak, semuanya akan tumbang, dan lumer.
Ada seorang professor yang dikenal cerdas, tulisan-tulisannya menggigit dan mengagumkan, kritik-kritiknya membuat orang bisa kepanasan. Sang profesor, suatu ketika marah di depan umum, disertai perkataan-perkataan yang tidak mendidik. Mereka tidak lagi beradu argumen, tapi mengedepankan emosional. Ketika saya melihat tontonan tersebut, seluruh kekaguman saya padanya runtuh, dan lenyap begitu saja.
Ada seorang sangat sederhana, tapi dia selalu berhasil “memikat” setiap orang yang berjumpa dengannya. Bukan karena perkataan yang canggih, melainkan karena jiwanya yang tawadhu, sehingga perkataan yang mengalir dari lisannya selalu berhasil menghibur dan meneduhkan hati orang lain. Kita tidak menemukan ilmu tingkat tinggi dibabar olehnya, hikmah-hikmah langit yang teruntai darinya, akan tetapi kebahagiaan senantiasa tercurah indah ke dalam hati tersebab kerendahan hati yang memancar darinya.
Kelihaiannya menghargai pendapat orang lain membuatnya tampak anggun di mata orang lain. Selalu menebar senyum, tanpa kebencian sedikit pun, membuatnya orang lain merasa nyaman bergaul dengannya. Dari situ, kita bisa melihat bahwa kebahagiaan bergantung pada seberapa besar akses yang kita dapatkan dalam menyerap akhlak Allah.
Manusia yang paling bahagia adalah Rasulullah Saw. Mengapa demikian? Karena selain beliau sebagai sosok yang paling bertakwa dan telah menjadi pantulan sempurna dari sifat atau akhlak Allah Swt. Tak heran, jika Allah memuji Nabi Muhammad Saw bukan pada keilmuannya, kemasyhurannya, ataupun nasabnya. Allah Memuji beliau Saw karena akhlaknya yang agung. Beliau telah berhasil merealisasikan akhlak Allah yang begitu anggun dalam kehidupan sehari-hari.
Para sahabat terkejut melihat ada seorang pria menegur Baginda Nabi Muhammad Saw. Pria itu menarik kerah sang Nabi, menghina suku beliau, dan berteriak di hadapan yang mulia, “Apakah kau tidak mau memberikan apa yang menjadi milikku, wahai Muhammad? Demi Tuhan, aku tidak mempercayai kaum dari keturunan Abdul Muthallib yang dikenal suka menunda pembayaran hutang, dan sekarang aku tahu bahwa kamu memang demikian, setelah bertemu langsung denganmu”.
Namun perlakuan dan ucapan itu sama sekali tidak membuat kemarahan Rasulullah Saw terpancing. Beliau begitu besar kesabarannya. Tak tergoyahkan oleh sikap buruk orang lain. Di sisi lain, Sayyidina Umar bin Khattab yang menyaksikan secara live peristiwa tersebut sempat naik pitam, hendak menghunuskan pedang untuk menebas orang itu. Tapi, Rasulullah Saw mencegahnya, bahkan meminta agar bersikap baik. Oleh karena kesabaran yang diperlihatkan oleh Rasulullah Saw, maka orang yang menarik kerah Rasulullah Saw itu dengan suka rela masuk Islam. Ia terkagum-kagum, kalau tidak disebut ‘tersihir’ dengan sikap yang ditampilkan Nabi Muhammad Saw.Fathul Mekah bukan hanya keberhasilan umat Islam menguasai Mekah kembali dari tangan orang kafir Quraisy. Fathul Mekah lebih tepatnya sebagai kemenangan ruhani. Umat Islam bisa menaklukkan hati orang kafir Quraisy karena kelapangan dada Rasulullah Saw dan para sahabat memaafkan segala macam kekejaman dari kafir Quraisy. “Kalian semua bebas!”. Itulah kalimat pamungkas yang disampaikan Nabi Muhammad Saw. Mereka bukan hanya hilang ketakutannya, tapi juga mereka berbondong-bondong masuk Islam.
Kita mendapati dalam fragmen sejarah bahwa masuknya orang kafir Quraisy ke dalam Islam adalah bukan karena serangan fisik ataupun melalui sebuah pertempuran, melainkan karena hati mereka tertawan dengan perilaku dan sikap yang ditunjukkan oleh umat Islam.
Mengapa akhlak penting? Karena akhlak merupakan buah dari agama. Meskipun orang sangat tekun ibadahnya, rajin puasanya, namun akhlaknya bopeng, buruk, dan menjijikkan, berarti ibadahnya belum mencapai buah. Bukankah sesungguhnya pohon ditanam, disiram, dan dirawat bukan semata agar tumbuh besar, melainkan agar kelak bisa menghasilkan buah yang enak dan lezat.
Demikian juga, kita beragama bukan berhenti pada agama. Agama—berikut ibadah yang terkandung di dalamnya—sebagai wasilah untuk membentuk akhlak yang mulia. Bukankah dengan berbekal akhlak mulia kebahagiaan bisa direguk dan dirasakan tidak hanya di dunia, tapi juga berlanjut di akhirat. Bahkan derajat kemuliaan seseorang di akhirat sangat terkait oleh ketinggian akhlaknya. Dan Rasulullah meraih derajat yang paling tinggi dari semua manusia karena akhlak beliau paling mulia dan paling agung.
0 comments