Isra’ Mikraj Sebuah Peristiwa Agung
02 February 2024
Sebelum
menyingkap rahasia Isra’ Mikraj secara gamblang, perlu kiranya kita menyimak
terlebih dahulu peristiwa-peristiwa getir yang dialami Nabi Muhammad Saw
sebelum peristiwa agung itu terjadi.
Tiga
tahun lamanya beliau, sahabat, juga merembet pada Bani Hasyim harus menerima
boikot dari tokoh kafir Quraisy. Kaum muslimin tidak memeroleh pasokan makanan
sedikit pun. Jika mau beli, orang kafir mendadak menaikkan dengan harga
selangit, sehingga kaum muslimin tidak sanggup membelinya. Tak ayal, Rasulullah
Saw dengan sahabat terpaksa mengunyah kulit pohon dan dedaunan. Sebuah
kenyataan pahit yang tak bisa dibayangkan.
Setelah
peristiwa itu berlalu, disusul kemudian dengan wafatnya dua orang yang beliau
cintai, yakni istri beliau -Sayyidah Khadijah Al-Kubro r.ah dan pamanda beliau
-Abu Thalib. Kematian diantara beliau berdua hanya terpaut satu bulan lima
hari. Beliau harus kehilangan dua orang yang sangat banyak memberikan support
pada keberlangsungan dakwah beliau.
Sayyidah
Khadijah r.ah, jelas sekali kontribusinya. Bagaimana beliau telah mengucurkan seluruh
kekayaannya, juga mengerahkan segenap tenaganya demi keberlangsungan dakwah
Nabi Muhammad Saw. Bahkan, ketika beliau sudah tidak punya apa-apa, dan
mendekati ajalnya, beliau berpesan, “Jika Nabi Muhammad Saw masih membutuhkanku
setelah kematianku, ambillah tulang belulangku, kemudian rakitlah menjadi
perahu untuk mengantarkan dakwah beliau hingga tiba di pelabuhan terakhir”. Sebuah
pesan terakhir yang sangat mengharukan.
Beliau
hadir dengan mendukung total untuk Rasulullah Saw. Dari sebelumnya beliau
menjadi sosok kaya raya yang sangat diperhitungkan, hingga kemudian mengorbankan
semunya untuk dakwah Nabi. Beliau tak meninggalkan apa-apa.
Abu
Thalib, paman beliau yang ikut menjaga dan mendidik beliau sewaktu kecil hingga
remaja. Bahkan beliau telah menggunakan pengaruhnya untuk terus membentengi
Nabi Muhammad Saw dari ancaman dedengkot kafir Quraisy. Iya, orang kafir
berhitung berkali-kali untuk mengganggu Nabi Muhammad selagi Abu Thalib berada
di samping keponakannya tersebut. Ketika beliau wafat, tentu menjadi pukulan
keras bagi Nabi. Sudah tak ada lagi orang yang melindungi beliau. Karena itu,
tahun itu disebut dengan tahun duka cita (amul hazn). Disebut tahun duka
cita bukan berarti Nabi tidak ridha ditinggalkan mereka berdua. Beliau sedih,
karena ruang dakwahnya semakin sempit.
Pasca
wafatnya kedua tokoh tersebut, kafir Quraisy semakin beringas mengganggu Nabi
Muhammad. Di suatu kesempatan, ketika beliau sedang mendirikan shalat,
tiba-tiba datang Uqbah membawa tali dan melilitkannya ke leher manusia mulia
tersebut, kemudian menariknya, sehingga Abu Bakar r.a datang menyelamatkan Nabi
Muhammad Saw. Begitulah gambaran sebagian kekejaman yang ditunjukkan orang
kafir Quraisy pada Nabi terakhir ini. Di lain kesempatan, beliau sedang
mendirikan shalat, tiba-tiba datang seorang utusan dari kafir Quraisy
mengguyurkan kotoran jeroan onta ke tubuh Rasulullah Saw. Sebuah perbuatan yang
sungguh tidak beradab.
Dengan
terus didera gangguan demi gangguan, Nabi meninggalkan Mekah menuju Thaif.
Disana beliau berharap memperoleh sambutan hangat dengan mengunjungi tokoh Bani
Thaif. Alih-alih beliau mendapat sambutan hangat, beliau malah diusir, dan
bahkan dilempari batu. Kalau kita yang
mengalami, sungguh kenyataan itu sangat menyakitkan.
Beliau
adalah sosok yang sangat dimuliakan oleh Allah, tapi mereka memperlakukan Nabi
dengan sangat tidak terhormat. Di kala itu beliau berdoa pada Allah. Dalam
munajatnya yang panjang, terkutip sebuah kata yang sangat mengharukan, “Jika
Engkau tidak marah (ridha) padaku, maka aku tidak peduli”. Beliau tidak lagi
memandang apa yang diperbuat manusia. Yang beliau pandang adalah Allah. Asalkan
Allah ridha, makian dan perlakuan manusia bukanlah hal yang perlu
dipermasalahkan. Sama sekali tak merenggut kebahagiaan yang bersemayam di hati
Nabi.
Disusul
sikap beliau yang lebih dahsyat lagi. Di kala beliau ditawari oleh Malaikat
penjaga gunung untuk menimpukkan dua gunung—yang mengapit Bani Thaif—ke penduduknya,
Rasulullah Saw justru menolak dengan tegas, sembari beliau mengatakan, “Bahkan
saya berharap dari sulbi mereka akan lahir orang-orang yang menyembah Allah dan
tidak menyekutukan-Nya dengan segala sesuatu”.
Dari satu momen, beliau menunjukkan betapa cinta beliau pada Allah yang begitu agung, dan kasih sayangnya pada sesama yang begitu luas.
Terjadinya
Perstiwa Isra’ Mikraj
Setelah
kejadian di Bani Thaif, Rasulullah Saw bersama Zaid bin Haritsah kembali ke
Mekah. Beliau rehat sekaligus bersimpuh di pelataran ka’bah hingga beliau
tertidur. Ketika bangun, di sampingnya ada Jibril a.s yang membawanya pada
sebuah perjalanan yang sangat menakjubkan. Sebuah perjalanan dari Masjidil
Haram ke Masjidil Aqsha. Setibanya di Masjidil Haram, beliau mendirikan shalat
dua rakaat. Menjadi imam dari seluruh Nabi. Seusai shalat, beliau disuguhi arak
dan susu. Dan beliau memilih susu. Sebagai cerminan bahwa agama Islam selaras
dengan fitrah.
Kemudian
beliau—dengan dipandu Malaikat Jibril a.s—naik melintasi langit demi langit
hingga ke sidratul muntaha. Di setiap langit beliau berpapasan dengan Nabi
sebelum beliau. Di langit pertama, beliau bertemu dengan Nabi Adam a.s. Di langit
kedua, beliau berjumpa dengan Nabi Yahya dan Nabi Isa a.s. Di langit ketiga,
beliau bersua dengan Nabi Yusuf a.s. Di langit keempat, beliau menyapa Nabi
Idris a.s. Di langit kelima, beliau bertemu dengan Nabi Harun a.s. Di langit
keenam, beliau bertemu dengan Nabi Musa a.s. Di langit ketujuh, beliau menyapa
Nabi Ibrahim a.s, kemudian beliau diangkat ke Sidratul Muntaha.
Ketika menembus Sidratul Muntaha, Jibril a.s sudah tak bisa mengikuti Nabi Muhammad Saw. Di Sidratil Muntaha, beliau melihat ayat yang agung. Sebuah perjumpaan dengan Allah. Sebuah perjumpaan yang tak sanggup dilukiskan dengan logika manusia yang menunjukkan betapa tingginya kedudukan Nabi Muhammad Saw di sisi Allah.
Memetik
Hikmah
Isra’
Mikraj memuat hikmah sangat agung yang tentu memukau bagi jiwa bila kita mau
merenungkannya. Pertama, sebelum peristiwa Isra’ Mikraj,
Rasulullah Saw ditempa bermacam ujian dari Allah : mengalami boikot, ditinggal
dua orang yang dicintainya, mendapatkan gangguan yang sadis dari orang kafir
Quraisy, dan terakhir diusir hingga dilempari batu oleh Bani Thaif. Setelah
itu, baru peristiwa Isra’ Mikraj terjadi.
Kita
perlu memahami bahwa setiap kesulitan selalu membuka kemudahan. Kemudahan yang
banyak. Karena itu, ketika kesulitan datang menyambar bertubi-tubi, jangan
pernah ciut dan berkurang harapan pada Allah. Kelak, Allah akan memberikan
kejutan di luar dugaan pikiran. Dan hanya orang-orang besar yang diterpa ujian
yang besar pula. Nabi Muhammad Saw adalah sosok yang telah ditempa ujian yang
sangat dahsyat, dan beliau sabar.
Dari
situ, kita bisa memahami pesan dari sabda Nabi Muhammad Saw, “Shalatlah kalian
sebagaimana saya shalat”. Dibalik itu beliau juga berpesan, “Bersabarlah kalian
sebagaimana saya bersabar”. Karenanya, sabar dan shalat tak bisa dipisahkan
untuk menggapai pertolongan dari Allah. Bersabarlah ala Nabi. Meski telah
dihantam oleh bermacam ujian, beliau tetap teguh seperti karang. Makin kuat
hantamannya, makin menguat pula mental beliau. Dan tidak ada kunci meraih
pertolongan Allah yang tokcer melebihi sabar dan shalat, sebagaimana Allah
berfirman :
“Wahai
orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah
[2]: 153)
Kedua, lepaskan kebersandaran pada selain Allah. Fokus tawakkal pada Allah. Isra’ Mikraj adalah mukjizat terbesar yang ditunjukkan pada Nabi Muhammad Saw. Allah bisa mendemonstrasikan peristiwa yang tak terjangkau logika. Agar apa? Agar Rasulullah hanya meletakkan ketergantungan pada Allah semata. Tidak pada yang lain. Kalau bersandar pada sosok yang dicintai—misalnya—mereka akan meninggalkan kita satu per satu.
Berharap pada manusia, seperti terselipnya
harapan Rasulullah Saw pada Bani Thaif, seringkali yang kita temui adalah rasa
kecewa. Tak sesuai dengan ekspektasi yang menjulang di hati. Akan tetapi,
ketika bersandar pada Allah, maka manusia akan dibawa pada jalur qudratullah.
Sebuah kuasa Allah tak terbatas, mengantarkan manusia pada kebahagiaan yang juga
tak terbatas.
Jika
Anda ingin menyaksikan keajaiban Allah Swt dalam hidup Anda, maka tegakkan
shalat dengan sungguh-sungguh. Tambatkan harapan hanya pada Allah. Yakinlah,
Allah selalu mewariskan kepuasan bagi hati Anda.
Ketiga,
kunci utama kebahagiaan adalah shalat. Selagi Anda terhubung dengan Allah,
kebahagiaan selalu mengaliri hati Anda. Sebaliknya, orang yang tidak pernah
menyambungkan hati pada Allah lewat shalat, jangan pernah berharap bisa
mendulang kebahagiaan. Karena kebahagiaan tidak bisa kita akses dari selain
Allah. Semakin kuat hubungan Anda dengan Allah, makin besar pula kebahagiaan
yang memenuhi hati.
“Kemudian
datanglah setelah mereka, pengganti yang mengabaikan shalat dan mengikuti
keinginannya, maka mereka kelak akan tersesat”. (QS. Maryam [19]: 59).
Jika
orang menyia-nyiakan shalat, apalagi meninggalkan shalat, maka dia akan semakin
terpengaruh oleh hawa nafsu. Sementara tidak ada energi yang memancar dari hawa
nafsu kecuali keburukan. Ia menyetir manusia pada ketersesatan. Jika sudah
tersesat, maka manusia cenderung akan mengalami kebinasaan.
Sebaliknya,
orang yang bersungguh-sungguh menjaga shalat, Allah akan menjaga hatinya.
Hidupnya akan terpandu. Terarah menuju kebaikan pada kebaikan selanjutnya. Hanya
dengan adanya cahaya, kita bisa berjalan menuju tujuan. Dan cahaya hati terasa
hadir ketika kita mengingat Allah. Dibuktikan dengan perasaan tenang yang
menyelimuti hati. Kebahagiaan hanya diperoleh dengan shalat. Shalat yang
dialiri dengan spirit khusyuk.
“Sungguh
beruntung orang-orang beriman. (yaitu) orang yang khusyuk di dalam shalatnya”.
(QS. Al-Mukminun [23]: 1-2).
0 comments