Aku Khalifah
01 September 2023
Sebelum diciptakan, Allah sudah mengangkat manusia
sebagai khalifah di muka bumi. Hanya saja, ada sebagian manusia yang sukses
menempatkan dirinya sebagai khalifah, sedangkan sebagian lainnya gagal dan meluncur
ke jurang kehancuran. Ketika manusia menjalankan kewajiban sebagai hamba Allah
dengan sungguh-sungguh, Allah meridhai sebagai hamba-Nya, maka dia akan
menjelma sebagai khalifah. Dia menjadi cerminan yang indah bagi lingkungan. Dia
juga menjelma sebagai agen perubahan dimana pun dia berada.
Tapi, ketika manusia tidak bisa menghamba dengan
sungguh-sungguh, kekhalifahan yang disematkan pada manusia itu hanya menjadi
ajang perebutan kekuasaan, menyulut konflik, dan terjadinya pertikaian yang
tidak berujung. Mereka tidak pernah merasa cukup dengan luasnya capaian, bahkan
harus mengorbankan dan menggusur orang lain.
Menyadari diri sebagai hamba akan mengendalikan seseorang
dari menyakiti sesama. Orang lain selamat dari dirinya. Tentu saja, dalam hati
tidak menyimpan kesombongan pada siapapun. Bukankah kesombongan itu yang sering
menjadi pemicu untuk menyakiti orang lain sekaligus membuat kerusakan? Bukankah
orang sombong itu merasa benar sendiri, sementara orang lain dianggap salah sehingga
dia mudah merendahkan orang lain? Iya, kezaliman sering keluar dari orang yang
sombong.
Tengoklah, bagaimana Namrud, Qorun, Fir’aun, dan Abu
Jahal serta Abu Lahab, yang mana mereka tidak hanya menolak kebenaran yang
diserukan para Nabi, tapi mereka juga bergerak membuat kerusakan di muka bumi.
Hingga kini, mereka semua diabadikan sebagai orang-orang yang terlaknat. Jika
orang belum benar-benar menjadi hamba, maka dia akan lebih sering menyakiti
orang lain.
Berbeda halnya, ketika orang telah berhasil menjadi hamba, Allah akan mencintainya. Tentu saja, Allah tidak hanya mengangkatnya sebagai hamba semata, tapi dia juga akan disemati sebagai khalifah Allah. Menjadi wakil Allah dalam menyebarkan rahmat-Nya di muka bumi.
Khalifah telah mengikis harapan pada makhluk. Dia
hanya ingin terus berkontribusi dan berbagi dengan orang lain. Dia menjelma
sebagai khalifah, karena dirinya telah dipenuhi semacam kebahagiaan, kekayaan
ruhani yang tak bisa dilukiskan. Bukankah hanya orang kaya yang bisa berbagi
dengan sesama?
Sementara orang yang tak punya apa-apa akan selalu
berharap mendapatkan. Kalau ada orang yang selalu ingin dihormati dan dihargai
oleh sesama, itu karena dia sendiri belum memeroleh penghargaan dari Allah.
Ketika Allah telah memuliakan dan menghargainya, maka dia tak lagi butuh
penghargaan dari makhluk.
Sebaliknya, dia menjadi sangat senang menghargai
sesama. Karena kebutuhan—harapannya—tidak tertuju pada makhluk, maka sangat
tidak bisa dikuasai, alias tak bisa disakiti oleh makhluk. Bukankah rasa sakit
itu terbit seiring adanya harapan pada makhluk? Sementara orang yang bersandar
pada Allah saja, maka hanya kebahagiaan saja yang diperoleh.
Sebagai hamba, dia telah mencetuskan kemakmuran bumi
dengan banyak menyebut nama Allah. Dimana saja dia berjalan senantiasa menghadirkan
nama Allah. Tidak ada petak bumi yang dia tapaki kecuali dia selalu ingat Allah,
karena disusupi perasaan butuh pada Allah saja. Sementara pada sesama, dia
makmurkan hati manusia dengan kebahagiaan.
Dia tak pernah tega menyakiti, melukai, apalagi menyiksa manusia. Dia selalu fokus pada agenda membahagiakan sesama. Selain itu, dia telah berhasil mengontrol dirinya sendiri, tak ada satu pun makhluk yang mampu menguasainya. Dan seseorang bisa selamat dari penguasan makhluk ketika dia tidak berharap padanya.
Sebaliknya, orang yang menambatkan harapan pada
makhluk, berarti dia sedang membiarkan dirinya dikuasai oleh makhluk. Tertimbun
dalam kesadaran yang terjauh bahwa tak ada satu pun makhluk yang bisa memuaskan
manusia sepenuhnya. Hanya Allah yang bisa mencurahkan kepuasan pada manusia.
Ingatlah, kepuasan itu berasal dari kedua belah pihak.
Dengan kesadaran bahwa kita tak bisa mengontrol orang
lain, tapi kita bisa mengontrol diri sendiri. Kita tak bisa menjamin setiap
orang menyukai dan puas dengan apa yang kita berikan, meski kita telah
mencurahkan dengan maksimal. Karena itu, memberilah karena Allah, sehingga kita
tak merasa sakit ketika orang mengumbar kecewa atas apa yang kita sumbangkan.
Khalifah bukan hanya sekadar memberi, tapi dia juga menjaga dirinya agar tidak dikuasai dan dimiliki oleh siapapun, kecuali Allah. Siapapun tak bisa menguasai, tidak bisa memperbudak, juga tidak bisa menyakitinya. Kalau kita renungi secara mendalam, sebenarnya rasa sakit yang mendera kita bukan sepenuhnya karena perlakuan buruk orang lain pada kita, namun dikarenakan sikap kita yang mengizinkan orang lain menyakiti kita. Kalau kita tak mengizinkan terpengaruh dengan sikap buruk orang lain, maka kita akan hadir sebagai khalifah terhadap segala realitas yang menyapa kita.
Jika Anda, misalnya, sudah terbiasa memberi kepada
seseorang. Lalu, orang yang sudah Anda perlakukan baik itu membalasnya dengan
keburukan. Maka, jika Anda sadar sebagai khalifah, orang tersebut sama sekali
tak meninggalkan rasa sakit di hati Anda. Bahkan timbul belas kasih dalam diri
Anda, karena orang itu bisa berbagi kebaikan.
Bukankah hanya orang yang memiliki kebaikan yang bisa
berbagi kebaikan? Dia tak bisa membagikan kebaikan jika tak punya kebaikan.
Seperti halnya bunga mawar, meski tidak diminta, siapapun yang berada di
dekatnya akan ikut merasakan semerbak wanginya. Begitu juga, orang baik hanya
memberi kebaikan. Sementara orang buruk hanya bisa menyuguhkan keburukan.
Dikala orang telah terserap dalam kehambaan dan kesadaran
sebagai khalifah, maka dia akan menjadi orang yang beruntung, yakni menjadi
kekasih Allah. Sebagai hamba, dia terus merunduk, tertimbun dalam rahmaniyah
Allah. Sementara sebagai khalifah, dia terus berbagi kebahagiaan pada orang
lain, sekaligus membentengi dirinya dari setiap bahaya yang menyentuhnya. Jiwa
sebagai hamba dan khalifah telah berjalan dengan baik, maka orang tersebut
telah menjelma sebagai orang beruntung.
“Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah,
sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung.”
(QS. al-Hajj: 77)
0 comments