Mengagungkan Rasa Syukur
23 June 2023
Ketika bertakbir, berarti seseorang sedang mengibarkan rasa syukur. Sementara orang yang takabur berarti merenda kekufuran. Tiada orang bersyukur, kecuali akan dituangi kebahagiaan dari cawan yang penuh kemuliaan. Dan tiada orang bersikap takabur, kecuali akan disambar petir penderitaan.
Terkait dengan prolog di atas,
saya akan mengangkat pesan sentral dari Dzulhijah agar kita lebih banyak dan lebih
sering bersyukur kepada Allah. Saya mengumpamakan Dzulhijah sebagai era panen
raya. Tidak ada ucapan yang paling cocok untuk diekspresikan melebihi
alhamdulillah. Bukankah ucapan pamungkas ahli surga adalah alhamdulillahi
robbil ‘alamin?
Selama ini kita mengetahui
pemahaman tutur tinular bahwa keberkahan selalu ditemukan di akhir. Seperti
orang makan, maka yang berkah justru terletak di akhir. Tapi, jarang kita
menyantap makanan di piring kita hingga bersih dan tandas. Kadang masih ada
sisa-sisa butiran yang tercecer di piring kita.
Tak salah, ketika orang makan
dengan dialiri jiwa syukur, maka ridha Allah akan mengalir disitu. Bersyukur
ditandai dengan tidak membuang-buang makanan yang sudah tersedia di piring
kita. Sembari menghayati bagaimana mata rantai proses yang harus dilalui
sehingga makanan itu terhidang di depan kita. Jika kita tidak memahami ini,
maka kita kadang membuang sia-sia makanan.
Kembali lagi pada pemahaman
bahwa bulan Dzulhijah adalah fase berbuah. Masa panen raya. Karena itu, hati
kita—seharusnya—diluapi perasaan gembira. Diluapi rasa syukur tanpa jeda.
Lantas, bagaimana mengekspresikan rasa syukur.
Pertama, lisan mengucapkan alhamdulillah. Terkait dengan ini, saya teringat dengan
kisah yang disajikan di buku karya Al Habib Ali Al Jufri. Disitu dikisahkan,
seorang yang dirundung ujian hidup. Selain kulitnya terkena lepra, pincang, dan
sekaligus buta. Akan tetapi, dia tak pernah jeda mengucapkan terima kasih pada
Allah. Lalu ditanya, “Mengapa kau masih mau berterima kasih?”
“Karena diberi lisan untuk
berzikir dan hati yang dihiasi rasa syukur”.
Dia tidak perlu menanti
hadirnya nikmat besar untuk bersyukur. Cukup dengan ilham dia bisa berzikir dan
bersyukur yang Allah anugerahkan, dia bisa bersyukur berlipat-lipat.
Ketika orang tiada pernah
absen merapal alhamdulillah di setiap waktu keadaan, dia telah menyediakan kunci
akses kebahagiaan dari berbagai pintu. Bukankah alhamdulillah dalam rangkaian
huruf hijaiyah terdiri dari 8 huruf yang melambangkan 8 pintu surga?
Kedua, bersyukur dengan hati. Selalu bergembira dalam setiap kenyataan yang
dihadapi. Terkait ini, saya mengangkat kisah Nabi Ayyub a.s. Beliau hidup
berkelimpahan, banyak anak, hewan peliharaan berjibun, pun keluarga yang
sakinah. Dalam kondisi seperti itu, Nabi Ayyub as senantiasa bersyukur kepada
Allah. Menyaksikan kenyataan tersebut, Iblis menaruh benci Nabi Ayyub. Lantas,
dia meminta kepada Allah untuk memberi kekuasaan padanya untuk menguji Nabi
Ayyub. Iblis berpikir bahwa Nabi Ayyub senantiasa bersyukur karena memeroleh
nikmat yang meruah.
Karena itu, Iblis diberi kuasa
oleh Allah untuk menguji Nabi Ayyub. Mula-mula dia harus kehilangan hewan
peliharaan. Semua hewan itu tewas. Meski seluruh hewan peliharaannya telah mati,
tak tersisa, beliau tetap melangitkan syukur kepada Allah. Kemudian anak-anaknya
juga meninggal. Tapi beliau tetap bersyukur pada Allah.
Puncaknya, tubuh beliau harus
rela digerogoti ulat, sehingga bernanah, menimbulkan bau tidak sedap yang
menguar kemana-mana. Beliau pun diusir oleh tetangga kanan kirinya, karena
baunya yang menyengat itu juga menyebar. Beliau mengungsi berdua dengan
istrinya di sebuah tempat yang jauh dari penduduk. Dalam kondisi seperti itu,
beliau tetap mengagungkan rasa syukur pada Allah. Bersyukur bukan karena nikmat
saja, tapi karena Allah yang selalu memberi nikmat tanpa jeda. Hatinya selalu
bergembira karena dihiasi syukur.
Ketiga, bersyukur lewat perbuatan. Ekspresi syukur dalam perbuatan dapat
dilakukan melalui dua jalan; jalan shalat dan berbagi pada sesama. Shalat sebagai
aktualisasi nyata dari syukur. Karena itu, mengapa orang tidak sah shalatnya
tanpa fatihah. Padahal, dalam fatihah memuat alhamdulillah.
Shalat sebagai kewajiban yang
melekat pada hamba Allah. Tidak ada cuti dalam shalat kecuali wanita
berhalangan karena haid dan nifas. Jika orang tidak bisa berdiri, bisa shalat
dengan duduk. Jika tak bisa duduk, dianjurkan shalat dengan berbaring. Bahkan
bisa dengan menggunakan kode mata.
Ketika dalam rangkaian
perjalanan, diberikan rukhsah agar orang tetap bisa shalat. Melalui jamak dan qasar.
Intinya, kita tak boleh meninggalkan shalat dengan sengaja. Karenanya, shalat
ditempatkan sebagai pokok dari semua ibadah.
Syukur dalam bentuk perbuatan
lainnya diekspresikan melalui berbagi dengan sesama. Bahagiakan orang lain.
Lewat bersedekah. Karena itu, mengapa sehabis perintah shalat, lantas
diwajibkan berbagi dengan sesama. Tidaklah sempurna syukur manusia pada Allah
jika belum bersyukur pada sesama.
“Siapa yang tidak berterima
kasih pada manusia, berarti belum bersyukur kepada Allah”, begitu sabda Nabi
Muhammad Saw.
Baiknya kita pada Allah tercermin
pada kebaikan yang kita sebarkan pada sesama.
0 comments