Kembali Ke Kampung Halaman Jiwa
05 May 2023
Sebagian kita berpikir, tujuan kita adalah masa depan kita. Sebuah realitas yang tak pernah kita jumpai sebelumnya. Terkesan sebuah perkara yang baru. Kita menyadari bahwa tujuan sejati itu tidak bertempat di bumi. Karena bumi bukan tempat kenyamanan sejati. Bahkan bumi tak lebih hanya sebagai wadah yang berisi ujian. Sesempurna apapun manusia terlihat oleh mata, masih saja terselip kekurangan di sana-sini.
Mungkin orang miskin memiliki persepsi bahwa kebahagiaan sangat identik dengan kekayaan. Iya, ketika kekayaan sudah ditangguk-nya, kebahagiaan mendadak membanjiri jiwa. Akan tetapi, ketika kekayaan telah melingkupi dan melimpahi-nya, apakah kebahagiaan benar-benar meluapi jiwanya.
Nyatanya, tetap saja ketidakbahagiaan-lah yang menyusupi hatinya. Atau mungkin, rakyat jelata, melihat orang-orang berpangkat yang memamerkaan kekuasannya, terlihat sangat bahagia sekaligus mulia. Lalu Allah menempatkannya pada kedudukan sosial yang tinggi. Jadi pejabat publik. Apa kemudian yang dia rasakan? Justru dia tidak merasakan kebebasan. Kebebasannya dibatasi. Dia sudah tidak lagi bisa berbaur dengan masyarakat kecil.
Jika tukang becak bisa tidur sembarang tempat. Cukup memarkir becaknya dan berteduh di bawah pohon, ia bisa tidur dengan lelap. Sementara pejabat, tidak bisa tidur di sembarang tempat. Bahkan sebelum memasuki sebuah spot, sudah datang tim pengaman yang mensterilkan keadaan. Dipastikan aman.
Intinya kebahagiaan yang absolut tidak kita peroleh di dunia ini. Akan tetapi, kebahagiaan yang sebenarnya itu nyata ada. Kebahagiaan yang terbentang di akhirat. Tepatnya di surga. Perlu disadari bahwa dunia bukan tempat kita tinggal selamanya. Ia sekadar tempat bersinggah. Dahulu, manusia pertama, Nabi Adam a.s, telah menyerap lezatnya tinggal di surga. Hanya karena melampaui batas larangan Allah, beliau harus terdampar di bumi. Memang bumi hanya diperankan sebagai tempat ujian.
Agama datang hendak membawa kita pulang ke kampung halaman. Disanalah kehidupan yang sebenarnya. “Tidak ada kehidupan kecuali kehidupan akhirat”. Iya, kehidupan sejati adalah kehidupan akhirat. Disanalah kebahagiaan sesungguhnya akan kita rasakan.
Jika akhirat sebagai tempat kebahagiaan yang hakiki, maka kita akan membalik mindset kita bahwa tujuan kita—sebenarnya—adalah masa lalu. Mengapa masa lalu? Karena kondisi itu pernah kita rasakan. Kita pernah dibanjiri kebahagiaan yang tak bisa kita gambarkan. Iya, bukan hanya Nabi Adam a.s yang benar-benar merasakan kebahagiaan tatkala “bernaung” di surga, kita juga—semasa masih berada di alam arwah—merasakan kebahagiaan yang luar biasa.
Bagaimana kita—yang masih berupa ruh—memandang keindahan sekaligus keagungan Allah. Dengan keindahan, harapan kita pada-Nya membuncah. Dan dengan keagungan-Nya, rasa takut kita bergelora. Takut jika diantara amal kita terselip perkara yang tidak disukai oleh Allah.
Ketika daging yang telah bercampur ruh bertempat di rahim. Lalu, kemudian lahir ke dunia. Bayi itu menangis. Apakah Anda mendapati, ada bayi ketika lahir dalam keadaan tertawa atau tersenyum? Semuanya—tak terkecuali—menangis. Mengapa? Karena mereka mengalami kondisi yang sangat shock. Bagaimana sebelumnya sangat dekat pada Allah, harus ditarik jauh dari Allah.
Setiap bayi ingin kembali berada dekat dengan Allah Swt. Berada dalam level ruh. Akan tetapi, manusia tidak bisa menggapai kembali suasana di alam arwah tanpa melewati kondisi bayi.
Bagaimana kondisi bayi? Bayi disebutkan dalam keadaan fitrah. Dalam keadaan suci. Suci dari kesombongan, dengki dan riya. Iya, hanya ketika orang telah menggapai kembali kesucian tersebut, maka manusia bisa kembali ke kampung halaman jiwanya.
Dia akan merasakan sapuan segar udara kebahagiaan. Dia akan menyadari kebahagiaan tidak didapatkan dari luar, tapi memancar dari taman jiwanya sendiri. Dan hanya diperoleh ketika hati suci. Dan Allah tidak meminta banyak pada kita tatkala hendak kembali pada-Nya. Dia hanya meminta datang kepada-Nya dalam keadaan hati yang bersih, alias qolbun salim.
“(Yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”. (QS. Asy-Syu’ara [26] : 88)
0 comments