-->

Merobek Rumah Allah

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Merobek Rumah Allah

12 December 2022

Merobek Rumah Allah

12 December 2022



Kita semua merindu menatap Ka’bah, ingin mengitarinya diiringi aliran cinta mendalam. Tentu cinta yang sangat pada Robba haadzal Bait, Tuhan pemilik rumah tersebut - Allah Swt. Kita menabung bertahun-tahun agar bisa menunaikan safar ruhani ke kota suci itu. Entah berupa haji atau umroh. 

Selepas umroh atau haji, sudahkah kita menebar kasih sayang bagi sesama? Atau masih saja mendekam di tembok egoisme? Bahkan eksistensi kita semakin saja berkibar tersebab telah menjalankan rukun Islam kelima tersebut. Setelah ibadah haji tertunaikan, manusia sudah bersemat gelar sebagai Pak Haji atau Bu Haji. Kalau orang tak memanggilnya Pak Haji, merasa tersinggung, “Sudah mahal-mahal berangkat haji, kenapa orang tak menghargaiku?” Mungkin saja gumaman itu berembus di hati. Setiap kali orang tak memanggilnya Pak Haji, hati merasa tertikam sakit.

Selama haji berhenti di seremonial sekaligus membangun eksistensi diri, maka haji tak memberi efek apa-apa pada terbentuknya kedamaian jiwa. Bahkan semakin sengsara karena harapan mendapat perhargaan dan pujian kandas. Mungkin saja orang tak memanggilnya Pak Haji karena perilaku dan sikapnya tidak memenuhi kualifikasi untuk bisa dipanggil Pak Haji. Tak sedikit, Pak Haji yang masih betah berada di sarang mafia. Suka berbohong dan menipu orang lain. Masih suka bersumpah, meski tahu bahwa yang dilakukannya sebenarnya salah. 

Mengapa fenomena semacam ini menyeruak? Karena menjalankan haji tidak disertai dengan ilmu dan kebersihan hati. Selagi orang belum meraih ketakwaan, haji yang dilakukan tidak efektif. 

Banyak orang mengitari Ka’bah, tapi di sisi lain merobek rumah Allah yang terbangun di hati sesama. Dengan cara apa? Melalui perkataan, melalui tulisan, melalui perbuatan, melalui perilaku, atau melalui sikap. Kita mengukur diri sendiri, apakah kita telah melakukan hal tersebut? 

Boleh jadi, di antara status kita yang sudah terunggah di media sosial, menyasar ke hati seseorang, karena saking egoisnya, kita ingin menunjukkan diri yang sudah bisa bergagah-gagah. Kita sering memamerkan diri makan di restoran dengan harga selangit -tidak berhenti disitu- ditambah dengan struk dari transaksi menu tersebut. Menakjubkan. Jika netizen memujinya, seakan-akan dia terbang ke angkasa raya. Akan tetapi, jika kemudian diserang dengan komentar negatif, jiwanya menjadi tumbang seketika. 

Mungkin baginya itu adalah sebuah kebanggaan, namun bagi orang yang membaca dan menyaksikan, apalagi tidak sanggup membelinya karena ekonomi di tingkat rendah, justru membuat mereka nelongso. Kita perlu tak hanya memikirkan diri sendiri, tapi memikirkan orang lain. Merawat sikap empati terhadap keadaan orang lain. Karena kebahagiaan sangat bergantung pada sikap empati kita pada sesama. 

Mungkin kita kerap kali melontarkan kata-kata yang merendahkan dan mencaci maki orang lain. Tanpa beban sama sekali. Kita tak pernah tahu apa efek yang diterima oleh orang yang terkena dampratan. Bagaimana jika rasa sakitnya bersarang lama? 

Sebuah kisah, ada seorang pengemis bertandang ke rumah orang kaya. Setelah mengetuk-ngetuk pagar, keluarlah orang kaya itu dari rumah. Diketahui yang datang pengemis, wajah si kaya mlengus. Bukannya memberi sebagian hartanya, malah mencibir dan mencacinya, menyarangkan rasa sakit di hati sang pengemis. Lalu apa yang terjadi kemudian? Dia mendapati anaknya sakit. Setelah dilakukan diagnosis, anaknya divonis terjangkit penyakit kronis. Dia harus menggelontorkan banyak uang untuk biaya pengobatan anaknya. Bukan hanya banyak, tapi juga seluruh harta kekayaan yang dimilikinya ludes. Tak bersisa sedikit pun. Bahkan dia harus terhempas dalam kehidupan seperti yang dijalani pengemis. 

