-->

Maraknya Perceraian

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Maraknya Perceraian

02 June 2023

Maraknya Perceraian

02 June 2023


 


Judul yang saya unggah ini mungkin—untuk sebagian orang—terkesan provokatif. Bisa jadi sebenarnya, yang bercerai hanya satu dua pasangan saja. Tetapi karena yang tersangkut perceraian adalah orang terkenal, walhasil gampang viral dan tersebar dengan sangat masif, sehingga sejagat Indonesia heboh tersebab berita tersebut. Atau, sebenarnya apa yang tampak di permukaan hanya segelintir kasus saja, dan banyak kasus yang tidak tergali oleh media. 

Namun demikian, marak tidaknya perceraian bukan menjadi fokus saya. Saya lebih menyoroti mengapa perceraian itu bisa terjadi. Bahkan, ada seseorang yang doyan nikah cerai, lalu nikah dan cerai lagi. Begitu seterusnya. Sehingga pernikahan dianggapnya mudah, begitu juga dengan perceraian. Kemudian, apa mindset yang harus ditanamkan bagi orang yang merawat rumah tangga, sehingga diharapkan mereka bisa manyangga rumah tangga agar tidak mendekati tabir perceraian.  

Pertama, pernikahan adalah amanah dari Allah. Iya, pernikahan bukan hanya mengandung nikmat, tapi manusia juga bisa melepaskan hawa nafsu, sekaligus menambang kesenangan dan ketenangan. Dibalik itu, pernikahan juga memuat amanah dari Allah. Sadarilah, istrimu adalah amanah dari Allah, pun sebaliknya. Ketika kau menikahi seorang wanita, sejatinya kau sedang meminta dengan nama Allah dan kepada Allah. Jika—di kemudian hari—Anda menelantarkan amanah tersebut, berarti Anda sedang mengabaikan amanah dari siapa? Betul. Anda mengabaikan amanah dari Allah.


Ketika seorang—misalnya—meninggalkan pasangan tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat, maka dia akan terhalang dari mencium bau surga. Artinya, meski dia menenun pernikahan berkali-kali, tetap saja terhalang dari mereguk kebahagiaan. Bagaimana mungkin orang akan merasakan bahagia ketika telah berkhianat pada Allah? Sekilas, dia mungkin dianggap mengkhianati pasangannya, tapi sejatinya dia sedang berlaku khianat pada Allah.

Kedua, pernikahan adalah ibadah. Jangan salah memahami bahwa pernikahan hanya ajang untuk mendapatkan kenikmatan fisik dan psikologis. Pernikahan juga sebagai sarana untuk bisa menyerap kenikmatan spiritual. Bahkan, segala aktivitas yang menyertai pernikahan juga bernilai ibadah. Ketika seorang istri enak dipandang oleh suami, juga taat pada suami, menjaga diri dan hartanya ketika suami tidak ada, maka seluruh sikapnya tersebut mengundang pahala dari Allah. 

Setiap kali suami bekerja, mencari nafkah yang halal untuk keluarga, maka setiap tetes keringatnya pun akan bernilai pahala di sisi Allah. Dan bahkan nafkah yang diberikan pada istri dan anak-anak lebih utama daripada infaq fii sabilillah. Kesabaran seorang suami atas perlakuan kurang baik dari istri bisa menjadi jalan meraih pahala syahid. 

Tak sedikit, orang menggapai makam kewalian tersebab sabar pada sikap buruk istrinya. Begitu juga sebaliknya. Poin pahala yang didapatkan lebih berlimpah dan berlipat-lipat. Artinya, setiap dimensi yang terselip dalam rumah tangga berpeluang menyemburkan pahala, sekaligus menyuguhkan kebahagiaan.

Ketiga, pernikahan mengikis keakuan. Selagi keakuan menjelma dan dominan pada diri kita, maka akan terasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan pasangan. Bahkan, pasangan yang dipaksa harus menyesuaikan dengan kita. Jika keakuan di antara pasangan sama-sama bercokol, maka akan sering terjadi pergesekan dan percekcokan tak berkesudahan. 

Keduanya sama-sama berebut menang. Padahal, ketika pasangan sama-sama berebut menang, maka keduanya sama-sama kalah, yang ditandai dengan semakin redupnya kebahagiaan rumah tangga. Sebaliknya, dikala di antara keduanya ada yang mau mengalah, maka rumah tangga akan menang. Dan tetap berjalan utuh.

Suami istri harus menyadari bahwa keduanya saling mengisi dan menyempurnakan. Keduanya tidak boleh merasa paling berkontribusi, sekaligus menegasikan dan mengabaikan yang lain. Suami istri sudah barang tentu memiliki kontribusi sendiri-sendiri. Karena kontribusi keduanya, maka rumah tangga berjalan dengan harmonis. Mungkin saja seorang suami bekerja dari pagi hingga malam. Seluruh tenaga dikerahkan untuk bisa mendulang uang yang berlimpah sebagai nafkah bagi keluarga. 

Sementara di rumah, sang istri menjalankan tugas domestik, dari memasak, mengepel rumah, menjaga dan merawat anak. Memang, istri tidak menghasilkan uang. Akan tetapi, jika seluruh tugas istri dikurs dengan uang, sang suami akan terbelalak. Menangani kehidupan rumah tangga bukan hanya menguras tenaga, tapi juga mengurangi psikologis. Capeknya bukan hanya fisik, tapi juga psikologis. Meski dia tidak menghasilkan uang, tapi seluruh pekerjaan yang dilakukan oleh seorang istri tidak bisa ditakar dengan uang. Karena itu, mengapa seorang suami perlu berlaku lemah lembut kepada istri.

Suatu kesempatan ada seorang sahabat yang terlibat masalah dengan istrinya. Dia keluar rumah, kemudian meluncur ke rumah Sayyidina Umar bin Khattab. Setibanya di rumah sang khalifah, manusia yang tegas dan adil ini pun sedang dimarahi oleh istrinya. Beliau diam. Sama sekali tidak memarahi balik sang istri. Mendengar khalifah juga sedang dimarahi istri, lelaki itu hendak berbalik pulang. Akan tetapi, sebelum pulang, langsung ditemui oleh sang khalifah. 

Dia hendak menyampaikan tentang permasalahannya dengan sang istri, akan tetapi nyatanya khalifah memiliki masalah yang sama. Tentu dia penasaran, mengapa Sayyidina Umar bin Khattab tidak melemparkan kemarahan yang sama, malah memperlakukan istri dengan sangat lembut. 

“Pertama, istriku adalah tirai antara aku dan neraka, dia menenangkan hatiku agar terjauhkan dari perkara yang haram. Kedua, sesungguhnya dia adalah penjaga bagiku ketika aku keluar dari rumahku, dan dia pun menjadi penjaga hartaku. Ketiga, bagiku dia adalah perempuan yang hanya mencintai suaminya, dia mencucikan bajuku. Keempat, sesungguhnya dia yang menyusui anakku. Kelima, sesungguhnya dia adalah pembuat roti dan tukang masak bagiku”, urai Sayyidina Umar tentang kedudukan istrinya.

“Sesungguhnya bagiku seperti apa yang ada padamu. Karena engkau mengampuni istrimu, maka aku pun akan mengampuni istriku”, ujar lelaki itu.

Lelaki yang kasar terhadap istri bukan lelaki yang kuat. Justru lelaki yang kuat adalah yang selalu mengedepankan perlakuan lembut terhadap istri. Bukankah yang terbaik dari lelaki adalah yang paling baik pada keluarganya? Demikian juga, seorang istri haruslah menjadikan agama sebagai standard dalam melangkah. Bukan menggunakan hawa nafsu. Ketika istri bisa terus berusaha mencari ridha suami, dan menyimpan jangan sampai aib suami terbongkar apalagi tersebar, maka istri ini akan mendekat pada kebaikan.

Ketika keakuan suami lenyap di hadapan istri, dan keakuan istri lenyap di hadapan suami, itulah senyatanya manunggaling cinta.

BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang