Menjadi Utuh, Menjadi Sempurna
08 December 2023
Kita selalu berhadapan dengan dualitas.
Ketika Allah mengguyur nikmat demi nikmat, diam-diam hati disusupi ketakutan,
bagaimana jika nikmat berubah menjadi bencana. Lalu, ketika bencana menyambar,
hati kembali berbicara, “Bagaimana jika bencana ini terus menerjang bak banjir
bandang yang tak bisa dibendung?” Teruslah kita berada diantara ketakutan dan
ketakutan.
Ada seorang wanita berhenti dari pekerjaannya,
karena diminta resign oleh suaminya. Pekerjaan suaminya tidak hanya terbilang
bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari, tapi untuk membeli kebutuhan level
tersier pun juga sangat mampu. Tidak ada kekhawatiran yang harus membayangi.
Akan tetapi, diam-diam di hati wanita itu terpapar kekhawatiran, bagaimana jika
kelak karir suaminya tidak semoncer ini. Karena dia terus didera pikiran
negatif di tengah keberlimpahan, maka tentu saja yang mendatangi hatinya hanya
kepedihan, kesedihan, dan penderitaan. Sebuah penderitaan yang dibikin sendiri
oleh pikirannya.
Bagaimana agar penderitaan tidak mudah menyala di hati? Hati sebenarnya hanya menghimpun apa yang dikirimkan oleh pikiran. Dan pikiran, biasanya, senantiasa terbelenggu dalam dualitas yang tidak selesai-selesai. Kita harus menyadari bahwa Allah ciptakan dualitas sebagai cara meramu kebahagiaan. Kita tidak bisa menciptakan kebahagiaan secara individual, tetapi perlu diramu dalam pergaulan dengan sesama.
Bayangkan, Anda
telah diberi kekayaan yang melimpah, akan tetapi akses interaksi Anda dengan
segala pihak ditutup. Tentu Anda akan mendekam dalam penderitaan. Tak sedikit
orang yang menderita, bahkan bunuh diri, bukan karena tidak punya apa-apa.
Mereka punya segalanya, tetapi seperti terperangkap dalam kehidupan hampa yang
tidak bermakna, akhirnya dia mengakhiri hidupnya dengan tragis dan mengenaskan.
Jika iman telah berdiri kokoh di ladang hati kita, tak tergoyahkan apapun yang terjadi di luar kehidupan, maka orang akan terus terapit kebahagiaan dalam kondisi apapun. Ketika iman kita kuat mengakar ke relung treadle, alih-alih masalah membuat orang tersungkur, bahkan membuatnya meroket ke ketinggian. Iman merupakan sebuah proses yang membentuk hubungan kimiawi dengan Allah, sehingga terus terbentuk konektivitas yang kokoh dengan Allah.
Iman sangat berpengaruh pada pembentukan cara pandang. Dan cara
pandang sangat menentukan seseorang dalam mengambil sikap. Sikap sendiri
berdampak pada keadaan hati, bahagia atau menderita. Anda mungkin tak
mengendalikan musibah dan nikmat, akan tetapi Anda bisa mengendalikan kesedihan
dan kebahagiaan. Anda tak punya kuasa mengendalikan iklim di luar Anda, tapi
iklim di dalam diri Anda, Allah beri kuasa untuk mengendalikan. Semuanya
kembali pada kuat tidaknya iman kita pada Allah.
#Meyakini Semua Kenyataan Berasal dari
Allah
Keyakinan ini membantu Anda untuk
senantiasa menjaga agar hati terus mengembang. Lapang menerima bermacam
kenyataan hidup yang datang dan pergi, baik dan buruk, manis dan pahit.
Semuanya didekap dengan indah. Kalau Anda menyadari ada hadiah yang terkirim
pada Anda dan berasal berasal dari orang yang kau cintai, tentu saja hadiah
tersebut akan Anda jaga sepenuh hati dan kegembiraan raya. Bukan hadiahnya itu
yang berarti, tapi siapa pemberinya itulah membuat hadiah itu berarti bagi
Anda.
Ketika Anda telah mengenali Allah
sebagai Yang Mahabaik, maka Anda akan mengurangi bahkan menghilangkan kebiasaan
resistensi. Bukankah resistensi itulah yang turut memasok polusi dan sampah ke
dalam jiwa kita? Jika kau mengenali Allah sebagai aktor dibalik semua realitas
yang tersaji, Anda tentu akan selalu berada dalam keadaan bahagia. Dan
tenang-tenang saja. Jika ada musibah yang mendatangi kita, boleh jadi itu
adalah teguran Allah agar kita menjadi lebih baik. Perkataan kita yang perlu
dievaluasi, perbuatan kita yang harus dibenahi, sikap kita yang harus
diintrospeksi.
#Kehidupan Dibentuk dengan Berpasangan
Kita sering didera derita, karena memandang kehidupan yang tergelar sifatnya berlawanan. Baik dan buruk, indah dan jelek, sukses dan gagal, dan sebagainya. Pikiran cenderung memilah, lalu memilih. Memilah antara sukses dan gagal. Bahwa sukses tentu jauh lebih baik daripada gagal, maka kemudian pilihan kita jatuh pada sukses. Berbahagia dan berbunga-bunga hati kita dikala kesuksesan telah digapai.
Kita terus
menggenggam sukses demi sukses. Akan tetapi, diam-diam dalam hatinya disusupi kecemasan,
bagaimana jika kesuksesan itu tiba-tiba terampas dan hilang darinya? Apalagi
kemudian digeser dengan kegagalan. Tentu saja derita yang dialami
berlipat-lipat. Kehilangan kesuksesan membuat kita cukup menderita, apalagi
dihantam oleh kegagalan, tentu penderitaannya bertambah parah. Seperti orang
yang terjatuh, tertimpa tangga, dan tangganya dinaiki orang gemuk lagi tambun.
Tentu saja, penderitaan berganda. Musibah sendiri sering dijadikan alasan orang
bersedih, tapi resisten alias tidak menerima musibah adalah sebuah penderitaan
yang lebih besar daripada musibah tersebut.
Kalau pandangan Anda berubah, hidup dirancang secara berpasang-pasangan, maka Anda akan menikmati kehidupan yang diramu dengan sempurna oleh Allah. Tanpa perempuan, lelaki akan merasa sendiri. Demikian juga, perempuan tidak merasa sempurna tanpa kehadiran lelaki sebagai suaminya. Anda akan melihat purnama begitu sempurna karena dikitari oleh kegelapan malam yang pekat.
Andaikan ada cahaya benderang dimana-mana, maka
cahaya purnama tidak terlihat indah. Kita berpikir bahwa hitam itu tidak indah,
terkesan jelek. Akan tetapi, bila hitam tahi lalat menempel di dagu, maka wajah
akan tampak indah. Jika Anda hanya makan garam saja, tentu tidak nikmat. Tapi,
makanan tanpa garam akan terasa hambar. Kadang musibah harus datang, agar kita
bisa menikmati karunia yang Allah curahkan pada kita.
Dahulu, ada seorang yang terus mengeluh dan mengadu dikarenakan rumahnya begitu kecil dan sempit. Ditambah lagi dengan penghuni yang begitu banyak. Kalau semuanya masuk dan tidur, ruang itu benar-benar terasa sempit. Intinya, ruang itu terasa sesak dan berdesak-desakan. Dia mengadukannya pada Abu Nawas.
Abu Nawas langsung sikap
menyikapi keadaan tersebut. Sosok bijak ini membawa kambing ke rumah tersebut.
Diikat di pojok kamar, maka tentu saja, bukan malah bertambah luas, justru
semakin sempit, ditambah dengan bau kambing yang menguar. Keluhan mereka
semakin bertambah-tambah. Lalu, kemudian Abu Nawas mengeluarkan kembali kambing
tersebut, mereka malah bersyukur. Terbit kebahagiaan dari wajah mereka.
Kadang Allah mendatangkan musibah, agar
kita bisa mensyukuri sebuah nikmat yang Allah berikan. Diantara kita, karena
sudah terbiasa memeroleh nikmat, akhirnya nikmat tersebut terkesan tidak
berarti.
#Kehidupan ini Tunggal
Kehidupan ini seperti terpencar-pencar,
terlihat seperti puzzle. Padahal, hidup ini satu. Saling terkait satu sama
lain. Yang menyatukan seluruh kehidupan adalah Yang Mahahidup. Jika tak ada
yang Mahahidup, tentu saja kehidupan tidak akan berjalan. Ketika menyadari
bahwa kehidupan berasal dari Yang Mahahidup, berarti kehidupan yang tersaji di
hadapan kita tunggal. Seperti uang yang terdiri dari dua sisi. Diantara kedua
sisi mungkin saja berbeda gambarnya, tapi nilainya sama.
Begitu juga dengan nikmat dan musibah yang mendatangi kita. Jika memandangnya sebagai ketunggalan, semuanya adalah kehadiran Allah. Ketika musibah yang tersaji, kita memandang Allah yang Jalal (Mahaperkasa), dan ketika nikmat yang berkunjung, maka kita melihat Allah Yang Jamal (Yang Mahaindah).
Seorang pecinta sejati tak lagi melihat apa yang terjadi, tapi siapa yang hadir. Selagi yang ditemui adalah kehadiran kekasih, maka dalam kenyataan apapun tetap terasa sebagai hari raya. Bukankah setiap orang ingin berjumpa dengan kekasih? Setiap jiwa yang merindu, pasti ingin berjumpa dengan Allah. Dan Allah hadir dalam setiap kenyataan yang kita temui.
0 comments