-->

Menjelma Hati sebagai Baitullah

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Menjelma Hati sebagai Baitullah

09 June 2023

Menjelma Hati sebagai Baitullah

09 June 2023


 


Sungguh, setiap orang—pencinta Allah—sangat merindukan untuk bisa hadir, sekaligus berdekapan, dan merasakan kemeliputan Allah sewaktu berada di depan Ka’bah. Tak ayal, sewaktu orang memandangi Ka’bah tak terasa air mata merembes. Ingin sekali menumpahkan kerinduan pada Allah sebagai kecintaan primordial. 

Seperti seorang anak yang mungkin tidak pernah bertemu ibunya, lantas diberi kesempatan berjumpa, maka seluruh kerinduan ingin ditumpahkannya habis-habisan. Merasakan kedekatan yang dulu pernah dirasakan hingga kini bisa bersama kembali. Menyegarkan jiwa.

Cinta Allah tidak pernah berubah sejak dahulu kala hingga sekarang. Mungkin cinta kita sering mengalami pasang dan surut. Akan tetapi, cinta Allah tetap bersinar untuk kita. Jika kehidupan kita sering diterpa masalah, dipapar ketidakadilan dan penuh dengan ujian, maka kita tentu akan menghadapkan hati kita pada-Nya. Dia akan selalu mendengarkan setiap “pengaduan” yang kita utarakan, dan Dia menyayangi kita dengan sepenuh hati.

Hanya saja, apakah kita hanya bisa mencurahkan segala persoalan hidup ketika berada di depan Ka’bah? Apakah ketika sudah di rumah, meski dalam keadaan beribadah pada Allah, kita tak terketuk untuk mencurahkan keadaan kita pada Allah? Allah tak terkerangkeng oleh ruang dan waktu. Dia meliputi seluruh kehidupan ini, tanpa terkecuali. 

Jika di luar, Allah punya rumah berupa Ka’bah. Tapi di medan diri kita, Allah juga menyediakan rumah, tepatnya di hati kita. Hanya saja, sudah layakkah hati kita menjadi rumah Allah? Selagi hati kita masih gelap, kotor, sempit, dan jelek, bagaimana mungkin raja akan mendatangi? Maka kita harus berusaha keras menyiapkan dan menghias hati kita.


Pertama, berzikir. Agar hati terang, maka perbanyaklah berzikir pada Allah. Bukankah hati yang berhias zikir akan selalu bercahaya? Tanda hati sudah diterpa cahaya adalah adanya perasaan tenteram yang menyusup ke dalamnya. Ketentraman yang tak bisa dilukiskan. Ada sebuah maqalah, “Apabila cahaya masuk, maka menjadi lapang”. Perasaan bahagia tetapi menyingsing dari relung hati terdalam dikarenakan banyak berzikir pada Allah.

Kedua, ikhlas. Ikhlas berarti menjadikan Allah sebagai tujuan. Bukan yang lain. Andaikan sebuah perjalanan, tentu yang terpatri adalah tujuan terakhir. Bukan tempat persinggahan. Tujuan terakhir kita adalah Allah. Begitulah, orang ikhlas selalu menjadikan Allah sebagai tujuan dari setiap amal yang dijalani. 

Ikhlas ini sangat terkait oleh niat. Iya, kalau niat yang terselubung di hati kita adalah dunia, maka yang kita dapatkan juga hanya pesona dunia yang terserak. Akan tetapi, kalau tujuan yang terpendam di hati adalah Allah, maka kita akan senantiasa disertai ridha Allah. Kebahagiaan tak perlu menunggu nanti, melainkan sekarang juga kita sudah bisa mereguk kebahagiaan.

Karena sejatinya antara Allah—sebagai tujuan—dengan kita yang menuju tidak ada jarak. Sementara orang yang menjadikan selain Dia sebagai tujuan, maka sudah barang tentu berjarak. Selain itu, volumenya sangat terbatas. Kalau kita menyandarkan kebahagiaan pada punya rumah, maka kebahagiaan itu tidak kunjung bersemi dan menyeruak selagi kita belum punya rumah. Nikmat apapun yang Allah tuangkan dalam hidupmu tetap saja tidak bisa memantik kebahagiaan. 

Jika kemudian tujuanmu punya rumah tergenapi, tetap saja menyisakan keinginan baru. Terpenuhi satu keinginan disusul oleh keinginan baru. Karena manusia selalu ingin sempurna. Dan jika Anda memburu kesempurnaan dari dunia, maka Anda takkan pernah menemukannya. Kalau Anda ikhlas karena Allah dalam melangkah, Anda tidak akan diterpa rasa kecewa. Semuanya akan terlihat indah. Bahkan dalam perjalanan, Anda telah memeluk kebahagiaan.

Ketiga, lapang. Pastikan hati Anda lapang. Tidak sempit. Tanda hati yang lapang adalah suka berbagi dan membahagiakan orang lain. Dia tidak hanya berpikir tentang kebahagiaan dirinya sendiri, melainkan berpikir tentang bagaimana mengisi hati orang lain dengan kebahagiaan. Terkait kebahagiaan diri sendiri, dia meyakini bahwa setiap orang yang berjuang mencurahkan kebahagiaan di hati sesama, Allah akan memberinya kebahagiaan. Karena dia selalu berbagi, dan hanya berbagi, pasti tidak mudah didera rasa sakit. Selain karena dia hanya fokus memberi, dia juga tak pernah berharap. Juga karena hatinya lapang.


Saya teringat kisah seorang pemuda yang mengeluhkan keadaan dirinya pada seorang guru. Sang guru tidak menanggapi dengan khotbah. Beliau—malah—mengajak si murid ke belakang rumah. Disana terhampar kolam yang berair jernih. Guru membawa gelas dan garam. Dia menyauk air dari kolam, lalu ditebari garam. Setelah diaduk, air tersebut diteguk oleh pemuda itu. “Bagaimana rasanya?”, tanya sang guru.

“Sangat asin, guru!”, ujar si pemuda.

“Coba saya tebarkan sisa garam ini ke kolam. Dan kau sauk dengan tanganmu”, kata guru.

Si pemuda itu bergegas, mengambil air tersebut dengan menggunakan tangannya.

“Bagaimana rasanya?”, tanya lagi sang guru.

“Tidak ada rasa apa-apa. Tetap tawar, guru”, tegas pemuda itu.

“Begitulah. Masalah seperti garam. Wadahnya seperti hati. Kalau hati kita sempit, masalah kecil akan terasa menyesakkan. Tapi kalau hati kita luas, maka masalah sama sekali tidak berasa”, kata guru. “Kalau masalah datang, jangan menyalahkan keadaan. Tapi perluaslah hati Anda dengan cara tekun berbagi”.

Keempat, indah. Tempat yang buruk mengundang binatang menjijikkan untuk berdatangan dan berkerumun. Sebaliknya, kalau tempatnya indah, maka binatang yang akan datang dan beterbangan juga indah. Kupu-kupu mungkin akan berhinggapan kesana kemari. Apa yang membuat hati buruk? Tidak ada sikap yang paling berperan memperburuk hati melebihi dari sombong. Secantik apapun seorang wanita, tapi jika dia berlagak sombong dan angkuh, maka akan terlihat jelek. 

Sebaliknya, mungkin orang berparas biasa, karena dia sangat rendah hati, maka dia terlihat indah. Setiap orang merasa nyaman berdua dan berbincang dengannya. Kalau Anda menginginkan hati yang indah, maka kikis kesombongan, sekaligus hadirkan kerendahan hati. Selalu memandang orang lain lebih baik daripada Anda. Sehingga Anda selalu menghargai, sekaligus meyakini bisa mengakses pelajaran yang paling bermutu darinya.

BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang