Sudahkah Mendoakan Anak?
28 November 2022
Selain sebagai amanah, anak juga sebagai investasi di dunia dan akhirat. Jika kita tak bisa memegang amanah ini, maka anak bisa menjelma sebagai fitnah di dunia juga di akhirat.
Dikala Allah melahirkan dari kita anak-anak yang sholeh dan sholehah, maka kita sedang menyiapkan kehidupan dunia dan akhirat kita dalam keadaan bahagia. Akan tetapi, mendidik anak tidak semudah yang kita bayangkan. Apalagi pengaruh eksternal sangat besar dalam membentuk perilaku dan sikap anak.
Mungkin saja, kita sering mendapati anak kita bersilang pendapat dengan kita. Bahkan merasa pendapatnya lebih benar. Karena menganggap dirinya lebih modern, lebih up to date, dan tentu gampang menyesuaikan dengan keadaan yang terus berubah. Pandangan-pandangan orang tua kadang dianggap sudah tidak lagi relevan dengan situasi yang dijalani anak muda sekarang.
Hadirlah sebagai Contoh
Karena kurangnya pengetahuan orang tua tentang cara mendidik anak, maka kita masih sering menyemburkan kemarahan pada anak-anak. Marah di hadapan anak bukanlah cara meningkatkan kharisma orang tua di mata anak, malah ‘kekeramatan’ orang tua akan mengalami defisit. Bahkan, ketika orang tua sering marah di hadapan anak, pada gilirannya anak juga akan ikut melonjak dan marah di hadapan orang tuanya. Bukankah anak merupakan cerminan dari orang tua?
Berbeda halnya, kalau orang tua mengajak bicara anak dengan kata-kata yang lembut dan sopan, maka anak pun akan berbicara lembut dan sopan pada orang tua. Iya, anak adalah cerminan dari orang tua. Sebagian guru menyebutkan bahwa anak adalah bayangan dari orang tua. Lihatlah kayu. Jika kayu tersebut tegak lurus, maka bayangan yang terpantul juga lurus. Sebaliknya, jika kayu itu bengkok, maka bayangannya pun akan menjadi bengkok.
Tak sedikit orang tua yang memaksa anaknya agar menyesuaikan diri dengan keinginannya. Tapi dia tidak mau memenuhi ‘keinginan’ itu untuk dirinya sendiri. Orang tua, misalnya, menghendaki anaknya menjadi hafiz Qur’an, tapi orang tuanya jauh dari Al-Qur’an. Maka, akses anak untuk terpompa semangatnya menghafal Al-Qur’an menjadi sangat sulit.
Kalau kita menghendaki anak keranjingan membaca, maka bertanyalah terlebih dahulu pada diri kita sebagai orang tua, sudahkah saya membaca? Atau ternyata lebih banyak menonton TV, atau scrolling HP daripada membaca buku atau kitab? Kita tak perlu banyak memberi nasihat pada anak. Akan tetapi, rajinlah kita memberi contoh. Karena contoh lebih berdampak mengubah mindset seorang anak. Apalagi perilaku dan sikap anak sering dihasilkan dari meniru.
Kalau kita suguhkan perkataan, perilaku, dan sikap terbaik, maka anak akan tumbuh untuk meniru perkataan, perilaku, dan sikap yang juga baik. Jagalah perkataan, dan perbuatan kita di hadapan anak-anak kita. Karena jika sudah terproyeksi, maka segala yang berasal dari kita akan ditiru oleh mereka. Mereka belum bisa mengetahui salah dan benar, hak dan bathil. Mereks masih membebaskan pikiran dari nilai-nilai. Mereka hanya menjadi cermin yang bening. Jika di sampingnya orang bergerak, maka dia pun akan ikut bergerak.
Melangitkan Doa untuk Anak
Apakah kita sudah menyempatkan diri untuk mendoakan anak-anak kita? Mengusap ubun-ubun mereka dengan doa yang sungguh-sungguh untuk kebaikan mereka? Karena terkadang saking sibuknya aktivitas yang kita jalani dan juga banyaknya urusan yang perlu ditangani di luar rumah, setibanya di rumah, kita hanya menyapa anak kita sekadarnya.
Karena rasa capek dan letih telah meremukkan fisik, langsung saja tidur pulas. Hingga keesokan harinya bangun dalam keadaan sudah harus siap-siap menjalani aktivitas baru. Seolah tak ada waktu untuk berinteraksi dengan anak-anak kita. Apalagi mendoakan mereka dengan serius di malam hari. Doa, memang, bukan dialog antara kita dengan anak-anak kita, melainkan doa memiliki dampak jauh lebih besar daripada dialog dengan anak-anak kita. Mengapa demikian? Karena yang mengubah kehidupan anak bukan kita. Paling jauh, kita diperankan hanya sebagai jalan. Pengubah kehidupan anak kita adalah Allah Swt.
Sebuah kisah, seorang ibu yang sangat susah memikirkan anak-anaknya yang jauh dari harapan. Bukan hanya tidak sesuai harapan, tapi anaknya juga tidak mau mendengar nasihat yang disampaikannya. Kemudian beliau berkunjung pada seorang kyai untuk memohon nasihatnya. Setibanya di hadapan kyai, beliau menyampaikan bermacam keluhannya tentang sang anak. Pak Kyai tidak menyampaikan bermacam-macam nasihat, hanya menyarankan si ibu untuk bersungguh-sungguh mendoakan anaknya.
Sekilas, mengapa kyai tidak memberi jalan keluar yang bersifat logis. Mungkin menyodorkan persuasi pada anaknya agar nurut sama ibunya. Setelah di renungi secara mendalam, memang sejatinya manusia adalah makhluk yang lemah. Tidak bisa apa-apa tanpa pertolongan Allah. Kita tidak memiliki kekuatan “memaksa” untuk mengendalikan orang lain, apalagi mengubahnya. Kita hanya bisa mengubah diri kita sendiri. Meski tidak sepenuhnya manusia bisa mengubah dirinya sendiri. Hanya dengan izin Allah, sebuah harapan bisa terwujud.
Benar saja, sang ibu tidak menoleh kanan-kiri. Dia fokus pada nasihat yang dituturkan oleh kyai. Dia terus berdoa pada Allah. Seiring berjalannya waktu, ternyata Allah mengubah jalan dan orientasi hidup sang anak. Dia sering mendekam di rumah. Bukan apa-apa. Ternyata dia sedang membesut sebuah karya untuk diajukan dalam lomba internasional. Dan dia pun memenangkannya. Betapa besarnya kebahagiaan sang ibu. Bukan hanya karena dia telah mampu membesut karya, tapi dia juga mendapati anaknya telah berubah. Kepercayaan dirinya meningkat. Juga semakin memuliakan orangtuanya.
Dari sini, kita bisa memahami mengapa kita perlu ‘mengajukan’ doa pada Allah terkait keturunan kita. Doa bagaikan proposal. Jika tidak bisa mengubah sekarang, mungkin dengan seiring berjalannya waktu, anak tersebut mengalami transformasi yang menakjubkan. Doa terhadap keturunan dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim as.
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang-orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang”. (QS. Al-Baqarah [2] : 128)
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan salat, ya Tuhan kami, perkenankan doaku”. (QS. Ibrahim [14] : 40)
Karena itu, luangkan waktu untuk mendoakan anak-anak kita. Jika kelak kita sudah meninggalkan anak kita tersebab kematian, proposal kita masih tetap berlaku. Jika di masa hidup doa kita belum terkabul, maka Allah akan kabulkan setelah kita wafat.
Saya bertetangga dengan seorang ayah yang istiqomah menjaga shalat berjamaah. Setiap kali saya ke musholla, pasti berjumpa denganbeliau. Meski beliau dipandang istiqamah, dia masih terbelit masalah terkait anaknya yang berkebalikan dengan jalan yang ditempuhnya. Anaknya tidak pernah menginjakkan kakinya (sobo) ke masjid. Lingkaran pergaulannya juga jauh berbeda dengan orang tuanya. Meski demikian, sang ayah tidak pernah jemu mendoakan anak-anaknya. Beberapa tahun berlalu, Allah “memancarkan” hidayah pada anak tersebut. Dia benar-benar meninggalkan kebiasaan masa lalunya. Dan kini, sudah gandrung datang ke masjid.
Jadi, kalau mau menasihati anak, tidak harus dengan marah-marah. Tapi mendoakan, salah satunya dengan mengirimkan fatihah satu per satu untuk anak kita.
Sebuah nasihat yang berkesan dari Gus Miek : “Memperbaiki anak, memperbaiki istri, pakai mulut, pakai kata – kata. Pakai nasehat itu sudah bukan musimnya. Sekarang yang musim pakai getaran batiniyyah. Termasuk anaknya dikirimi fatihah satu-satu. Siapa tahu terkena sinar fatihah menjadi terbuka (hatinya). Anak-anaknya menjadi sholeh mau nyantri mau sholat”.
Dari pemaparan di atas, bisa disimpulkan bahwa cara untuk membimbing anak tidak perlu marah-marah, tidak perlu mengumbar banyak nasihat dan kata-kata hikmah, tapi bagaimana kita bisa hadir sebagai teladan yang ‘bening’ bagi anak-anak. Kita harus menjadi seperti apa yang kita inginkan pada anak-anak kita. Jika kita menghendaki anak-anak kita berhias karakter positif, maka kita haruslah hadir di hadapan mereka sebagai contoh kebaikan.
Selain menjadi contoh, orang tua tidak boleh jenuh untuk terus menerus mendoakan anak-anaknya. Karena kita yakin bahwa yang mengubah anak kita menjadi lebih baik bukanlah kita, melainkan anugerah dari Allah Swt. Bukankah Allah yang membolak-balikkan hati setiap manusia. Termasuk anak kita.
0 comments