-->

Proses Makrifat : Bagian 2 - Selesai

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Proses Makrifat : Bagian 2 - Selesai

05 January 2023

Proses Makrifat : Bagian 2 - Selesai

05 January 2023



Kedua, dengki. Kedengkian memiliki daya rusak yang sangat dahsyat pada pendengki itu sendiri. Seperti orang yang sedang mengarahkan laras senjata pada musuh, tapi yang kena malah dirinya sendiri. Senjata makan tuan. Pendengki condong bersedih oleh kegembiraan yang diterima orang lain, dan gembira di atas kesedihan orang lain. Dia telah mengalami benturan dengan kenyataan. 

Dia tak menginginkan kenyataan yang sedang meluncur. Padahal kenyataan itu tak bisa ditarik lagi, ia berjalan sesuai dengan program yang telah Allah tetapkan. Bayangkan, betapa tersiksanya kita jika berlawanan dengan arus kenyataan yang hadir. Padahal sekuat apapun tenaga yang kita kerahkan, secerdik apapun rekayasa yang kita ciptakan, dan setangkas apapun langkah yang kita ambil, tetap sajq kenyataan tak bisa berubah. Bukan kita yang bisa menghancurkan kenyataan, melainkan kenyataanlah yang justru menghancurkan kita.

Selain tidak mau menyesuaikan diri dengan kenyataan, pendengki juga tidak terampil menyesuaikan diri dengan keinginan universal. Seluruh makhluk, tentu saja, menghendaki hidup bahagia. Kehendak tersebut sebagai bentuk gema dari kehendak Allah Swt. Iya, Allah hanya menginginkan kita bahagia. Jika kemudian kita resisten, tidak menerima kenyataan bahwa orang lain sedang berada dalam pusaran kebahagiaan, maka kita telah menabrak tembok besar yang sangat kokoh. Bukan kita yang bisa menghancurkan tembok tersebut, tapi tubuh kita yang akan babak belur, bahkan hancur.

Mengapa kita harus dengki jika kita tahu bahwa kedengkian sama sekali tak bisa memindahkan nikmat yang diterima orang lain pada kita? Bukan hanya tak bisa ‘mengambil alih’ nikmat, malah nikmat yang diperoleh orang lain bisa menjadi racun yang mematikan buat kita. 

Sebuah kisah menarik pernah diwedar oleh guru saya, KH. DR. M. Dhiyauddin Kushwandhi—semoga Allah selalu merahmatinya. Ada seorang penjual sayuran satu-satunya di sebuah kampung. Tentu saja orang berbondong-bondong berbelanja padanya. Karena dia satu-satunya penjual sayur, maka dia meraup keuntungan yang besar. Akan tetapi, keadaan itu tidak bertahan lama. Beberapa tahun berlalu, datanglah pasangan baru bermukim di kampung tersebut. Dia juga membuka lapak sayuran. 

Karena dia terkenal sangat ramah, dan mungkin dermawan dalam melakukan jual-beli, pembeli sering mendapatkan imbuh bila berbelanja padanya. Seiring dengan banyaknya pelanggan yang pindah, maka tentu saja penjualan pedagang pertama mengalami penyusutan secara drastis. Sementara pendatang baru terus melonjak, bahkan meroket. Tidak terima dengan kondisi tersebut, penjual pertama menyimpan kebencian, dengki, dan dendam yang tak bisa dimuntahkan. Penyakit hati pun menjalar hingga menjadi penyakit fisik. Karena sangat parah, dia pun terpaksa dibawa ke RS. 

Dengan perawatan yang intensif, perlahan-lahan dia pulih. Banyak tetangga menyambanginya. Tak terkecuali orang yang menjadi kompetitornya. 

“Kenapa repot-repot datang menjenguk saya”, sapa yang sakit. “Saya sudah sembuh, sebentar lagi mungkin sudah diperbolekan pulang”.

“Iya, semoga kau segera sembuh dan beraktivitas kembali”, respon si kompetitor.

“Iya. Kok rame-rame kesini. Tadi naik apa?”, sela si sakit.

“Alhamdulillah, kemarin saya baru beli mobil”, ucap si kompetitor. Mendadak orang yang dijenguknya ‘step’ dan stroke seketika. 

Sebenarnya orang tersebut datang bukan untuk menyakiti, melainkan menghibur agar dia kembali pulih. Tapi karena sejak awal dalam hati tersimpan kedengkian, maka nikmat yang didapatkan orang lain justru menikam dan menjadi racun bagi dirinya. Coba baliknya, betapa indahnya hidup jika kita ridha dan ikut senang dengan nikmat yang diperoleh orang lain. Maka dimanapun kita akan mudah mendulang kebahagiaan. 



Ketiga, riya’. Riya’ adalah menjadikan selain Allah sebagai tujuan. Lawannya adalah ikhlas. Selagi Allah dijadikan tujuan dalam beramal, maka kebahagiaan tidak perlu menanti besok. Pada saat beramal itulah dia sudah memeroleh kebahagiaan. Allah selalu membersamai kita setiap saat. Sehingga ketika Allah kita jadikan tujuan, seketika tujuan pun sedang bersama dengan kita. Bahagianya jiwa ketika sudah tiba ke tujuan. 

Jika kita menjadikan selain Allah sebagai tujuan, sudah pasti membangun jarak dengan kita. Kebahagiaan seolah terbentang di depan. Tidak sanggup dipeluknya. Bekerja, misalnya, kalau kita menemukan kegembiraan ketika menanti gajian, maka kau telah memproyeksikan kebahagiaan setiap bulan. Setiap kali memeroleh gaji. Bahkan, setelah gaji didapatkan, kadang juga tidak bisa menaikkan kebahagiaan, karena masih berharap gaji yang lebih besar. Atau justru sudah menjalar kecemasan bahwa uang yang didapatkan sudah akan habis dengan kebutuhan yang berderet di depan. 

Tak jarang, meski uang masih tergenggam di tangan, tapi secara hakiki uangnya sudah habis. Karena kebutuhan yang perlu dipenuhi masih berderet. Berjibun. Dan menumpuk. Kalau kepentingan kita hanya Allah, yakni ridha-Nya, maka kebahagiaan senantiasa menghampiri kita. Tak usah menanti besok. 

Apapun yang terjadi sekarang, sama sekali tidak melukai hati, asalkan Allah ridha pada kita. Ridha Allah menelan segala bentuk rasa sakit. Seperti halnya Rasulullah Saw yang dilempari batu oleh penduduk Bani Thaif, sehingga tumit beliau terluka. Beliau sama sekali tidak kesal, marah, apalagi mengutuk mereka. Malah beliau mempersembahkan doa kebaikan pada orang Bani Thaif : “Yaa Allah, berikanlah hidayah pada kaumku. Mereka melakukan itu karena mereka tidak tahu”.

Kalau kita berharap dari Allah, maka kita akan memerolehnya. Tapi kalau kita berharap dari makhluk, maka yang kita dapatkan hanya kecewa semata. Tentu saja kita ingin selalu diliputi kebahagiaan, maka jadikanlah Allah sebagai tujuan satu-satunya dalam menjalani hidup ini. 



Kalau kita telah berhasil mengikis tiga penyakit hati, yakni sombong, dengki, dan riya’, maka kita telah terbebas dari segala bentuk penyakit hati. Kita akan merasakan “suasana hati” surgawi. Kita juga akan merasakan, oh begini taman kedamaian itu. Taman yang tidak memiliki kotoran sama sekali di dalamnya. Hanya kebersihan saja yang tampak di setiap sudut taman yang kita lihat. Bukankah di taman-taman yang bersih akan dihinggapi kupu-kupu yang beterbangan dengan anggun, lebah yang tingkahnya memantik rasa senang, dan burung yang kicaunya begitu merdu dan menghanyutkan?

Saya teringat dengan nasihat Guru Mulia, KH. Dhiyauddin Kuswhandhi, “Jangan capek-capek memburu kupu-kupu. Karena kau hanya akan mendapati rasa letih. Tanamlah bunga-bunga indah di sekitar rumahmu, maka kupu-kupu akan datang dan menghinggapi bunga tersebut”.

Kalau hati kita sudah indah, sudah bersih, sudah lapang, dan terang, maka segala perasaan baik akan menghinggapi hati kita. Kebahagiaan pun bersinggasana di hati. Itulah tanda bahwa Allah telah bersinggasana di hati kita.

BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang