Menghayati Rukun Islam
14 July 2023
Menjalani
“tertib” rukun Islam sekaligus menghayati makna yang terkandung didalamnya akan
membawa Anda bukan hanya pada jalan dan tempat keselamatan, tapi Anda pun akan
juga bermandikan cahaya kedamaian setiap saat. Akan tetapi, kalau Anda hanya
tertuju pada dimensi lahirnya, maka rukun Islam tak lebih hanya sebagai rangkaian
ritual yang tak sanggup mewariskan energi kebahagiaan ke relung hati.
Perlu Anda sadari,
Islam hadir untuk membuka katup kebahagiaan yang tertutup pada diri Anda.
Karena itu, mengapa rukun Islam yang pertama diperkenalkan pada Anda adalah
Syahadatain. Yakni syahadat tauhid dan syahadat rasul. Syahadat bukan hanya
ungkapan dogmatis, doktrin, apalagi retoris, tapi juga sebagai pemantik cinta
pada Allah dan Rasul-Nya.
Allah
dicintai, lalu dijadikan sebagai tujuan dalam setiap ibadah yang Anda jalani.
Segala tujuan selain Dia—dunia, akhirat, atau apa saja—digusur oleh tujuan
pada-Nya. Bagaimana mengukir tujuan yang hakiki ini? Anda perlu menyadari bahwa
Allah bukan hanya yang menciptakan Anda, tapi Dia juga pemilik sekaligus
penguasa Anda, penguasa saya, penguasa kita, penguasa kehidupan dunia, dan
penguasa kehidupan akhirat. Jika Allah telah menaruh ridha pada Anda, maka segalanya
akan Dia berikan. Bukan hanya dunia, bukan hanya akhirat. Bahkan Diri-Nya akan
Dia serahkan pada Anda. Anda akan dibimbing menggapai tauhid yang holistik.
Rasulullah
Muhammad Saw dicintai, lalu sebagai teladan yang indah lagi kokoh untuk bisa mendekat
pada Allah. Jalan yang dibentangkan sekaligus diperagakan oleh Rasulullah Saw
merupakan jalan tercepat juga terdekat menuju Allah. Dalam beribadah, Anda
tidak hanya terikat pada syariat yang dibawa Nabi Muhammad Saw, tapi juga berlanjut
pada upaya mengaitkan hati pada ruh Nabi Muhammad Saw. Keterikatan dan
keterkaitan hati pada Nabi Muhammad Saw bukan hanya membuat kita patuh pada syariat,
tapi kita juga dibimbing bagaimana mendulang kenikmatan dalam beribadah. Karena
tak sedikit orang yang mencukupkan dirinya dengan hanya mengikuti Sunnah Nabi
Saw, namun hatinya sama sekali kosong dari cinta pada Nabi Muhammad Saw.
Ketika cinta
pada Allah dan Rasul-Nya telah bersinggasana di hati Anda, berarti hati Anda telah
bernyawa. Tanda bernyawanya ruhani terpantul oleh adanya kedamaian di jiwa.
Kesadaran kepada Allah dan Rasul-Nya perlu mengaliri dan menjiwai seluruh
ibadah yang Anda jalani.
Menghayati
Kehambaan dengan Shalat
Shalat
sebagai aktualiasasi peran dasar kita sebagai hamba. Iya, di hadapan Robb
(Pencipta) kita adalah abdun (hamba). Hamba memiliki kebergantungan yang
sangat kuat pada Allah. Semenjak kecil hingga dewasa manusia dianugerahi naluri
bergantung. “Sesungguhnya manusia diciptakan dari ‘alaq (bergantung)”. Hanya
saja jika bergantung pada makhluk justru membuka ruang kecewa di hati. Lalu
pada siapa hati diarahkan untuk bergantung?
Hanya
bergantung kepada Allah. “Bergantunglah”, kata guru saya, “pada yang tidak
bergantung”. Dia Yang Mahakokoh sebagai tempat bersandar. Dia tidak akan pernah
rapuh dan roboh meskipun seluruh alam bergantung pada-Nya. Menjaga langit dan
bumi saja tidak pernah menjadi beban bagi Allah, apalagi hanya menanggung
kehidupan kita.
Karena itu,
janganlah menjadi hamba dari selain-Nya, kecuali Anda akan disambar
bertubi-tubi kekecewaan. Bergantung menimbulkan harapan. Seperti seorang
ayah-ibu yang telah bersusah payah merawat, membesarkan, dan mendidik
anak-anaknya. Di tengah merawat mereka, ayah ibu memupuk harapan agar kelak
kehidupannya akan dirawat dan dijaga pula oleh anaknya.
Setelah anak-anaknya
beranjak besar, dewasa, dan menikah, mereka sibuk dengan karir dan keluarganya masing-masing,
lalu lupa pada orang tuanya. Tentu saja, orang tua itu kecewa. Yang membuat
kecewa sejatinya bukan anak-anak itu, tapi karena orang tua telah menaruh
harapan terhadap anaknya. Harapan Anda hanya layak diarahkan sekaligus
dikaitkan pada Allah semata, sehingga Anda akan selalu diguyur kebahagiaan
tanpa batas.
Selain itu,
seorang hamba merasa tidak punya apa-apa, sehingga tidak ada yang layak dia
klaim. Yang bukan miliknya tidak hanya harta yang tergenggam di tangan, tidak
hanya jabatan yang bersemat padanya, tidak hanya popularitasnya yang menjulang
tinggi, bahkan dirinya bukan miliknya. Kesemua apa yang melekat dan juga
dirinya adalah milik Allah.
Karena itu,
ketika shalat, dia tidak mengklaim sebagai shalatnya. Dia menyadari dia bisa
shalat karena pertolongan Allah.Walhasil, diberi kesempatan untuk shalat saja sudah
cukup menjadi alasan baginya untuk bersyukur pada Allah.
Menghayati
Kekhalifahan melalui Zakat
Dilahirkannya
Anda ke dunia tidak hanya diperankan sebagai hamba. Akan tetapi, Allah mengangkat
Anda sebagai khalifah. “Innii jaailun fil ardhi kholifah”. Aku
menjadikan di bumi khalifah. Ketika Anda memandang diri sebagai khalifah, maka
Anda akan tergerak untuk bisa menjadi wakil Allah dalam menyebarkan kasih
sayang, sebagaimana Rasulullah Muhammad Saw diutus sebagai penyebar rahmat bagi
seluruh alam.
Dikala Anda
sadar sebagai seorang hamba, maka Anda tidak pernah lepas dari Allah dan selalu
memohon kepada-Nya. Dan ketika kesadaran khalifah telah terbit dari hatimu,
maka dorongan memberi dan bermanfaat bagi sesama senantiasa memenuhi hati Anda.
Jika sebagai hamba Anda memohon ampun pada Allah, maka sebagai khalifah Anda
mudah memaafkan kesalahan orang lain.
Karena Anda
tidak berharap pada Allah, sekaligus hanya ingin memberi pada sesama, maka Anda
tidak akan pernah tersentuh kebencian, kecewa, apalagi dendam pada sesama. Bukankah
orang hanya sakit ketika menghamba kepada makhluk? Menghamba dalam artian
berharap. Sedangkan khalifah tidak berharap pada makhluk. Di hadapan makhluk, dia
hanya ingin memberi dan memberi.
Dia bukan
hanya tidak menghindar dari menyakiti orang lain, tapi juga senantiasa memberi
pada sesama. Pada orang yang berbuat salah sekalipun, dia masih ingin memberi.
Memberi apa? Memberi maaf. Bukankah dengan memberi maaf, hati akan selalu
benderang dan lapang?
Jika menjadi
khalifah bagi kehidupan, maka kau tidak pernah sakit hati. Bukankah selama ini,
kita merasa sakit oleh karena perbuatan, perilaku, dan sikap orang lain?
Sekarang, kita ubah mindset bahwa Anda hadir untuk mengambil, apalagi
merampas dari orang lain, atau dari kehidupan. Kita datang ke bumi sebagai
khalifah yang berperan untuk memberi dan merawat kehidupan. Seorang khalifah
tidak hanya ridha dengan segala ketetapan Allah yang dialamatkan padanya, tapi
juga ridha dengan segala kebahagiaan yang diperoleh sesama. Melihat orang
bahagia, dia pun ikut bahagia. Sebaliknya, ketika menyaksikan orang menderita,
maka dia pun ikut merasakan penderitaan.
Bersambung …
0 comments