-->

Urgensi Cinta

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Urgensi Cinta

26 May 2023

Urgensi Cinta

26 May 2023


 


Cinta seharusnya tidak hanya sesuai dengan tuntutan syariat, tapi juga sesuai dengan tuntutan akal sehat, karena cinta sendiri sebagai nyawa dalam kehidupan. Tanpa cinta, agama justru akan menjelma sebagai drakula. Saban hari, agama hanya memproduksi dan mempertontonkan kekerasan, sekaligus memberangus kemanusiaan. Padahal, agama hadir untuk menjaga dan merawat kemanusiaan. 

Bayangkan, tanpa diresapi cinta, kita tak bisa menikmati ibadah yang kita jalani. Ibadah akan terasa garing, hampa, dan tak meninggalkan kebahagiaan hingga ke relung hati. Pada akhirnya, tanpa cinta, agama menjelma sebagai kumpulan dogma dan seremonial semata.  

Islam—sendiri—mengajarkan cinta pada Allah. Semakin kuat cinta kita pada Allah, maka semakin besar pula volume kebahagiaan yang akan kita rasakan. Sejak dahulu, secara primordial, jiwa manusia condong mencintai Allah. Hanya ketika terdampar di bumi, manusia mulai tertarik oleh bermacam pesona duniawi. 

Ketika manusia terpesona pada yang tampak, pelan-pelan cinta pada Allah mengalami deviasi. Diarahkan pada perkara yang jelas-jelas akan hilang, lantas lupa pada Zat Yang Mahakekal. Karena cinta diarahkan pada suatu yang akan hilang, maka kesenangan yang dirasakan juga bersifat sementara. Lalu buyar. Sebaliknya, jika orang mengarahkan cintanya pada Allah, maka kebahagiaan yang kekal akan dicerapnya.

Tentu Anda menaruh penasaran, mengapa cinta pada Allah sangat penting dalam mengarungi kehidupan ini? Ada beberapa alasan mendasar mengapa kita harus mencintai Allah.

Pertama, manusia akan menghadapi kematian. Iya, kematian merupakan sebuah kenyataan yang tak bisa dielakkan dan dihindari oleh siapapun. Meski kita bersembunyi di benteng yang kokoh, jika ajal sudah tiba, kematian akan tetap menjangkau dan merenggut kita. Kematian—sungguh—menjadi momen menegangkan, sekaligus menakutkan, sekaligus menggetarkan jika hati tidak diliputi dengan cinta pada Allah.


Sebaliknya, ketika hati diluapi rasa cinta pada Allah, maka kematian dipandang sebagai momen perjumpaan dengan Zat yang dicintainya. Setiap orang pasti rindu—karena terpisah lama—dengan sosok yang dicintai. Kerinduan ini hanya bisa dipenuhi melalui pertemuan. Kematian adalah sebuah sarana pertemuan antara hamba dengan Tuhannya. 

Bagi pencinta Allah, kematian bukanlah perkara yang menakutkan, melainkan sebagai hari raya. Jika diserupakan dengan petani, maka kematian serupa dengan panen raya. Adakah yang tidak mereguk kebahagiaan dikala panen raya sudah tiba? Tentu saja bahagia meruahi jiwa.

Suatu saat, Jalaluddin Rumi sedang berada di ambang kewafatan. Murid-muridnya melingkar di sisi beliau. Mereka sesenggukan, digayut kesedihan mendalam. Didera ketakutan jika sang guru meninggalkan mereka. Mereka berharap kematian tidak menjumpai sang guru terlebih dahulu. Karena mereka merasa masih butuh hadirnya Rumi dalam kehidupan mereka. “Mengapa kalian bersedih dengan kematianku”, tiba-tiba Rumi berucap, “bukankah kondisi seperti ini yang sudah lama saya rindukan. Karena kematian akan mempertemukan saya dengan kekasih sejati”.

Kematian memantik kebahagiaan bagi seorang pencinta Allah, karena menjadi pintu gerbang pertemuan dengan kekasih.

Kedua, Sakratul Maut. Setiap orang akan menjelang masa sakratul maut. Disana detik-detik yang sangat menentukan. Ketika sakratul maut sudah menyambar manusia, maka kesadaran biasa telah pupus. Jika bukan atas sadar yang aktif, maka bawah sadar yang aktif. 