Sekaya apapun kita, jangan pernah sekali-kali merendahkan orang miskin. Seluas apapun ilmu kita, jangan pernah meng-underestimate apalagi menertawakan orang-orang awam dan bodoh. Setinggi apapun kedudukan kita, jangan pernah merendahkan rakyat jelata. Setenar apapun nama kita, jangan pernah meremehkan orang yang bukan siapa-siapa. Semua label dan derajat yang kita miliki sebenarnya bukan milik kita, melainkan hanya titipan dari Allah. Dalam sekejap semuanya bisa berubah. 

Dikala kita merendah sekaligus bersyukur, maka label dan derajat kita akan terarah menuju kebaikan. Memberi kontribusi pada jalan kebaikan. Sehingga dampak kebaikan yang dihadirkan berlipat-lipat. Sebaliknya, jika kita berbangga diri sekaligus merendahkan orang lain, maka derajat kita akan meluncur dan terperosot ke titik terendah. Tak sedikit orang yang hancur tersebab kebesarannya sendiri. Mengapa demikian? Karena mereka tak pandai bersikap dengan kesuksesan yang direngkuhnya. Merasa pencapaian yang didulang sebagai hasil usaha dan kecerdasannya sendiri.

Mencintai Rumah Allah

Kita berusaha menyayangi semua manusia. Tanpa pandang bulu. Kita perlu menjadi tajalli dari sifat Allah Ar-Rahman. Memancarkan cinta pada semua manusia, bahkan semua kehidupan. Jika kita telah tersentuh cinta pada sesama manusia, maka yang keluar dari hati kita pasti hal-hal yang menyejukkan dan meneduhkan. Kita akan selalu menjaga agar setiap perkataan, perbuatan, perilaku, dan sikap kita selalu bisa menghadirkan keteduhan bagi orang lain. Bukan karena ingin dipuja dan disanjung mereka. Akan tetapi, kita telah didorong oleh Allah untuk berbuat yang terbaik pada sesama. 

Selain itu, dengan senantiasa menyebar dan memperluas kebahagiaan bagi sesama, kebahagiaan yang tertampung di jiwa pun semakin banyak. Sebuah kerugian ketika kasih sayang telah dicabut dari hati manusia. Maka kita perlu senantiasa berusaha mengisi hati penuh dengan kasih sayang. Tanda bahwa Allah menguasai hati manusia adalah kasih sayang-Nya yang telah menjelma sebagai mental hidup kita. Selalu ingin berbuat baik pada siapapun. 

Sebaliknya, orang yang hatinya tidak ditempati kasih sayang, maka dia terlempar dalam kawah kerugian yang dalam. Berarti hatinya tidak menjadi singgasana Allah Swt. Dengan begitu, dia mudah sekali menyakiti orang lain. Orang ini bukan tidak punya hati, tapi hatinya tidak ditempati oleh Penghuninya yang sejati -Allah SWT. Selagi hati “ditempati” Allah, maka cinta melimpah di hati tersebut. Dengan modal cinta yang melimpah tersebut, dia tergerak untuk menjaga rumah Allah yang bertempat di hati manusia. Dengan apa? Dengan cara menyayangi semua manusia. Bukankah orang yang menyayangi manusia, maka Allah pun akan menyayanginya?


Kalau kita begitu mengagungkan rumah Allah yang berdiri di bumi dalam wujud Ka’bah, maka kita pun harus mengagungkan rumah Allah yang berdiri di hati manusia. Kita harus mencintai sesama manusia. Jangan pernah sekalipun terlintas dan terbesit di hati untuk mengirimkan rasa sakit apalagi merobek hati orang lain. Karena kalau kita sengaja menyakiti orang lain, sejatinya kita sedang merobek rumah Allah.  

BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang