Layanilah Allah, Kau Pun Dilayani
17 May 2024
Hidup adalah
sebuah medan pelayanan tak bertepi. Pelayanan terbebas dari kepentingan yang
bersifat transaksional. Bebas dari pamrih. Bahkan, seseorang merasa mereguk
kenikmatan tersendiri ketika bisa melayani. Apalagi bisa melayani Allah,
melalui ibadah-ibadah yang didirikan atau dari pelayanan sosial yang
disebarkan, maka dia merasa mendapatkan kehormatan dari Allah.
Bayangkan, orang desa yang tidak terpandang, sekaligus bukan siapa-siapa. Dia merantau ke kota, disana dia berjumpa dengan seorang ibu pejabat. Bermula dari ketertarikan terhadap perangai dan sikapnya, ibu pejabat tersebut mengajaknya untuk bekerja sebagai pelayan di rumahnya. Tentu saja, dia begitu terkesiap, sekaligus terkejut, sekaligus bahagia. Sebentar lagi dia akan bekerja. Bukan hanya itu, ternyata dia melayani keluarga seorang pejabat yang berpengaruh di negeri ini.
Bagaimana sikapnya setelah mengetahui bahwa dirinya bekerja menjadi pelayanan
seorang pejabat yang disegani di negeri ini? Tentu saja dia diliputi perasaan
girang tak kesudahan. Dia mungkin tak melihat berupa rupiah yang bisa
didapatkan setiap bulannya. Bekerja sekaligus melayani keluarga tersebut sudah
menjadi sebuah kehormatan bahkan kebanggaan tersendiri.
Melayani
orang yang punya kedudukan tinggi secara duniawi saja, kita sangat bergembira.
Bagaimana jika kita bukan melayani orang, tapi melayani Allah? Tentu saja
kegembiraan menguar memenuhi jiwa kita. Ketika melayani Allah tanpa diselipi
pamrih sama sekali, bahkan berterima kasih telah dibukakan peluang untuk
melayani Allah, tentu saja akan terus mengalami peningkatan deposito
kebahagiaan. Tentu saja melayani Allah tidak hanya bersifat langsung (directly),
namun ada juga yang bersifat tidak langsung (indirectly) dalam bentuk
melayani makhluk.
Dikala
kita melayani makhluk karena Allah, maka kita akan menarik begitu banyak
kebahagiaan dalam hidup kita. Ketika orang melayani makhluk, sejatinya ia juga melayani
Allah. Setidaknya ketika meminta layanan dari kita, kita akan tergerak meminta
pertolongan dari Allah Swt, agar kita mewariskan rasa bahagia di hati orang
lain. Allah tidak akan pernah angkat tangan menolong orang yang tekun menolong
saudaranya.
Saya masih
terkesima dengan sebuah kisah yang dibabar guru mulia. Suatu saat ada seorang
penjual tape keliling mengitari kampung untuk menjajakan jualannya. Di tengah
terik matahari yang menyengat, si penjual tape ini berteduh di bawah pohon yang
rimbun. Tiba-tiba kucing mendekatinya. Tampaknya kucing itu kelaparan. Maka
tanpa banyak mikir, penjual tape itu mengeluarkan bungkusan makanan, dan
memberikannya ke kucing. Kucing tersebut makan sangat lahap. Sampai kenyang.
Tidak berhenti disitu, kucing itu dibawa ke rumahnya. Dirawat, dipelihara, dan diberi makan. Dari awalnya berbadan kurus, kucing itu kemudian menggemuk. Ternyata kucing tersebut dicari-cari pemiliknya. Pemiliknya seorang kepala desa. Kepala desa memberitahukan pada seluruh warga tentang kucingnya yang hilang. Hingga informasi itu terdengar di telinga penjual tape. Dia pun bergegas membawa ke kepala desa. Setibanya di balai desa, dia mengembalikan kucing itu dalam keadaan segar bugar. Sehat. Bahkan bertambah gemuk. Tentu saja, kepala desa itu sangat bergembira.
Sebagai tanda terima kasihnya pada penjual tape yang
bersedia merawat kucing itu berhari-hari, maka kepala desa memberikan hadiah
yang berlimpah. Tentu saja bahagia menyelinap di hati penjual tape itu. Dia
bahagia bukan karena mendapatkan hadiah dari kepala desa, tapi telah
diperkenankan merawat kucing kesayangan kepala desa.
Bagaimana
kalau Anda melayani makhluk Allah karena Allah? Maka Anda akan mendapatkan
pelayanan terbaik dari Allah Swt. Karena itu Allah berfirman kepada dunia : “Wahai
Dunia, layanilah orang yang melayani-Ku, dan jangan kau layani orang yang
melayanimu, dan buatlah dia lelah”.
Ada lagi sebuah kisah menarik, bagaimana suatu saat seseorang menghampiri Nabi Musa a.s. Bahwa dia akan mengadakan hajatan besar-besaran. Dia mengungkapkan keinginannya untuk mengundang Allah. “Apakah Tuhanmu kiranya bisa hadir ke dalam pestaku?”, tanyanya kepada Nabi Musa a.s. Tentu Nabi Musa sedikit jengkel, bagaimana mungkin Allah bisa diundang di pesta. Akan tetapi, kemudian Allah mengkonfirmasi pada Nabi Musa a.s bahwa Dia siap menghadiri pesta tersebut.
Disampaikanlah kabar ini pada tuan rumah. Tentu saja si tuan rumah sangat
bergembira mendengar kabar tersebut. Dia bersemangat menyiapkan resepsi
penyambutan Tuhan ke rumahnya. Di waktu yang telah ditetapkan, tuan rumah dan
warga menunggu kunjungan Tuhan.
Sampai
pada waktu yang ditentukan, datanglah sosok orang tua meminta makanan pada
mereka. Akan tetapi, mereka menolak memberi makanan. Bahkan, disuruh nunggu
sampai Tuhan tiba. Sampai hari itu berlalu, Tuhan yang ditunggunya tidak juga
tiba di tempat itu. Mereka semua kecewa. Rasa kecewa dimuntahkan pada Nabi Musa
a.s. Sang kalimullah tidak bisa memberikan informasi terpercaya, mengapa Tuhan
tidak hadir. Sehingga Nabi Musa a.s kembali berdialog dengan Allah, bertanya
mengapa Allah tidak hadir. “Wahai Musa, Aku telah hadir dalam pesta itu. Dengan
datangnya orang tua yang meminta makanan. Tapi, mereka tidak memberinya”.
Dari kisah
tersebut, menggambarkan pada kita bahwa ketika kita melayani sesama—terutama
orang-orang lemah dan miskin—sejatinya kita sedang melayani Allah. Siapa yang
memanfaatkan waktunya melayani sesama dengan tulus, maka dia akan mendapatkan
pelayanan dari Allah Swt. Tak usah khawatir tentang hidup kita selagi kita
diberi peluang melayani sesama karena Allah. Tanda Anda telah berbuah, Anda
selalu tergerak melayani sesama karena Allah. Itulah potret kekasih Allah.
Insya Allah.
0 comments