Ruang, Waktu, Individuasi
22 December 2022
Tema yang tidak mudah untuk dikupas, tapi saya mencoba menyajikan, semoga pikiran terpandu oleh hati yang dibimbing oleh cahaya Ilahi sebagaimana yang telah diajarkan oleh guru mulia.
Tanpa adanya ruang dan waktu, orang tak bisa beramal. Iya, perbuatan manusia dicakup oleh ruang dan waktu. Shalat, misalnya, terikat oleh ruang dan waktu. Tidak cukup hanya diniatkan tanpa ada gerakan. Sementara gerakan itu sendiri membutuhkan ruang. Dan bunyi juga membutuhkan waktu.
Karena itu, shalat tersaji dalam bentuk perkataan, perbuatan, dan khusyuk. Khusyuk lebih terkait pada hati. Sebuah kesadaran yang memancar di hati. Bayangkan, dalam shalat ada kalimat-kalimat tasbih yang kita baca sebagai upaya memenuhi hak waktu. Sementara gerakan dalam shalat membutuhkan ruang. Dan disengaja dengan niat sekaligus khusyuk yang masuk dalam wilayah diri. Kesadaran bahwa aku ‘ada’.
Kesadaran inilah yang menjadi simpul, berdampak atau tidaknya amal yang kita lakukan. Karena tanpa disadari, waktu dan ruang tidaklah eksis. Realitas apapun yang mengalir itu ada karena disadari. Jika tak disadari, maka realitas seperti apapun tidak ada. Kesadaran tentang ‘ada’ juga terkait dengan niat. Bukankah hanya dengan adanya niat, amal itu dianggap ada? “Sesungguhnya amal bergantung pada niat”, sabda Nabi Muhammad Saw.
Kita mengenal Al-Hayyu dan Al-Qoyyum. Al-Hayyu terkait dengan waktu. Waktu adalah nama lain dari kehidupan. Tanpa adanya waktu, maka tidak ada kehidupan. Ingatlah, usia manusia diukur dengan menggunakan alur waktu. Dari usia belia hingga tua, ukurannya adalah waktu. Sudah berapa waktu yang dilaluinya. Bukan hanya detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, melainkan dia juga melintasi tahun ke tahun. Bahkan puluhan tahun telah dilalui sehingga dia menjelma menjadi orang dewasa. Orang hebat. Orang yang berpengaruh. Atau menjadi orang tua yang sangat ringkih.
Lewat waktu yang kita tempuh, kita mengenal proses, mengenal pertumbuhan, mengenal kemajuan. Meski demikian, kita tahu bahwa sejatinya waktu yang diisi aktivitas adalah sekarang. Atau biasa disebut ‘kini’. Masa lalu adalah ‘kini’ yang telah berlalu, sementara masa depan adalah ‘anak kandung’ masa kini. Karena itu, yang sebenar-benarnya ada hanyalah ‘kini’ yang terus mengalir. Tanpa jeda.
Terkait ‘kini’, guru mulia sering menyodorkan sebuah contoh tentang orang yang pergi ke warung. Setibanya di warung dia tertuju pada sebuah tulisan, “Beli sekarang, besok gratis!”
Dia mendatangi warung tersebut, memesan makanan yang disukainya. Lalu membayar ke kasir. Tentu saja, setelah membayar, dia bertekad besok akan kembali lagi ke warung tersebut. Setelah besok menjadi ‘hari ini’, dia kembali ke warung tersebut. Dan memesan menu kesukaannya. Selesai makan, dia langsung ngacir. Segera saja pramusaja memanggilnya dengan nada tinggi. “Kok, langsung pulang, mas. Kenapa tidak bayar?”, tanyanya.
“Bukankah kemarin saya sudah makan disini dan bayar. Katanya besok gratis. Jadi seharusnya hari ini gratis”, dia menampik.
“Baca lagi tulisan itu mas. Hari ini bayar, besok gratis. ‘Sekarang’ itu hari ini atau besok?”, tanya kembali si pramusaji.
“Iya, hari ini!”, jawabnya.
“Kalau begitu, tetap bayar, mas”, tegas pramusaji dengan mengarahkan ke kasir.
Karena memang yang abadi hanya ‘sekarang’, ‘kini’ yang terus berjalan.
Al-Qoyyum
Ruang sebagai medan kita bergerak. Tanpa adanya ruang, maka gerakan juga tidak ada. Karena itu, gerakan dalam shalat terhubung dengan Al-Qoyyum. Yang Maha Berdiri Sendiri. Sang Penjaga Ruang. Seluruh kenyataan ditampung oleh ruang. Ruang seperti sebuah layar yang menunjukkan segala bentuk peristiwa yang menyeruak di alam. Kita banyak belajar dengan melihat segala kenyataan yang mengalir di ‘ruang’ ini.
Ruang sendiri tidak tampak. Tapi menampung suatu yang tampak. Ruang kosong, tapi bisa menampung segala kepenuhan. Bayangkan, tanpa ruang, orang tidak bisa duduk. Rumah yang bagus, diperindah oleh pernak-pernik, dikelilingi taman indah, dihiasi oleh lampu temaram, tetap saja yang dicari adalah ruang kosong. Tanpa ruang kosong, maka orang tidak bisa berdiri atau duduk di rumah tersebut.
Sejatinya ruang adalah kosong. Tidak terlihat. Tidak ada kelaminnya. Tapi semua yang terlihat, semua jenis kelamin ditampung oleh ‘ruang’. Mungkin kita terlempar dalam keriuhan manusia. Tapi ketahuilah bahwa suara ditampung oleh sunyi. Tanpa didasari sunyi, maka suara itu tidak akan terdengar. Kita menyaksikan dan mendengar semua orang berbicara, sehingga menimbulkan keriuhan. Hanya saja karena keadaan sangat riuh, bahkan suaranya memekakkan telinga, kita tak mendengar apa-apa yang sedang dibicarakan. Sekali lagi, yang menampung suara adalah sunyi. Bahkan suara kita sendiri tidak terdengar karena suara yang bertabrakan satu sama lain.
Wujud
‘Ada’ merupakan muasal dari semua keberadaan. Dialah Allah Swt. Ingatlah, hanya karena ‘ada’, maka ruang dan waktu terlihat eksis. Jika ‘tidak ada’, maka secara subyektif, kehidupan ini seperti tidak ada. Seperti orang yang sedang tidur tanpa mimpi. Dia mengalir dalam sungai waktu. Ketika dia bangun, maka tak ada jejak sedikit pun tentang ruang dan waktu. Hanya kekosongan saja. Bagaimana dia bisa menyadari ruang dan waktu, sementara dia sendiri tidak menyadari dirinya. Hanya karena ada ‘wujud”, Al-Hayyu dan Al-Qoyyum itu menjadi nyata. Bahkan akar dari kedua sifat tersebut adalah wujud.
‘Wujud’ lebih pada sebuah kesadaran. Ya, segalanya menjadi ada karena disadari. Kalau tidak disadari, maka tampak tidak ada. Kesadaran melampaui tahu dan tidak tahu, ingat dan lupa, yakin dan ragu, juga ada dan tidak ada. Ketika bilang lupa, sejatinya di bawah sadar Anda menyeruak kesadaran bahwa Anda ingat kalau Anda sedang lupa. Ketika Anda bilang tidak tahu, sejatinya Anda menyadari bahwa Anda tahu kalau Anda sedang tidak tahu. Ketika Anda ragu, maka Anda yakin ada yang sedang meragukan. Dan ketika Anda bilang tidak ada, sejatinya ada yang tidak ada.
Konsep seperti ini memang seperti sulit dicerna. Hanya dengan ketekunan dan kesabaran untuk merenung, akan terkuak pemahaman pada kita. Insya Allah.
Praktik Al-Hayyu Al-Qoyyum
Setiap bacaan dalam shalat merupakan bentuk kita memenuhi hak Al-Hayyu. Sementara gerakan dalam shalat, memenuhi hak Al-Qoyyum. Dan niat yang tidak masuk kategori suara dan gerak adalah bentuk untuk memenuhi wujud.
Shalat diringkas dalam tasbih dan sujud. Dalam tarekat yang diusung guru mulia, kita membaca tasbih, lantas diikuti dengan sujud. Tasbih memenuhi hak waktu, dan sujud memenuhi hak ruang.
Lebih diperingkas dalam bentuk tarikan dan hembusan nafas. Dalam tarikan nafas, kita mengembangkan kalimat tasbih (memuja-muji Allah). Dan dalam hembusan nya, kita menghayati sujud (berserah diri pada Allah).
0 comments