-->

Surat Al-Kahfi : Senjata Akhir Zaman

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Surat Al-Kahfi : Senjata Akhir Zaman

03 November 2022

Surat Al-Kahfi : Senjata Akhir Zaman

03 November 2022



Al-Kahfi terdiri dari 110 ayat. Surat ini dianjurkan agar dibaca setiap hari Jumat. Dengan menekuni membaca Al-Kahfi, insya Allah kita akan dihindarkan dari sebuah fitnah yang paling besar di akhir zaman. Fitnah Dajjal. Dajjal hadir membangun kepalsuan, memutarbalikkan kebenaran, dan menggusur keimanan seseorang dalam waktu singkat. 

Di kala Dajjal menyebut sebagai neraka, sejatinya yang dia maksud adalah surga. Apa yang dia sebut surga, sejatinya adalah neraka. Iya, hadirlah Dajjal dengan antitesis. Dengan jiwa sebaliknya. Seperti halnya, kita menerapkan kenalikan sifat dari Iblis. Iblis tidak suka sujud, maka kita perlu jadikan sujud sebagai kelaziman kita. Bukankah sujud merupakan momen dekatnya seorang hamba dengan Allah SWT?

Andai kita tidak bisa membaca keseluruhan surat Al-Kahfi, tersebab kesibukan yang semakin padat, maka jangan kita tinggal untuk membaca 10 ayat pertama. Guru Mulia menyarankan untuk membaca 10 ayat pertama setiap menjelang tidur. Tujuannya, agar kita terjaga dari segala bahaya yang memusnahkan iman. Karena tidak ada hal yang paling penting melebihi iman ini.

Lalu, menyeruaklah sebuah pertanyaan, mengapa kita harus membaca surat Al-Kahfi? Tentu, kita tidak boleh berhenti hanya sebatas ritual. Kita perlu memasuki kedalaman maksud, mengapa kita harus membaca surat tersebut? 

Kalau mau menelusuri dengan seksama, kita akan mendapati bahwa dalam surat tersebut menyuguhkan empat fragmen kisah. Kisah tentang Ashabul Kahfi, kisah tentang Nabi Musa dan Nabi Haidir as, kisah tentang tukang kebun, dan terakhir kisah tentang Zulkarnain. 

Kita didorong tidak hanya memungut hikmah dari kisah tersebut, tapi juga menyelami tokoh yang dihadirkan di setiap fragmen dari kisah tersebut. 

Pertama, Ashabul Kahfi. Sekelompok pemuda yang sengaja melawan kebijakan raja. Meski mereka telah diiming-imingi jabatan, namun mereka lebih memilih untuk menjauh dari kerajaan. Mereka memilih untuk menyelamatkan imannya. Kepada siapa mereka bersandar? Mereka bersandar secara totalitas pada Allah. Bersama dengan seekor anjingnya, mereka melarikan diri dari negerinya, hijrah menuju sebuah tempat yang mereka yakini imannya akan dijaga oleh Allah SWT. Mereka memilih memasuki sebuah gua. Dengan izin Allah, mereka tidur sepanjang 309 tahun. 

Bayangkan, mereka tinggalkan segala bentuk kemewahan duniawi, demi senantiasa merawat kemewahan iman yang telah Allah hiaskan di dada mereka. Karena mereka hanya bergantung kepada Allah, maka mereka selamat secara lahir dan batin.  

Dari situ, kita memungut pelajaran bahwa jika kita ingin kehidupan disertai keselamatan, maka kita perlu menyandarkan hidup sepenuhnya pada Allah. Jangan kaitkan hati pada selain Allah, meski hanya sedikit. Karena kebersandaran kita pada makhluk berarti kita menyediakan diri sebagai budaknya. Selagi kita masih menjadi budak makhluk, kebahagiaan tidak akan pernah mengisi hati kita sepenuhnya. Sementara orang yang bersandar pada Allah, akan senantiasa Allah cukupkan kebahagiaannya. Dan Allah punya jutaan cara, bahkan lebih, untuk mengisi kebahagiaan di hati hamba-hamba-Nya. 

Kedua, tukang kebun. Tukang kebun yang bersyukur di samping tukang kebun yang sombong. Seorang tukang kebun (orang kafir) memiliki kebun anggur yang luas, yang juga dikelilingi pohon-pohon kurma. Dia mendapatkan panen yang besar. Akan tetapi, pencapaian itu menumbuhkan kesombongan di hatinya. Sembari berkata pada kawannya yang mukmin, “Hartaku lebih banyak daripada hartamu, dan pengikutku lebih kuat”.

Sementara tukang kebun yang beriman, dia menyadari semua pencapaian dari Allah SWT. Yang tumbuh dari hatinya hanya perasaan syukur. Setiap kali memasuki kebunnya, dia berucap, “Masya Allah laa quwwata illaa billah”. Sebuah ekspresi kerendahan hati bahwa dia tidak bisa apa-apa kecuali dengan kekuasaan Allah. Tidak ada ruang baginya untuk sombong. Karena semuanya sebagai anugerah dari Allah. 

Dari tukang kebun (beriman) tadi kita belajar menghadirkan syukur dalam setiap nikmat yang Allah berikan. Bukankah syukur itulah yang mendatangkan rahmat dan keberkahan. Sementara kekafiran hanya mengundang siksa dan penderitaan. 

Ketiga, kisah tentang Nabi Musa dan Nabi Haidir. Nabi Musa diminta syarat untuk menemani Nabi Haidir as adalah tidak boleh bertanya apapun terkait tindakan Nabi Haidir, sampai Nabi Haidir yang menerangkan.

Mereka berdua menumpangi sebuah kapal dengan muatan yang banyak. Setelah menaikinya, Nabi Haidir melubangi perahu tersebut, sehingga karam dan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Menyaksikan apa yang dilakukan oleh Nabi Haidir as, Nabi Musa merasa heran. Pertanyaan mendesak-desak di pikiran Nabi Musa as, mengapa Haidir as melubangi perahu tersebut. Dia sudah tak siap menahan pertanyaan untuk segera diajukan. Meski sudah diajukan, Haidir as belum juga menjawab.

Setibanya di darat, mereka bersua dengan seorang anak. Tiba-tiba Nabi Haidir as mencekiknya hingga tewas. Pertanyaan pun semakin berdebum di hati Nabi Musa as, mengapa Haidir harus membunuh anak kecil—tak berdosa tersebut—hingga tewas? 

Persoalan di atas masih menimbulkan tanya yang tak juga dijawab, lagi-lagi Haidir as membuat keanehan lagi. Dia mengajak Nabi Musa mendatangi sebuah penduduk negeri. Mereka meminta dijamu oleh penduduknya. Akan tetapi penduduk tersebut enggan menjamunya. 

Disana terdapat sebuah gubuk yang nyaris ambruk. Malah, Nabi Haidir as mengajak Nabi Musa as untuk bersegera memugar kembali gubuk tersebut. Anehnya, sudah bersusah payah memugarnya, Nabi Haidir as sama sekali tidak memungut upah dari hasil kerjanya. Keduanya tidak membawa bekal apa-apa, padahal secara logika sudah sepatutnya meminta upah. Tapi, kenapa tidak meminta upah?

Tiga peristiwa yang disuguhkan oleh Nabi Haidir saat mengiringi perjalanan mereka menyisakan banyak pertanyaan di benak Nabi Musa as. Setiap kali peristiwa aneh terjadi, Nabi Musa as tak sabar untuk bertanya. Nabi Haidir as sendiri menganjurkan pada Musa as agar senantiasa bersabar selama bersamanya. Akan tetapi, Nabi Musa as—dalam sudut pandang Nabi Haidir as –tidak bisa bersabar. 

Pertanyaan yang memenuhi kepala Nabi Musa as terkait dengan tiga peristiwa tersebut dijawab oleh Nabi Haidir as. 

Dia membocorkan perahu tersebut hingga karam untuk menyelamatkan barang berharga yang dimuat kapal. Karena di hadapan mereka ada raja yang siap merampas setiap perahu. 

Dia mencekik seorang anak hingga tewas, karena anak muda itu kafir, sementara orang tuanya mukmin. Dan Haidir as khawatir jika anak muda itu akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran.

Terakhir, dia tak meminta upah dalam pemugaran gubuk, karena di bawah gubuk tersebut tersimpan harta karun untuk anak yatim sebagai warisan dari ayahnya yang sholeh. Harta karun itu disiapkan ketika anak itu kelak sudah dewasa. Semua pertanyaan yang menyambar pikiran Nabi Musa as pun telah terjawab.  

Sikap yang ditekankan oleh Nabi Haidir as pada Nabi Musa as adalah sabar. Sabar terhadap kenyataan yang tidak disukai sebagai pintu awal menambang pahala yang melimpah. Apa sabar? Sabar adalah menahan. Menahan diri dari marah-marah, juga dari mencaci maki. Intinya, tidak segera merespons kenyataan—musibah—dengan negatif. Dengan keluhan. Karena diyakini, dengan sabar, kita bukan hanya memeroleh pahala, tapi juga akan mendapatkan pelajaran yang melimpah dari sebuah kejadian. 

Boleh jadi, kenyataan yang tersuguh di hadapan kita tidak disukai, tapi sejatinya itu adalah baik di sisi Allah. Dan begitulah sebaliknya. Hanya kesabaran yang mendatangkan hikmah ke hati. Dan hikmah adalah semacam anugerah besar yang Allah berikan pada hamba-hamba-Nya. 

Keempat, tentang Zulkarnain. Zukarnain adalah seorang raja yang memiliki kekuasaan yang sangat luas. Meski punya kekuasaan, dia sama sekali tidak melekat dengan kekuasaan tersebut. Dia telah merelakan semuanya pada Allah, jika hendak diambil. 

Di antara Anda mungkin pernah mendengar kisah dari Zulkarnain. Ketika Zulkarnain hendak wafat, dia berwasiat pada orang sekitarnya agar kelak mengurus jenazahnya ketika sudah wafat. Terutama ketika mayatnya diusung dan diarak di tengah penduduk, dia meminta agar tangannya dikeluarkan dari keranda. Untuk apa? Agar penduduknya tahu, bahwa Zulkarnain yang memiliki kekuasaan yang luas, ketika kematian telah “melumatnya”, tangannya kosong. Tidak membawa apa-apa. 

Dari Zulkarnain, kita belajar tentang melepaskan, menjauhkan diri dari kemelekatan. Lebih intinya, ridha dengan segala ketetapan. Ya, Zulkarnain wafat dalam keadaan ridha dan diridhai. Ketika kita telah menggapai sikap ridha, maka hidup kita sejatinya sudah berada di frekuensi surga. Bukankah tiket mendapatkan surga adalah diridhai oleh Allah. Dan hanya dengan ridha pada Allah, seseorang akan memeroleh ridha dari Allah SWT. 

Dari beberapa fragmen kisah di atas, kita dibimbing agar memasukkan sikap hidup mereka dalam keseharian kita. Bagaimana kita bisa bertawakkal—terkait masa depan—seperti tawakkal ashabul kahfi. 

Terkait dengan nikmat yang Allah berikan, jangan pernah ingkar. Tapi bersyukurlah. Bersyukur seperti yang diekspresikan oleh tukang kebun beriman. Sembari merasa bahwa segala pencapaian itu dari Allah SWT. Terkait dengan hal yang tidak disukai, kita bersabar. Seperti nasihat bersabar yang dianjurkan oleh Nabi Haidir as pada Nabi Musa as. Dan terkait masa lalu, kita belajar pada Zulkarnain yang selalu ridha. Ridha jika semuanya kemudian lenyap. Hanya menjadi sejarah. Karena meyakini semua apa yang tergenggam bukan miliknya, melainkan milik Allah SWT.


BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang