Merancang Visi Spiritualitas
04 August 2023
Kehidupan terus berlanjut. Kita akan melintasi satu peristiwa demi peristiwa lainnya hingga nafas berhembus. Kesemua peristiwa yang Anda lewati sudah barang tentu berkontribusi—seberapa pun nilainya—terhadap keadaan hidup Anda. Kalau Anda mau merenung secara mendalam, Anda akan mengerti bahwa hari ini dibentuk oleh pengalaman hidup masa lalu.
Bayangkan,
jika kemudian Anda dikurung di sebuah istana. Tidak diberi kesempatan
berinteraksi dengan siapapun. Tidak boleh membaca apapun yang penting untuk
dibaca. Tidak boleh menonton apapun yang penting untuk ditonton. Anda bukan
hanya tidak bertumbuh, tapi justru akan tergeletak di pojok sejarah. Bukankah
ketika orang telah terdampar dalam perasaan penuh kesia-siaan, dia telah
membiarkan dirinya terjerembab dalam jurang penderitaan yang sungguh sangat
dalam?
Manusia
diciptakan untuk mempunyai harapan. Puncak harapan yang perlu merasuk di dada
adalah berdekatan dengan Sang Mahabahagia, karena kebahagiaan hanya bisa
diakses melalui Zat yang menjadi sumber kebahagiaan. Kebahagiaan adalah
sebentuk tujuan final. Tidak ada tujuan lain selain kebahagiaan.
Kita
membangun visi melebihi dari kita. Iya, manusia lebih besar daripada alam
semesta. Karena itu, tak selayaknya cita-cita terbesar manusia hanya berhenti
di dunia, bahkan semestinya juga difikirkan bagaimana bisa menerobos batas
dunia, bahkan akhirat.
Perlu diketahui, seluruh semesta dan apa yang tertampung di dalamnya dipersembahkan untuk manusia. Iya, andaikan tidak karena manusia, maka semesta tidak Allah ciptakan. Galaksi beredar di porosnya, matahari dengan disiplin terbit dan terbenam setiap hari, angin yang berhembus semilir, air yang terus memancar dari sumbernya, emas yang terpendam di perut bumi dengan nilai yang sangat fantastis, binatang berkeliaran kesana kemari, bahkan malaikat diciptakan oleh Allah untuk siapa? Semua Allah ciptakan untuk kelangsungan hidup manusia.
Terkait ini,
saya takjub oleh penggambaran yang disuguhkan oleh Jalaluddin Rumi. Bagaimana
kacang hijau direbus dengan air mendidih, hingga dia melompat-lompat karena
saking panasnya. Mungkin rasa sakit meliputinya. Tetapi, diam-diam ada kegembiraan
yang tersimpan di lubuknya, karena berkeyakinan sebentar lagi, ia yang berada
di martabat makhluk yang rendah akan memasuki martabat yang jauh lebih tinggi.
Alias manusia.
Bagaimana
hanya sejenis nabati, lalu kemudian menaiki martabat insani. Dikala sudah
memasuki tubuh manusia, ia akan terserap sebagai daging, sebagai tenaga,
sebagai pikiran, bahkan memberi kontribusi terhadap keberlangsungan hidup
manusia. Bisa dibuat untuk mengajar agama, mendekat pada Allah, menautkan jiwa
pada Allah Swt.
Karena seluruh makhluk diciptakan untuk manusia, maka manusia untuk siapa? Manusia diciptakan untuk melayani Allah. Beribadah kepada Allah. Jangan sebaliknya, hidup kita dibuat melayani alias diperbudak duniawi, lalu lalai pada Allah yang telah menciptakannya.
Karena Allah
telah menjadi visi hidup kita, maka tiada yang tertanam dalam hati kita kecuali
meraih ridha Allah. Catatlah, amal dan sikap apa saja yang bisa mengundang
ridha Allah Swt. Setelah kita mencatatnya, kita terus berlatih untuk bisa
membawa keseluruhan diri menggapai ridha Allah.
Kalau Anda
fokus menangguk ridha Allah, maka Anda tak lagi dipalingkan oleh segala
fatamorgana yang bertaburan di sekeliling kita. Beragam fenomena yang timbul
tenggelam, terbit terbenam, terbang ke angkasa lalu jatuh tergeletak. Kita
tetap teguh menggapai Yang Mahatinggi. Segala musibah dan kenikmatan yang
menyeruak dari perut dunia sama sekali tidak menghadirkan suasana hati yang
berbeda. Dibanjiri pujian atau dikeroyok cacian baginya sama saja.
Tidak
berdampak pada kegembiraan meluap-luap, atau kesedihan yang terlalu dalam.
Karena sekali lagi tujuannya bukan yang datang dari makhluk. Bukan penilaian, melainkan
yang datang dari Allah. Dan segala bentuk realitas yang datang dari Allah
disambut dengan ridha. Tak resisten sedikit pun. Baginya, semua realitas hanya
pintu. Yang apabila kita memasuki dengan sikap yang tepat akan mengantarkan
kita menuju istana raja.
Lantas
bagaimana memeroleh ridha Allah? Tentu saja bukan hanya berkaitan dengan amal
lahir, tapi lebih daripada itu, yakni amal batin. Bahkan amal batin itulah yang
mendasari setiap amal lahir mendatangkan ridha Allah. Mungkin masih terpahat
sebuah kisah memikat, bagaimana seorang wanita pelacur yang menghabiskan waktu
dalam perbuatan maksiat, lantas dia memutuskan pulang kampung dan berhenti dari
pekerjaan tersebut.
Di tengah
perjalanan, dia mendapati seekor anjing yang kehausan, nyaris sekarat. Wanita itu
segera bergegas mencari air. Dia mengambil air untuk diseduhkan ke anjing
tersebut. Dia bolak-balik dari tempat air menggenang menuju anjing tersebut.
Walhasil anjing yang sekarat itu seger kembali. Dengan amalnya tersebut, wanita
itu diampuni dosa-dosanya oleh Allah. Artinya, Allah ridha pada-Nya. Wanita itu
tentu saja meminumi anjing dengan air berangkat dari hati yang penuh kasih
sayang dan ketulusan.
Mendulang
ridha Allah salah satunya dengan membersihkan hati. Jangan sampai terkena
penyakit hati. Karena penyakit hati bukan hanya membuat amal tidak diterima
oleh Allah, bahkan amal yang sudah terhimpun akan ludes begitu saja. Jika
manusia—mungkin—memandangi wajah kita. Dikala wajah memancarkan keindahan dan
keramahan, tentu saja orang akan tertarik dan berlama-lama memandangnya.
Sebaliknya, jika wajah terlalu suram, orang akan berpaling, membuang wajah, dan mungkin saja merasa jijik memandangnya. Sementara Allah tidak memandang wajah, tidak tertarik dengan kecantikan lahir. Yang menarik bagi Allah adalah kecantikan batin. Karena itu, hendaknya kita terus bersungguh-sungguh untuk membersihkan hati agar Allah ridha pada kita. Iya, hanya orang yang telah berhati bersih yang dibukakan peluang untuk merasakan muthmainnah. Ketenangan batin. Melalui tenangnya batin, ridha Allah akan didapatkannya.
Cara Cepat Mengakses
Ridha Allah
Kalau Anda
mencari ridha Allah melalui amal, mungkin Anda akan menghadapi banyak tanjakan
tajam dan berliku. Apalagi, jika Anda merasa bahwa amal itu berasal dari diri
Anda. Anda tahu bahwa keakuan seperti duri yang menghadang perjalanan sampai
pada Allah. Ketika duri itu menyebar di perjalanan, maka singkirkan segera.
Kita
mengikis perasaan “akon-akon” merasa bahwa amal itu berasal dari kita. Tak
jarang, orang nyaris menggapai puncak perjalanan. Karena di hatinya terselip
perasaan ujub. Merasa bahwa kehampirannya pada tujuan karena usahanya, maka
mendadak dia meluncur dan melorot ke bawah.
Rasa ujub
pupus sebagai indikasi telah tercerabutnya keakuan. Ketika keakuan telah luruh,
maka kita selalu menyadari semua gerak bahkan pencapaian sebagai anugerah dari
Allah. Tidak ada ruang untuk diri sendiri merasa berkontribusi. Karena semua
amal—sejatinya—dari Allah, maka segala peristiwa juga berasal dari Allah. Dan
karena mengalir dari-Nya, maka kita selalu menyiapkan hati untuk bersikap ridha
terhadap setiap kejadian yang menerpa.
Ridanya kita
terhadap takdir apapun yang mendatangi kita menjadi jalan supercepat untuk
mengunduh rida dari Allah. Bahkan, tanda Allah ridha pada kita, Allah
mengilhami sikap ridha pada kita dalam menghadapi beragam kenyataan yang
menyeruak.
0 comments