The Home Without Family
19 December 2022
Sebuah rumah seperti tak berisi keluarga. Rumah bagaikan tempat penginapan. Kepala keluarganya hanyut oleh rutinitas kerja yang tiada rehat, tiada putus, tiada henti-hentinya. Pergi di pagi buta. Pulang larut malam. Nyaris tidak ada waktu untuk berbincang, chit-chat, apalagi memetakan kehidupan keluarga ke depan.
Setiap kali diajak ngobrol dengan istri atau suami, ia berkata, “Maaf, sekarang lagi sibuk. Kapan-kapan saja ya”. Lalu kapan kesibukan akan reda sementara perusahaan semakin hari semakin meningkatkan target? Juga dipacu untuk berkompetisi dengan perusahaan lain yang mendapatkan omzet lebih besar.
Perusahaan dia urus dengan sungguh-sungguh dengan mengikuti alur rapat tahunan, rapat bulanan, rapat mingguan, bahkan rapat harian selalu dihadirinya, namun keluarganya dibiarkan berjalan tanpa peta. Suami selalu berpikir, tak mengapa tidak ada waktu bersama istri, asalkan urusan belanja beres. Istri pun berpikir, tak mengapa suami pulang hingga larut malam, bahkan keluar kota berhari-hari untuk urusan kerja, tak jadi masalah, asalkan dapur masih terus mengepul, belanja mingguan terkabul.
Dengan begitu, rumah tak ada bedanya dengan losemen. Hanya tempat menginap, tempat bobo. Selebihnya kosong. Karena sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Bahkan tak sedikit istri yang merasa asing dengan suaminya. Sudah lama menikah tapi semakin kesini terasa samakin asing. Mengapa?
Karena meski bertemu, tidak pernah berbagi wawasan, pengalaman hidup, atau saling ‘menggeledah’ satu sama lain. Keduanya sama-sama meringkuk di sudut egoisme. Sama-sama memikirkan dirinya sendiri. Bahkan, kebahagiaan sudah tak lagi bisa didapatkan dalam rumah tangga. Alih-alih rumah tangga sebagai laboratorium untuk menyingkap setiap masalah hidup yang dialaminya, bahkan rumah tangga telah menjadi masalah itu sendiri.
Memasuki rumah sudah terbayang seperti menggelindingkan diri ke neraka yang membakar jiwa. Karena rumah tangga sudah tak lagi sanggup menjadi tempat berteduh, maka orang-orang menjajal ‘penyelesaian yang bersifat sementara’ dengan berwisata, menonton konser, film dengan segala acara yang bisa melepas penat. Keluarga tidak lagi menjadi surga kebahagiaan. Ia menjelma menjadi akar penderitaan.
Keluarga broken home. Kehidupan keluarga yang carut-marut mulai dirasakan ketika anggotanya tak lagi menghirup udara kebahagiaan melalui keluarga, sehingga berpisah atau bercerai menjadi pilihan terbaik bagi mereka. Mereka kadang tak memikirkan efek lanjutan ketika perceraian itu benar-benar terwujud. Mereka tidak pernah memikirkan bagaimana mental anaknya dikala sudah menyaksikan kedua orang tuanya bercerai? Anak tidak lagi memeroleh kasih sayang yang utuh dari orang tuanya. Ketika orang kekurangan kasih sayang, tak jarang merasa hidupnya tak sempurna. Merasa bahwa hidup tidak berpihak, bahkan berbuat aniaya padanya.
Terjatuh di jurang perceraian membuat anak tersungkur dalam keringkihan jiwa. Anak itu merasa tercederai jiwanya sebagai dampak perceraian orang tuanya. Ingatlah, ketika orang telah didera sakit, diam-diam dia menyimpan dendam terhadap realitas yang hadir di hadapannya. Dia mungkin saja tergerak hati untuk menceraikan pasangannya ketika sudah mengikat pernikahan.
Di sisi lain, ada orang yang menjadikan realitas yang dialaminya sebagai i’tibar (pelajaran), sekaligus tempat bercermin, sekaligus sebagai peringatan awal (the early warning) agar kejadian seperti itu tidak dialaminya. Bayangkan, Anda dipapar rasa sakit, maka akan menimbulkan rasa empati, ‘oh begini rasa sakit orang yang ditinggal oleh orang tuanya tersebab perceraian?’, lantas Anda bertekad agar tak mengalami seperti yang dialaminya. Apalagi kemudian—semoga Allah lindungi kita—Anda berada di pihak sebagai pelaku.
Saya teringat dengan wejangan yang dibabar guru saya, “Jika ada orang yang terseok ke lubang dikarenakan genangan hujan yang luar biasa, maka bagi Anda yang berada di belakang, akan bertekad bagaimana tidak terseok seperti orang yang berada di depan Anda”.
Mungkin Anda merasa hidup telah dicabik-cabik, dihancurkan, tapi tidak meruntuhkan harapan. Anda harus bangkit, bahkan menjadi inspirasi bagi orang lain agar bisa melewati kondisi terburuk tersebut.
Hanya saja tidak semua orang berpikir seperti itu. Dia telah menyudutkan dirinya ke lembah yang paling dalam. Kehidupan dipandang tidak berbuat adil padanya. Sehingga dendam itu bergolak dalam hati. “Kelak, ketika saya sudah menikah, saya pastikan istri akan kucerai. Dan akan ku biarkan anakku terlantar seperti yang kualami”, begitulah gumaman yang berbisik di pikirannya.
Ada sebuah survei menarik. Ayam-ayam dimasukkan ke kandang. Tentu saja di kandang, mereka berdesak-desakan. Tak jarang di antara mereka terlibat pergulatan sengit. Saling menerkam satu sama lain. Berujung pada memuncratnya darah segar dari tubuh mereka. Apalagi jika datang ayam baru yang dimasukkan ke kandang. Ayam yang pernah dicederai akan mencari korban untuk membalaskan dendam. Dia telah diperlakukan buruk oleh kawan-kawannya, maka ia bertekad untuk mencabik-cabik pendatang baru. Begitu seterusnya. Seperti sebuah penganiayan yang berantai karena adanya kebencian yang terus dirawat.
Kita tak boleh merawat apalagi me-regenerasi kebencian. Yang perlu kita lakukan adalah memutus mata rantai kebencian pada kenyataan. Kalau kita pernah diperlakukan buruk, kita harus bertekad jangan sampai orang lain mendapatkan perlakuan seperti yang dialaminya. Dia justru akan menjadi sosok yang sangat welas asih pada sesama.
Tidak ada sosok yang paling sering terpapar kekerasan dari kaumnya melebihi Sayyidina Muhammad Saw. Bayangkan, bagaimana beliau diguyur kotoran pada saat sedang rukuk, sehingga seluruh tubuh beliau berlumur kotoran onta. Bagaimana beliau diusir oleh kaumnya dengan sangat sadis. Bukan hanya diusir, tapi juga dikejar untuk dibunuh. Bagaimana beliau dilempari kerikil dengan sangat lalim sehingga tumit beliau berdarah? Semua peristiwa itu sama sekali tidak membuat Rasulullah Saw menjelma sebagai sosok yang keras, tapi malah menjadikan beliau sosok yang sangat welas asih.
Saya terkesima dengan kisah Nabi Muhammad Saw ketika dilontari batu oleh orang-orang Bani Thaif. Dalam situasi yang sangat gawat tersebut, tiba-tiba malaikat menawarkan bantuan. Hendak mengangkat dan menghantamkan gunung ke Bani Thaif. Ketika tawaran itu datang, sama sekali tak membuat Rasulullah bergeming. Bahkan beliau menolaknya. Beliau justru mendoakan agar anak-anak keturunan mereka kelak menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
Sebuah ‘plot’ cerita nyata yang sangat memukau. Beliau tidak membalas keburukan dengan keburukan. Beliau malah memaafkan. Bahkan beliau mendoakan kebaikan pada orang yang telah berbuat jahat.
Setelah ditempat kondisi keluarga yang tidak baik-baik saja, semoga menumbuhkan tekad untuk menorehkan sejarah dalam rumah tangga. Menjadi rumah tangga yang utuh. Tanpa drama. Tanpa divorce. Keutuhan rumah tangga tentu bisa menjadi cermin yang utuh bagi generasi berikutnya.
Kalau Anda bisa menorehkan sejarah dalam rumah tangga Anda bak surga, maka tentu bukan hanya menjadi cermin orang lain, orang tua yang meninggalkan Anda pun akan bangga, bahkan Rasulullah bangga dengan terjalinnya kerukunan dalam rumah tangga Anda.
0 comments