-->

Ramadhan Mengantarkan pada Kebahagiaan

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Ramadhan Mengantarkan pada Kebahagiaan

23 March 2024

Ramadhan Mengantarkan pada Kebahagiaan

23 March 2024


 

Saya selalu meyakini bahkan mengendap jadi kesadaran bahwa agama dibentangkan, para Rasul diutus, agama diturunkan adalah sama sekali bukan untuk memenuhi kepentingan Allah. Karena Maha Sempurna, Dia tidak lebih mulia oleh karena seluruh hamba-Nya taat pada-Nya. Kekuasaan-Nya pun tidak akan berkurang oleh karena pembangkangan yang dilakukan hamba-Nya. Akan tetapi, agama dihadirkan sebagai bentuk kepentingan manusia agar bisa meraih inti dari tujuan hidupnya, alias bahagia.

Demikian juga, dengan puasa Ramadhan yang diwajibkan bagi kita, sejatinya bertujuan agar orang beriman bisa melesat menuju istana kebahagiaan yang sebenarnya. Bahkan Ramadhan—jika menghasilkan ketakwaan—akan bisa menarik surga sekarang dan di sini. Tak perlu menunggu di akhirat. Bukankah Allah sendiri telah mengungkapkan bahwa orang yang dimasuki rasa takut dalam hatinya pada Allah, akan disuguhi dua surga. Surga di dunia juga surga di akhirat. Sebelum memasuki negeri akhirat, dia telah mereguk aroma surgawi, bahkan menyesap esensi dari surga. Kebahagiaan. Sebuah keadaan batin yang tak digambarkan.

وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ جَنَّتَانِ

Lantas, bagaimana Ramadhan memandu manusia agar meraih surga sekarang. Sejatinya surga tidak berada di luar kita. Akan tetapi, telah build in dalam diri kita. Tinggal kita menyingkap tutupnya, maka kita akan merasakan surga terbentang di locus batin kita.  Dan ketika orang telah berhasil menemukan “area” surga dalam dirinya, maka segala perkara yang tergelar di luar dirinya selalu menguatkan kebahagiaan di hatinya. Kebahagiaan ternyata diperoleh oleh kecakapan kita mengendalikan hawa (keinginan) yang menempel di jiwa. Ketika orang berhasil mengendalikan keinginan, maka surga akan memancar dari dirinya.

Puasa Ramadhan melatih kita untuk mengendalikan keinginan. Mungkin hawa nafsu kita ingin makan dengan porsi yang banyak. Bukan hanya makan sedikit, tapi sepanjang hari kita tak diperbolehkan makan. Mengendalikan hawa nafsu dengan melakukan sebaliknya. Hawa nafsu condong membuat orang pengin tidur, maka kendalikan tidur. Dengan apa? Shalat tarawih, tadarus, shalat malam, bersahur, dan dipungkasi dengan pembacaan istighfar. 

Hawa nafsu condong mau berbicara. Bisa nongkrong di warung kopi berlama-lama. Dengan pesan satu cangkir kopi sudah jadi modal untuk bisa nyangkruk berjam-jam. Dan tak pernah kekurangan tema untuk dibicarakan. Meski jauh dari kriteria sebuah pembicaraan yang menambah ilmu. Malah menambah pikiran jadi kusut. Hawa nafsu pengin bergaul berlama-lama. Tidak betah sendirian. Maka, kita berjuang untuk menyendiri, mendengarkan suara yang merambat dari hati nurani kita.

Ketika seseorang bisa mengendalikan keinginan, maka Allah menyingkap surga dari dalam hatinya.

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفْسَ عَنِ ٱلْهَوَىٰ فَإِنَّ ٱلْجَنَّةَ هِىَ ٱلْمَأْوَىٰ

Ayat ini menyadarkan kita bahwa kebahagiaan sangat bergantung pada kemampuan kita mengendalikan keinginan, bukan dengan memenuhi keinginan. Tentu berbeda dengan konsep kebahagiaan ala barat. Kebahagiaan, bagi mereka, adalah ketika bisa memenuhi keinginan.


لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ فِى ٱلْبِلَٰدِ مَتَٰعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَىٰهُمْ جَهَنَّمُ ۚ وَبِئْسَ ٱلْمِهَادُ

Orang kafir berfokus pada pencapaian keinginan. Karena bagi mereka, kebahagiaan sangat bergantung pada terpenuhi keinginan. Padahal ketika manusia berjuang memenuhi keinginan, seperti orang yang sedang mengejar bayangan. Kebahagiaan selalu berjarak dengannya. Bukankah keinginan akan terus tumbuh. Tidak pernah berhenti. Maka satu keinginan terpenuhi, lalu tiba-tiba menyeruak keinginan lainnya yang mungkin saja volumenya lebih besar. Ketika keinginan itu sangat tinggi, apalagi tidak bisa terpenuhi maka kebahagiaan tak lagi terasa sederhana. Bahkan terasa sangat complicated.

Tak aneh, jika banyak orang barat di tengah kekayaan yang menumpuk, ketenaran yang menjulang tinggi, bahkan segala kehidupan dunia telah dia peroleh, lalu harus mengakhiri hidupnya dengan sangat tragis. Bunuh diri. Mengapa? Mungkin saja, karena ada keinginan yang belum terpenuhi. Dia terus tersiksa tersebab tak terpenuhi keinginan tersebut. Orang berjuang memenuhi keinginan seperti orang yang sedang kehausan, lalu dia mereguk air laut. Alih-alih tenggorokannya lega, hausnya hilang. Malah bertambah haus.

Karena itu, keinginan seperti anak kecil. Dengan dipenuhi, tuntutannya kian meningkat. Bahkan apa yang dulu pernah dia minta sampai nangis-nangis bahkan jerit-jerit, ketika sudah dipenuhi, justru dia senang. Hanya sementara waktu saja. Karena lewat sehari dia menikmati  barang yang dimintanya, dia membiarkan barang itu tergeletak dan berserakan di lantai. Seolah tidak dia kenali. Dia kemudian kembali minta mainan yang lebih menarik. Terus saja begitu.

Benar jika disebutkan nafsu seperti anak kecil. Kita juga, mungkin, begitu. Bagaimana dahulu menghendak sesuatu. Membayangkan, ketika bisa meraih sesuatu tersebut, bahagia pasti akan membanjiri jiwa. Tapi, nyatanya ketika yang diinginkan sudah di genggaman, kebahagiaan tidak semakin meningkat. Malah menyusut, karena kita dihadang oleh keinginan yang lebih besar. 

Di antara kita mungkin pernah berujar, “Aku baru bahagia jika saya sudah menikah, saya bahagia kalau saya sudah punya rumah, punya mobil, dan memiliki aset di mana-mana.” Kita telah membentuk sebuah konsep bahwa kebahagiaan ada di luar. Persepsi ini sama sekali salah. Akan tetapi, kebahagiaan sangat bergantung sikap yang tumbuh di dalam. Dari kemampuan mengendalikan keinginan.

Jika kebahagiaan kita sangat bergantung pada kelihaian kita mengendalikan hawa nafsu, maka kita harus mengenali terlebih jenis nafsu yang bercokol di medan hati kita. Banyak sekali jenis nafsu yang menggerogoti kita, bahkan melumpuhkan jiwa kita. Dari sekian banyak hawa nafsu itu lalu diringkas menjadi empat. Yakni nafsu syaithaniyah, nafsu bahimiyah, nafsu sabu’iyah, dan nafsu rububiyah. Empat jenis nafsu tersebut, lalu diringkas lagi menjadi dua, yakni nafsu syahwat dan nafsu wadhab.

Tentu Anda perlu memahami tentang perangai kedua nafsu tersebut.

Pertama Nafsu Syahwat. Ia cenderung menuntut dan menuntut. Meski yang dituntut telah dipenuhi, dia akan meminta lagi dengan volume yang lebih besar. Dia, misalnya, menuntut satu. Lantas satu itu dia dapatkan, maka permintaan meningkat menjadi dua, tiga, hingga tak terbatas. Artinya, dengan dipenuhi tuntutannya, keinginannya semakin melonjak. Kondisi nafsu yang terus menuntut tentu saja bukan bertambah bahagia. Tapi, makin terperosok dalam penderitaan. 

Dari sini, kita bisa memahami, mengapa orang yang telah kaya raya, memiliki penderitaan yang lebih dalam, dan  luka yang lebih perih daripada orang miskin? Karena dia memiliki tuntutan hidup yang lebih besar. Bahkan kadang sulit untuk direalisasikan. Semula menghendaki menikah, punya pasangan. Setelah punya pasangan, dia menghendaki kekayaan, setelah kekayaan diperoleh menghendaki kekuasaan. Setelah kekuasaan dia pengin berkuasa lagi. Intinya, keinginan tak bisa dipuaskan. Kecuali hanya bersifat sementara.


Lantas, bagaimana cara mengendalikan nafsu syahwat? Dengan melakukan sebaliknya. Kalau nafsu syahwat cenderung meminta dan meminta, maka kita counter dengan memberi dan terus memberi. Pada mulanya, memberi itu terasa sulit dilakukan. Karena nafsu memang condong hanya mendapatkan, menumpuk, dan mengonsentrasikan. Karena kita terus memaksa dan membiasakan memberi, maka pelan-pelan kecondongan nafsu yang menuntut tersebut mulai berkurang. 

Kebiasaan memberi, akan terus memupuk kebahagiaan di jiwa. Dari situ, Anda akan mengerti bahwa kebahagiaan tidak terkait dengan berapa besar yang kau dapatkan. Akan tetapi, sangat terkait seberapa besar yang kau lepaskan dan berikan. Kemuliaan seseorang, kata guru mulia, tidak diukur oleh seberapa besar yang dia dapatkan dan kumpulkan. Tapi diukur seberapa besar yang dia berikan dan lepaskan.

Dikala Anda sering memberi, Anda akan merasakan manfaat memberi pada bertumbuhnya kebahagiaan di hati Anda. Dia seperti pupuk yang terus-menerus membuat kebahagiaan bertumbuh. Kalau kita terus menahan memberi, apalagi menuntut tanpa henti justru menyempit dada. Kita tahu memberi kebutuhan diri kita, pembentuk kebahagiaan kita sendiri.

Kedua, Nafsu Wadhab. Nafsu wadhab cenderung menyemburkan kemarahan pada siapa yang tidak disukai, atau kemudian memendam perasaan benci yang terus bergolak, dan bahkan mengendap menjadi dendam. Ketika nafsu wadhab sedang menyerang Anda, Anda berhenti dan merenung, untuk apa harus merah, lalu kemudian kendalikan. Ketika dorongan marah itu muncul, langkah pertama yang dilakukan adalah tidak marah, meski logika menyodorkan pembenaran layak untuk marah. Karena ketika nafsu marah dilayani, kemarahan semakin membesar. Seperti sepercik api, terus menjalar dan merambat ke beberapa titik kemudian menjelma menjadi besar. Melalap rumah, bahkan menyambar bangunan yang lebih besar. 

Kalau Anda membiarkan kemarahan itu disemburkan, justru mendatangkan bahaya yang lebih besar. Tapi, ketika percikan itu hendak tersembur, lalu Anda menahan agar tidak merambat keluar, maka kemarahan itu menjadi padam. Menahan marah memang sulit, tapi lebih sulit lagi memadamkan kemarahan yang sudah berkobar. Ketika orang menahan marah, dialah orang yang kuat. Sementara orang yang mudah sekali menyemburkan kemarahan, sejatinya dia orang yang rapuh.

Selain kemarahan, nafsu wadhab menjelma menjadi kebencian. Kadang merasa berat untuk memaafkan orang lain. Ketika kebencian melanda Anda, maka paksalah untuk memaafkan kesalahan orang tersebut. Kalau dada lapang memaafkan, maka Anda akan merasakan kebahagiaan mekar dari jiwa Anda. Seperti orang yang berada di tengah terik matahari yang begitu menyengat, lalu kemudian dia berada di ruang yang ber-AC. Dia sangatlah bahagia dan merasa nyaman. Kalau Anda sudah memaafkan kesalahan orang lain, maka Anda telah meraih kebahagiaan.

Bukan hanya memaafkan pada orang yang berbuat jahat, tapi orang yang benar-benar telah menunduk nafsunya, dia juga berbuat baik pada orang yang berbuat jahat. Inilah orang muhsin, dia telah meletakkan nafsu di bawah kakinya. Pada orang yang berbuat jahat, dia tak hanya memaafkan (meruntuhkan nafsu wadhab), bahkan dia berbuat baik pada orang yang berbuat jahat (mengikis nafsu syahwat).

Ketika orang telah terbebas dari nafsu syahwat dan nafsu wadhab, maka kebahagiaan akan selalu dia rasakan. Surga tidak lagi jauh. Dekat dengannya. Berupa surga kebahagiaan.

BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang