Yaa Huwa
17 November 2022
Zikir memiliki tingkatan-tingkatan. Dari zikir lisan hingga zikir akhfa. Dari zikir ghaflah hingga zikir ghaibah. Pilihan zikir seseorang sangat bergantung pada kualitas jiwanya. Semakin tinggi kualitas seseorang, maka jenis zikir yang dipilihnya semakin lembut. Tak terdengar oleh orang lain. Mungkin saja lisannya sedang asyik berbincang, sementara hatinya hanya terhubung dengan Allah. Aktivitas fisiknya sama sekali tidak mencuri hatinya dari mengingat Allah.
Iya, fisik dan pikirannya punya kesibukan sendiri terkait kehidupan dunia, entah sebagai pedagang, guru, petani, atau karyawan perusahaan. Namun hatinya tetap sibuk dengan Allah. Dia boleh saja sibuk dengan urusan duniawi, tapi hatinya tidak lalai dari Allah SWT. Sosok ini Allah juluki sebagai Rijal.
“Orang-orang yang tidak dilalaikan dengan jual-beli dari mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari ketika hati dan penglihatan menjadi goncang (hari kiamat).” (QS. An-Nur [24] : 37)
Kualitas zikir, tentu, sangat ditentukan dengan kualitas makrifat pada Allah. Semakin tinggi makrifat seseorang, berarti makin mendalam cintanya pada Allah, berdampak makin dalam dan lembut ingatnya pada Allah.
Selagi kita masih terikat pada zikir lisan, kita ingat Allah hanya ketika lisan bersuara. Jika lisan absen berzikir, hati ikut absen dalam mengingat Allah. Jika kita sedang berada di halaqah zikir, seolah terserap dalam gelombang zikir, menyeduh kelezatan, apalagi hati terhubung dengan sang mursyid yang tengah memandu zikir.
Akan tetapi, setelah keluar dari majelis zikir, kekeruhan di luar kembali mengotori hati. Ingat pada Allah bukan hanya berkurang, bahkan habis sama sekali. Digusur oleh kemilau duniawi yang hilir-mudik di sekitar kita. Seolah kita masih terbawa oleh lingkungan. Bersua dengan orang baik akan ikut baik. Begitu pun sebaliknya. Jiwanya serupa ranting yang bergerak bergantung angin yang berhembus. Jika hembusan datang dari barat, ranting itu bergerak ke timur. Kalau berasal dari timur, ranting bergerak ke barat.
Kita akan terbawa dalam ketenangan yang kokoh setelah terserap dalam pusaran zikir yang sangat sakral. Zikir nafas. Zikir yang mengalir diantara tarikan dan hembusan nafas. Zikir seperti ini sangat lembut. Orang lain tak bisa mendeteksi tentang zikir tersebut. Zikir benar-benar menjadi media menyambungkan hati dengan Allah Swt. Terjalin keterhubungan batin yang tak bisa dijajaki oleh yang lain. Zikir nafas disebut zikir tanpa suara dan huruf. Benar-benar senyap.
“Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah.” (QS. Al-A’raf [7] : 205)
Apa kiranya yang dihayati dalam zikir nafas? Zikir nafas menghayati Yaa Huwa. Nida dan munadhi. Huruf panggil dan yang dipanggil. Siapa yang diseru? Yang diseru adalah Huwa. Siapa Huwa? Huwa merujuk pada Allah Swt. Ingatlah, seluruh ruang diliputi oleh Dia. Iya, Dia meliputi segala sesuatu. Kemana saja kau memalingkan wajahmu, maka yang kau temukan adalah Dia.
Kau mungkin bisa bersembunyi dari makhluk, tapi kau tak bisa bersembunyi dari Allah. Karena sejatinya Dia bukan hanya berada lurus dengan arah Ka'bah, tapi Dia juga ada dimana pun wajahmu menghadap. Kau tak bisa berpaling meski sejenak dari-Nya.
Dengan demikian, kita akan selalu merasa diawasi Dia, sekaligus merasa tenang bersama-Nya. Ketika kita sedang dalam kondisi terancam, tetap saja tenang. Karena kita merasa aman berada dalam benteng yang kokoh. Tak ada yang sanggup menyentuh kita meski sehelai rambut tanpa izin dari Allah. Jika kita ‘terkapar’ sendirian, tidak serta merta merasa terlempar di ruang kesepian, tapi tetap merasa dibersamai oleh Allah.
Dalam perspektif Guru Mulia, Syekh Dhiyauddin Kushwandhi, zikir nafas disebut zikir mili. Zikir yang senantiasa mengalir mengikuti aliran nafas. Mengalir antara tarikan dan hembusan nafas.
Apa filosofi zikir nafas ini? Sekali lagi, menurut Guru Mulia bahwa nafas yang menyatukan fisik dengan ruh. Selagi nafas masih berembus, kehidupan masih tetap berjalan. Kalau nafas sudah berhenti, kehidupan fisik juga berhenti. Sementara zikir berfungsi untuk menyatukan ruh dan Allah. Kalau orang sudah tidak berzikir, meski secara fisik dia hidup, tapi jiwanya mengalami ‘kematian’. Mengapa demikian? Karena tidak lagi terhubung dengan Allah.
Ingatlah, keterhubungan dengan Allah-lah yang membuat jiwa diluapi kedamaian. Absennya hati dari mengingat Allah, membuat kedamaian menyingkir. Seperti orang yang ketika nafas berfungsi dengan normal, maka dada akan terasa lapang. Berbeda halnya, ketika nafas sudah tidak normal, tersengal-sengal, maka sesak akan menyerang dada.
Setelah kita mengetahui, jenis zikir nafas yang kita hayati adalah Yaa Huwa, tentu saja tidak cukup kita mengenal makna bahwa kalimat yaa huwa adalah memanggil Dia. Perlu ada penajaman makna, sehingga kita benar-benar merasakan hadirnya Allah dalam tarikan dan hembusan nafas.
Makna Yaa
“Yaa”, kata guru mulia, “bermakna Wahai yang Maha Terpuji. Sementara ‘Huwa’ bermakna hamba berserah diri”.
Kalau Anda memuji Allah, bersyukur kepada Allah, maka tentu saja segala macam keluhan akan terkikis. Ketika Anda bersyukur kepada-Nya, maka sudah pasti Anda akan memeroleh kebahagiaan yang melimpah dari Allah. Perhatikan, orang yang meminta belum tentu mendapatkan. Orang yang memohon ampun belum tentu diampuni. Akan tetapi, orang yang bersyukur sudah pasti memeroleh tambahan dari Allah.
Selain itu, hati kita disebut dengan jinan. Seakar dengan kata jannah. Hati hanya menjelma surga ketika dihiasi oleh pujian. Bukankah seruan ahli surga “alhamdulillahi robbil ‘alamin?”
Sebagian kita sudah mengetahui bahwa alhamdulillah adalah seutama-utamanya doa. Bagaimana disebut seutama-utamanya doa, padahal ucapan itu tidak mengandung permintaan? Karena di dalamnya mengandung tawajjuh pada Allah. Tidak mengingat diri. Yang diingat hanyalah Allah Swt. Dengan mengingat ‘kepentingan’ diri, hati akan gelisah. Dengan mengingat Allah, hati akan menyeduh ketenangan.
Huwa
Huwa sebagai nama purba Yahwe atau Yahufa. Sebagai nama Allah yang sangat purba. Huwa, dalam pandangan Guru Mulia, sebagai kristalisasi dari Allah. Allah ketika dihilangkan alifnya menjadi Lillah. Ketika lam-nya dilepaskan, menjadi lahu. Ketika lam kedua juga dihapus menjadi huu, yang berarti Dia. Kemana saja kau mengarahkan wajah, maka yang kau hadap hanya Allah SWT. Bahkan semua ruang diliputi oleh Dia. Karenanya, kita tak bisa berpaling dari Allah.
Penghayatan yang kita hadirkan ketika menghembuskan huwa adalah penyerahan diri pada Allah. Kita benar-benar melepaskan keseluruhan diri secara totalitas kepada Allah Swt. Pada mulanya, kita mungkin menyerahkan pikiran, lalu keinginan, lalu harta, lalu aku yang sering kita banggakan. Kita serahkan semuanya pada Allah. Dengan begitu, kita tidak hanya memperoleh kedamaian, tapi juga mereguk kepuasan batin yang tak tergambarkan.
Penyerahan diri pada Allah bisa kita wujudkan hanya jika kita sudah menggapai iman cinta. Cinta sepenuhnya pada Allah Swt. Seperti seorang wanita yang menaruh cinta pada seorang lelaki. Dia halalkan cintanya melalui pernikahan. Ditandai dengan pernikahan, berarti wanita itu telah menyerahkan jiwa dan raganya pada sang suami. Dia sudah tidak merasa sebagai dua orang, tapi satu orang. Mengapa demikian? Karena keduanya telah melebur menjadi satu jiwa. Bukankah kebersatuan itulah puncak dari perjalanan cinta?
Kalau kita telah berserah diri pada Allah, maka kita telah merasakan nikmatnya beribadah. Karena ruh dari ibadah adalah penyerahan diri pada Allah. Selagi orang belum bisa berserah diri, maka ibadah yang dijalani hanya sebatas gerakan fisik, belum merambat hingga ruang rasa. Padahal segala apa yang kita lakukan pada akhirnya bermuara pada rasa. Rasa ruhani—kedamaian—baru akan merasuk ke dalam relung jiwa ketika seseorang telah kukuh dalam penyerahan dirinya pada Allah.
0 comments