Shalat Daim, Shalat Bahagia
09 February 2024
Shalat merupakan
sarana penghubung antara kita dengan Allah. Tentu saja, ketika shalat itu
mengandung zikir. Zikir tidak hanya dalam artian menyebut, tapi juga mengingat
Allah. Sadar akan kehadiran Allah. Kita tak pernah putus—hubungannya—dengan
Allah sampai kapanpun, dan di manapun. Hanya kita yang sering memutus hubungan
dengan Allah. Bayangkan, setiap saat Allah punya kehendak terhadap kita.
Berarti, Dia selalu memerhatikan kita setiap detik. Adakah dari makhluk yang
selalu memperhatikan kita setiap detik, hatta orang yang katanya begitu
mencintai kita? Belum tentu ada.
Bayangkan, tanpa cinta Allah, kita tidak akan menjelma dari ketiadaan. Tanpa diiringi cinta-Nya, kita tak bisa melangsungkan kehidupan ini. Sejatinya kebutuhan kita kepada Allah melebihi kebutuhan kita terhadap oksigen. Tapi kita seringkali tidak menyadarinya, meski oksigen itu sangat penting bagi kelangsungan hidup kita.
Karena kita sering memperoleh saluran oksigen, kita menganggap biasa,
bahkan seolah tidak butuh. Baru setelah kita mengalami sesak nafas, kita merasa
butuh terhadap oksigen. Begitulah, saking terangnya cahaya, kita tak menganggap
cahaya itu ada, bahkan yang ditampakkan oleh cahaya yang justru terlihat oleh
kita. Kita mungkin baru akan memandang cahaya itu penting di saat kita
terkurung dalam sebuah ruangan yang gelap gulita.
Ketika orang telah meraih shalat syariat, shalat tarekat, maka dia akan dibawa untuk merasakan shalat hakikat. Bagaimana tanda orang telah tiba pada shalat hakikat? Dia akan selalu nyambung dengan Allah dalam setiap keadaan. Dia menyadari bahwa Allah selalu mengalir dan hadir dalam hidup kita. Shalat hakikat ini disebut juga shalat Wustho, atau shalat Daim.
Mengapa disebut shalat Wustho? Wustho
artinya tengah-tengah. Tengahnya waktu dan tengahnya ruang. Waktu terbagi tiga,
yakni masa lalu, masa depan, dan masa kini. Dan kini adalah tengahnya waktu.
Adapun ruang mengandung depan, belakang, kanan, kiri. Adapun tengahnya ruang
adalah disini. Disebut Wushto karena berada di pusatnya ruang dan waktu.
Disebut shalat Daim, karena kini yang terus berjalan.
Dengan Ridha,
Shalat Daim Didirikan
Kita bisa
menjalankan shalat Daim (shalat terus-menerus) ketika kita ridha atau
menerima seutuhnya segala takdir yang mengalir di sungai kehidupan kita. Selagi
seseorang belum menggapai jiwa ridha, maka dia tak bisa mendirikan shalat ini.
Mengapa demikian? Bukankah hanya orang yang ridha, berarti tidak berselisih
dengan Allah, terhubung dengan Allah? Seorang merasakan shalat Daim selalu
sekemaun dengan Allah, selalu ridha dengan ketetapan Allah, dan menikmati
segala realitas yang menyambarnya.
Shalat Daim didirikan di antara tarikan dan hembusan nafas. Di antara tarikan dan hembusan nafas itu mengalir zikir pada Allah. Memang, sejatinya kalau kehidupan ini diringkas adalah masuk dan keluar, menarik dan melepas, pulang dan pergi. Sebagai penggambaran, yakni antara malam dan siang.
Bayangkan, dikala malam
telah merayap, gelap sudah menyelimuti ruang, maka burung kembali ke sarangnya,
manusia kembali ke rumahnya, dan hewan yang lain ke tempat tinggal atau
kandangnya masing-masing. Dikala fajar pagi memancar, maka manusia keluar dari
rumahnya untuk mencari nafkah. Petani pergi ke sawah, pegawai negeri beranjak
ke kantor, pelajar bergerak menuju ke sekolah. Begitu juga burung, keluar dari
sarangnya ketika matahari pagi memancar.
Begitulah kehidupan manusia tercakup dalam malam dan siang. Disederhanakan lewat tarikan dan hembusan nafas. Ingatlah, tarikan dan hembusan nafas inilah yang membuat kehidupan fisik terus berlangsung. Bahkan penghubung antara raga dan ruh adalah nafas (tali jiwa). Adapun yang menghubungkan ruh dengan Allah adalah zikir. Melalui shalat Daim, kita dipandu bagaimana mengalirkan zikir dalam nafas, dan bernafas dalam zikir. Dengan demikian, yang diperoleh tidak hanya kehidupan fisik, tapi juga menyerap kehidupan ruhani.
Ketika kehidupan ruhani telah
tumbuh dalam diri kita, tentu saja yang akan kita reguk adalah perasaan damai.
Tak lagi diterpa keluh kesah. Tidak mengeluh ketika diterpa musibah, dan tidak
kesah (merasa kurang) ketika memeroleh nikmat. Hidupnya dipenuhi dengan rasa
ridha yang mendalam. Semakin kesini merasa jiwanya makin rekat dengan Allah.
Tak lagi timbul perselisihan diantara dirinya dengan Allah.
Tentu saja bukan hanya dialiri kalimat zikir, perlu juga disertai sebuah penghayatan agar zikir tidak hanya mengeluarkan virus yang bersarang di badan kita, tapi juga mengeluarkan virus batin yang bersarang di hati kita. Sesekali kau fokus pada tarikan dan hembusan nafas itu. Lalu, dikala kau menarik nafas, sertailah dengan penghayatan kalimat yaa, dan bersamaan dengan hembusan nafas keluarkan kalimat huwa.
Dikala kau menarik nafas dengan menyertai yaa,
tanpa diucapkan, kau sadari sedang mengungkapkan Wahai Yang Maha Terpuji.
Ketika menghembuskan nafas, bersamaan dengan itu melontarkan kalimat huwa,
sertakan kesadaran hamba berserah diri. Sehingga penghayatan yang
mengalir di antara tarikan dan hembusan nafas adalah “Wahai Yang Maha Terpuji,
hamba berserah diri”.
Jika tarikan
dan hembusan nafas kita dialiri zikir semacam itu, tentu saja kita akan menarik
sifat-sifat baik—yang terpuji, kemudian kita akan mengeluarkan segala
sifat-sifat negatif. Tentu saja berpuncak pada penyerahan diri pada Allah. Dengan
semangat seperti itu, hati takkan lagi tersentuh penderitaan. Yang selalu
menyala hanya kebahagiaan saja.
Benar ketika
orang shalat Daim, seseorang akan terbebas dari keluh-kesah. Berarti akan
berada di zona bahagia.
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila ditimpa kesusahan, dia berkeluh kesah. Dan apabila dia mendapatkan kebaikan, dia jadi kikir. Kecuali orang-orang yang mendirikan shalat. Yang mereka tetap setia mendirikan shalat”.
0 comments