Jika manusia jatuh dalam kecintaan yang kuat pada dunia, maka dia akan membiarkan dirinya terperangkap dalam bawah sadar. Sehingga kelak, yang menjelma adalah perkara yang dicintainya dari dunia. Sebaliknya, jika cintanya pada Allah yang tinggi dan memenuhi jiwanya, dia berada di atas sadar, sehingga di selalu tergerak untuk menyebut-nyebut nama Allah.

Kita masih merenung, apa berbedaan husnul khotimah dan suul khotimah. Husnul khotimah membawa orang mati dalam kondisi penuh kedamaian. Sebaliknya, suul khotimah melemparkan orang mati dalam keadaan penuh penderitaan. Orang yang mati dalam keadaan husnul khotimah terserap dalam kedamaian karena dia akan berjumpa dengan yang Dicintainya. Sementara suul khotimah menyergap seseorang dalam penderitaan karena sebentar lagi dia akan berpisah dengan yang dicintainya.


Ketiga, kehidupan ini terasa berat. Semakin kesini, kita telah disuguhi banyak sekali fasilitas, akan tetapi manusia terlihat semakin sibuk. Padahal seharusnya, semakin banyak kemudahan dan fasilitas maka diharapkan akan dapat mengurangi manusia dalam beraktivitas berlama-lama. Tapi yang terjadi sebaliknya. Manusia semakin sibuk. Dalam kesibukan yang tiada jeda tersebut, manusia merasakan kehidupan ini sangat berat  untuk dijalani. Tak ayal, kesejahteraan terlihat dimana-mana, tapi keluhan hidup juga kian meningkat. 

Tentu kita perlu menawarkan gagasan agar orang tidak lagi terperangkap dalam keluhan. Kita harus menyertakan cinta pada Allah dalam setiap aktivitas yang kita jalani. Salah satunya menyadari bahwa bekerja juga merupakan bentuk ungkapan cinta pada Allah. Sehingga walaupun bertumpuk-tumpuk kegiatan, sama sekali tidak memicu jiwa untuk mengeluh. Apalagi semua aktivitas disadari sebagai persembahan pada Allah. Zat yang dia cintai. Bukankah dengan cinta suatu yang jauh terasa dekat, yang berat terasa ringan, bahkan yang tidak mungkin jadi mungkin?

Kalau Anda bekerja disertai kebencian atau permusuhan dengan orang di sekeliling Anda, Anda akan merasa begitu lama mendekam di penjara. Pekerjaan melahirkan penderitaan. Akan tetapi, ketika bekerja disertai orang-orang yang Anda cintai, meski waktu yang dilalui begitu lama, maka akan terasa singkat. Karena aktivitas yang dijalani selalu memancarkan kebahagiaan. Jika Anda merasa selalu dibersamai oleh Allah—Zat Yang Anda cintai—tentu Anda akan selalu dalam keadaan bahagia.  

Keempat, keluarga. Hadirnya cinta karena Allah pada pasangan akan menyemai harmoni dan sakinah dalam rumah tangga. Kalau cinta pada pasangan berangkat dari hawa nafsu, maka keadaan rumah tangga pasti akan pasang surut. Bahkan boleh jadi tergusur dan pupus. Akan tetapi, ketika cinta yang tumbuh pada pasangan adalah karena Allah, maka Allah yang akan merawat cinta yang terjalin diantara pasangan. Karena yang mengaitkan hati—sejatinya—bukan kita, melainkan Allah.

Ingatlah, kebahagiaan timbul karena adanya cinta. Jika kita mencintai sesuatu yang bersifat sementara, maka kebahagiaan yang diraih juga sementara. Tapi, kalau kita mengarahkan dan mendasari cinta pada yang Abadi, maka kebahagiaan yang diterima dalam rumah tangga juga akan langgeng. Jika istri mencintai Allah, maka ia mencintai suami karena Allah. Begitu juga, seorang suami mencintai Allah dan mencintai istri karena Allah, maka ikatan cinta karena Allah inilah yang akan memproduksi kebahagiaan atau qurrata a’yun dalam rumah tangga.

Empat alasan mengapa mencintai Allah tersebut penting, sehingga dengannya diharapkan menjadi penguat bagi kita untuk terus istiqamah di jalan cinta kepada Allah.    


BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang