Agama Berhenti di Ritual
27 October 2023
Manusia bukan seperti robot yang bergerak sesuai perintah, tanpa mengerti untuk apa dia melakukan amal tersebut. Robot bisa menghasilkan produk, bahkan mungkin lebih banyak secara kuantitatif daripada karya manusia. Apalagi, kini sedang merambahi babak baru sebuah peradaban yang disebut AI. Artificial intellegence sedang merebak menjadi kekuatan. Memberi kemudahan sekaligus lorong ketakutan yang dibentuk manusia.
Pada saatnya, manusia dihentak oleh kesadaran bahwa mereka akan menjadi musuh dari ciptaannya sendiri. Tentu saja AI bergerak sejalan dengan program yang di-install. Dikumpulkan kemampuan semua ahli, sehingga orang akan kalah jika bertempur dengan robot. Sepintar apapun robot, ia tidak memiliki kesadaran siapa dirinya. Seperti telpon pintar—kini disebut android—bisa memberi jawaban apa saja. Meski dianggap pintar, tetap saja telpon tersebut tidak mengenali siapa dirinya. Tidak punya kesadaran diri.
Kita tak ubahnya seperti robot jika kita berhenti sekaligus merasa bangga hanya pada ritual, tanpa kita mengupas esensi yang tersimpan dibalik ritual tersebut. Mungkin kita makin banyak melakukan amal, tapi karena tidak disertai kesadaran dalam beribadah, kita terhalang memeroleh kenikmatan dalam beribadah. Kita hanya puas karena telah melakukan banyak. Bukan hanya puas, orientasi ritual akan menumbuhkan sikap lebih baik daripada orang lain, yakni sombong.
Secara lahiriah sepertinya terus menanjak, meninggi, dan menjulang, akan tetapi secara batin sejatinya meluncur, menurun, dan bahkan terkapar. Ada orang yang melaksanakan shalat tahajud. Setiap orang baik tentu menginginkan bisa mendirikan shalat tahajud. Semacam shalat terbilang rahasia antara seorang hamba dengan Allah.
Dikala bisa bangun malam, berikut menjalankan shalat malam, lalu dia melihat teman-teman yang terlelap tidur, tidak sempat mendirikan shalat. Diam-diam dalam hatinya merasa sebagai orang yang lebih baik daripada temannya yang sedang mendengkur. Temannya tidak melakukan maksiat, karena tidur sebuah aktivitas yang mubah. Bahkan, jika mereka berniat dengan tidurnya mencegah dari berbuat maksiat, justru tidurnya bisa berpahala.
Sementara shalat malam yang diselipi perasaan bangga dan sombong, justru sedang menggusur segenap kebaikan. Alih-alih dia mendulang kasih sayang Allah, malah berbalik menjadi orang yang dibenci oleh Allah.
Kita perlu menyadari bahwa Allah lebih menyayangi pelaku dosa, tapi dia merintih, menangis karena merasa terjatuh di lembah kehinaan, dan tentu saja dia bertobat, ketimbang seorang pelaku kebaikan tapi dia merasa bangga dan merasa lebih baik daripada siapapun. Siapa yang lebih banyak ibadahnya daripada iblis. Ribuan tahun Iblis telah menggunakan waktu-waktunya untuk beribadah kepada Allah, akan tetapi hanya karena sombong sejenak, tiba-tiba seluruh kebaikannya luntur dan lenyap begitu saja. Bagaimana dengan kita, amalnya sedikit, tapi sombongnya tak ketulungan.
Karena itu, kita harus mengerti impact positif dari amal yang kita jalani. Jika amal itu berdampak positif, berarti menghasilkan buah untuk apa amal itu dijalani. Orang mendirikan shalat, misalnya, tidak berhenti pada tataran ritual saja. Perlu kita lanjutkan untuk meneliti hasil yang didapatkan melalui shalat. Shalat sebagai medan nyata bagi kita untuk mengingat Allah. Merasakan kehadiran Allah. Bukankah hadirnya Allah di hati akan membuat hati merasakan tenang? Mungkin saja, gelombang masalah datang menghantam, akan tetapi hati tetap dalam keadaan kokoh, alias tenang, karena senantiasa tersambung pada Allah.
Semua masalah yang dikembalikan pada Allah membuat kita tidak hanyut pada kecemasan serta kesedihan yang berlarut-larut. Kesedihan seperti kegelapan, sementara zikir seperti cahaya. Kegelapan—sejatinya—tidak ada. Ia sangat rapuh dan tidak bisa eksis selamanya.
Bayangkan, Anda berada di sebuah rumah tak berpenghuni yang gelap gulita. Bertahun-tahun rumah itu dikuasai kegelapan. Tiba-tiba cahaya lampu menerangi keseluruhan rumah tersebut. Apakah masih Anda temukan kegelapan yang pekat itu? Tentu saja kegelapan hilang begitu saja. Kegelapan tidak bisa mengusir cahaya, tetapi cahaya bisa mengusir kegelapan. Kegelapan ada karena tidak adanya cahaya. Karena cahaya selalu menang pada kegelapan. Begitu juga, yang haq selalu unggul di hadapan yang bathil.
Shalat yang berbuah berarti shalat yang mewariskan ingat selalu pada Allah. Menghayati kehadiran Allah. Jika Allah selalu hadir, maka tidak ada lagi ruang untuk kecemasan, kekhawatiran, atau kesedihan. Karena bukan hanya kita yang diliputi oleh Allah, seluruh masalah yang kita hadapi juga berada dalam genggaman Allah.
Dikala rasa tenang telah menguasai jiwa, lalu terbawa pada stasiun syukur terus menerus pada Allah, maka bukan hanya merasa cukup dengan apa yang Allah berikan, tapi justru merasa berkelimpahan, sehingga tergerak untuk memancarkan syukur pada sesama. Selalu berpikir untuk memberi pada sesama. Jika tak mampu memberi setidaknya tidak menganggu, menyakiti, dan menyusahkan orang lain. Orang lain merasa selamat dari bahaya tangan dan lisan kita.
Tanda syukur level kedua adalah selalu berusaha memberi kemanfaatan pada siapapun yang kita jumpai. Pada orang yang berbuat jahat, kita tetap berbuat baik, yakni memaafkan kesalahannya. Dengan memaafkan kesalahan orang yang berlaku jahat, kita membebaskan dia dari tuntutan atas kesalahan yang dilakukan di dunia.
Tanda syukur level ketiga, orang seperti ini telah mencapai puncak keberkahan. Tidak hanya memberi pada orang yang berbuat baik, tapi dia juga terus saja berbuat baik pada orang yang berbuat jahat. Tak peduli orang lain membalas kebaikannya dengan kejahatan, dia tetap berlaku baik pada mereka.
Jika orang telah menjalani puasa dengan baik, tentu kita bisa menyaksikan dampak positifnya. Apa dampak positif puasa? Pertama, ikhlas. Ingatlah, penghalang kita meraih kebahagiaan bukan dari luar, melainkan dari diri kita sendiri. Ketika hidup kita dikerumuni oleh pamrih, maka kita sedang terjerat dalam penderitaan. Akan tetapi, ketika kita tak punya pamrih, bahkan sudah merasa bahagia diberi kesempatan untuk melakukan kebaikan, maka kebahagiaan terus bermekaran dari jiwa Anda.
Ketika Anda melakukan kebaikan, misalnya, tapi Anda berharap mendapatkan something dari kebaikan tersebut, tentu saja Anda terhalang merasakan kebahagiaan secara simultan, kebahagiaan baru dirasakan ketika pamrih tergenapi. Akan tetapi, bersamaan dengan tergenapinya pamrih, biasanya muncul pamrih yang lebih besar. Pamrih manusia tak terbatas. Iya, keinginan manusia tak terbatas, sementara pemenuhan pamrih manusia sangat terbatas.
Tentu berbeda halnya ketika perspektif kita tanpa pamrih. Kita akan merasakan bahwa setiap apapun yang kita jalani dan alami merupakan pemberian terbaik dari Allah. Apa yang kita rasakan? Kita bahagia.
Mungkin sebagian orang merasakan sedih, mengapa shalat khusyuk itu sulit. Alih-alih selepas shalat dia bahagia, tapi dia malah menderita karena terus-menerus menyalahkan diri mengapa shalatnya tidak kunjung khusyuk? Berbeda halnya, orang telah merasa bahagia telah diberi kesempatan Allah untuk shalat. Tidak semua orang dipilih oleh Allah untuk shalat, berarti menghadap Allah. Dari sekian orang yang dipilih menghadap pada Allah—shalat—ya diri Anda.
Kita akan ikhlas ketika menyadari bahwa interaksi yang dibangun selama ini adalah dengan Allah. Berarti yang dihadap dalam setiap amal yang dilakoni adalah Allah saja. Biasanya yang menjadi tujuan yang selalu diingat sekaligus senantiasa dihadap.
Seperti seorang jejaka yang bertamu ke calon istrinya. Setibanya di rumah si calon, dia tidak ditemui doi, tapi ditemui oleh bibinya. Perbincangan dia dengan bibi sang doi berlangsung lama. Walaupun demikian, perhatiannya dan detak jantungnya tetap tertuju pada sang doi. Begitu pula, ketika orang mencintai Allah, maka setiap perbuatan yang dilakukan merupakan persembahan bagi Allah. Tujuannya adalah ridha Allah. Karena dengan meneguk ridha Allah, kita telah merasakan dagingnya kebahagiaan.
Karena ikhlas, maka orang mudah sabar. Dia tidak ditarik oleh masa depan, dia menggali mutiara dibalik kenyataan yang dialaminya saat ini. Dia menikmati dengan kesabaran penuh, sehingga dibalik rasa pahit yang dialami, ternyata ada rasa manis yang disesapnya. Itulah hikmah. Dan hikmah adalah sebaik-baik pemberian dari Allah. Dan hanya orang sabar yang berpeluang memeroleh hikmah.
Saya tertarik menyajikan sebuah kisah tentang seorang gadis yang telah dibatalkan rencana pernikahannya secara sepihak oleh seorang lelaki. Kejadian tersebut membuatnya sangat kecewa, bahkan sampai mengalami mental drop. Selama drop tersebut, dia terus terperosok dalam kesedihan.
Untungnya, dalam kondisinya yang sedang jatuh kecewa, dia berkunjung pada seorang ulama, guna mendapatkan solusi bagi hatinya. Ulama itu memberi nasihat yang sangat ringkas, yakni sabar dan ridha. Setiap kesabaran selalu berbalas kemanisan dan keberuntungan.
Dia berusaha menguatkan hati di medan kesabaran, sehingga tepat pada saat rencana pernikahan itu tiba, ternyata lelaki yang telah membatalkan pernikahan secara sepihak telah ditangkap oleh polisi dan dijebloskan ke penjara karena menggunakan sabu-sabu.
Demi mendengar peristiwa yang dialami oleh mantannya, tiba-tiba seluruh awan kesedihannya lenyap. Sembari membayangkan, bagaimana jika pernikahan itu terjadi, sedang calonnya ditangkap polisi. Betapa lebih perih rasa sakit yang dialaminya. Bukan hanya itu, di saat pernikahan yang telah dia rangkai, dia pun menikah dengan lelaki lain. Dan lelaki itu tentu saja lelaki sholeh yang bertanggung jawab dan sangat mencintainya.
Kebahagiaan “bertubi-tubi” dia rasakan. Kesabaran selalu menciptakan jalan kita untuk sampai di stasiun kebahagiaan. Besarnya kesabaran merintis peluang terbukanya kebahagiaan yang juga besar. Kesabaran seperti pancing beserta umpannya, sementara kebahagiaan seperti ikannya. Kalau umpannya besar, ikan yang tertangkap juga besar.
Tumbuhnya sikap ikhlas dan sabar menandakan bahwa puasa telah berkimiawi menjadi jiwa dalam diri manusia. Sosok seperti ini tidak perlu mencari kebahagiaan dari luar, karena dia sendiri telah menemukan kebun kebahagiaan yang lapang dalam dirinya sendiri.
Dampak Zakat
Banyak orang bersedekah, tapi rasa kepemilikan masih menguat dan melekat pada dirinya. Tak jarang menyeruak rasa bangga tersebab bisa membantu orang lain. Bahkan kemudian dia merasa, tanpa dia, kebaikan tersebut tidak ada yang merealisasikan. Kebaikan dinisbatkan pada dirinya. Di sisi lain, dia tak mau mengaitkan setiap kesalahan pada dirinya. Berusaha mencari-cari kambing hitam. Adalah orang dipandang sebagai kontributor terbesar pada pembangunan masjid yang megah di sebuah kampung.
Dimana-mana tersiar bahwa karena dirinyalah masjid itu berdiri. Tanpa dia, rasanya tak mungkin masjid itu bisa terbangun. Sosok ini masih merasa kebaikan berasal dari dirinya. Bukan dari Allah.
Jika kita merenungi secara mendalam, kita akan menyadari bahwa kita bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa. Buktinya, ketika kita lahir ke dunia tidak membawa apa-apa, pun ketika kita wafat tidak membawa apa-apa. Mobil mewah sebagai pemantik kebanggaan tidak bisa dibawa ke alam kubur.
Punya kita, sejatinya, bukan apa yang kita genggam, yang tersimpan di deposito, atau aset yang bertebaran dimana-mana. Punya kita yang sebenarnya adalah apa kita berikan, kita sedekahkan, dan kita wakafkan. Ketika kita bersedekah, kita sedang mengubah harta yang akan lenyap menjadi abadi.
Memahami bahwa kita tidak punya apa-apa akanĺ membimbing kita untuk tidak melekat. Mengukir zuhud ke dalam hati. Tidak terlalu bergembira dengan apa yang didapatkan. Juga tidak terlalu bersedih hati dengan apa yang telah berlalu dan lenyap. Bukankah hanya orang yang merasa memiliki yang mudah sakit hati di kala kehilangan?
Seiring minus dan sirnanya perasaan memiliki, maka akan tumbuh perasaan ridha dengan takdir Allah, juga ridha dengan kebahagiaan orang lain. Tak ada lagi jejak kedengkian dalam dirinya atas kebahagiaan yang didulang orang lain. Bahkan, hanya menghendaki agar seorang meraih kebahagiaan, dan tergenapi cita-citanya.
Jika diantara kita masih dicekam oleh perasaan yang berkebalikan dengan semangat zakat, yakni masih sulit ridha dengan takdir yang Allah tetapkan pada kita, juga masih bercokol perasaan dengki terhadap nikmat yang diperoleh orang lain, berarti sedekah dan zakat yang kita jalani masih di tataran ritual, belum meresap hingga ke relung jiwa.
Zakat telah terintergrasi dalam jiwa seseorang tatkala orang bersikap dermawan, tapi dalam hatinya tidak melekat dengan segala apa yang dimilikinya, juga selalu menginginkan orang lain bahagia seperti halnya dia menginginkan untuk dirinya sendiri.
Dampak Haji
Nyaris semua orang Islam ingin menggenapkan rukun Islam kelima ini. Apalagi kedudukan rukun Islam kelima ini adalah wajib selagi orang mampu. Saking ingin merasakan kenikmatan yang terselip di sela-sela manasik haji, semua orang ing
in bahkan mengulangi lagi. Ada sebuah kenikmatan yang tak bisa dilupakan. Bukan hanya haji, bagi yang mampu bahkan menjalankan umroh setiap tahun, atau bahkan dalam setahun bisa menjalankan umroh berkali-kali.
Meski demikian, orang miskin jangan merasa minder. Merasa tidak bisa mereguk pahala haji dan umroh. Orang miskin—sebagai kompensasi ketidakmampuan melaksanakan haji dan umroh—adalah menjalankan shalat jumat berjamaah. Juga melaksanakan shalat subuh berjamaah dilanjutkan dengan zikir hingga syuruq, lalu dipungkasi dengan shalat isyraq.
Lalu apa spirit batin dari Haji? Spirit batin pertama adalah berserah diri. Tak bisa dipungkiri, orang yang berserah diri akan selalu merasakan kebahagiaan dalam setiap keadaan. Bukankah ketidakbahagiaan itu menyeruak bersamaan dengan bercokolnya sikap perselisihan? Apalagi berselisih dengan Allah. Berselisih dengan makhluk, mungkin kita baru reda penderitaan ketika kita berpisah dengannya. Putus kontak dengannya. Sudah tak usah membangun relasi lagi dengannya, sehingga penderitaan akan reda.
Akan tetapi, orang yang berselisih dengan Allah, Allah tak bisa disingkirkan dari kehidupannya. Karena semua kenyataan hidup yang menyapa dan meliputi manusia berasal dari Allah. Allah juga selalu mengiringi manusia, sampai kapan pun.
Apa penghambat seseorang untuk berserah diri? Penghambatnya adalah pikiran. Pikiran selalu membawa manusia pada kondisi untung dan rugi. Lihatlah anak kecil, dikala pikirannya belum tumbuh, kita melihat mereka selalu dalam keadaan ceria. Kebahagiaannya tanpa syarat. Semakin menua, kebahagiaan seperti dirampas oleh pikirannya sendiri. “Tidak ada yang paling banyak menyakiti kita”, tutur Guru Mulia, “kecuali pikiran kita sendiri”.
0 comments