Bersyukurlah, Rasakan Jiwa Berlimpah
29 June 2024
Setiap insan mendambakan bahagia. Akan tetapi, sedikit sekali orang yang mengerti tentang bagaimana merengkuh kebahagiaan. Selama ini banyak orang terkurung pada persepsi bahwa kebahagiaan diperoleh dengan terpenuhinya keinginan. Karenanya, mereka terus mengejar keinginan dan obsesi.
Hingga obsesi demi obsesi mereka
capai, tapi kebahagiaan terus mencipta jarak dengan dirinya. Karena satu
keinginan terpenuhi, lalu menyeruak keinginan baru yang jauh lebih besar.
Karena waktunya habis melayani keinginan, mengejar target demi target, mereka
pun tidak memiliki keterampilan menikmati pencapaian yang diperolehnya.
Mendulang nikmat tapi tidak menikmati.
Waktunya terkuras untuk menambang berbagai bentuk nikmat, namun dia tidak bisa menikmati semua nikmat yang diperolehnya. Bayangkan, Anda disuguhi makanan yang super lezat. Sebuah menu yang selama ini pernah tebersit dalam keinginan. Ketika Anda hendak menyantap makanan, tiba-tiba pikiran Anda terbajak oleh keinginan baru di luar makanan itu.
Meski Anda menyantap makanan tersebut, namun Anda gagal
menikmatinya. Karena kesadaran Anda tidak sepenuhnya tertuju pada makanan yang
sedang Anda kunyah. Bahkan kesadaran Anda diserap oleh perkara yang berada di
luar makanan tersebut. Dan yang Anda pikirkan suatu yang besar, dipandang
membutuhkan energi yang lebih besar.
Kalau
Anda menghendaki hidup yang benar-benar terasa hidup, maka harusnya jiwa Anda
pun hidup. Kalau jiwa hidup, Anda akan menikmati segala nikmat yang mengalir di
ruang kehidupan Anda. Apa tandanya jiwa hidup? Senantiasa dihiasi rasa syukur
kepada Allah. Syukur adalah buah nyata dari takbir yang selama ini Anda
kumandangkan. Iya, takbir melahirkan syukur, sementara takabur melahirkan
kufur.
Manusia
Pertama Bersyukur
Ketika
Nabi Adam a.s diciptakan oleh Allah menjadi sebentuk tubuh, lantas Allah
meniupkan ruh-Nya padanya, Dia sadar, lalu bersin. Ketika bersin, dia
mengucapkan alhamdulillah. Tentu saja terbuka kebahagiaan yang menyebar
dalam dirinya. Keadaan itu kita ulangi lagi setiap kali kita bangun dari tidur,
sehingga kalimat pertama yang kita ucapkan adalah alhamdulillah alladzi
ahyaanaa ba’da maa amaatana wailaihinnusur.
Jika
kehidupan manusia diawali dengan alhamdulillah, maka di puncaknya pun
dipungkasi dengan alhamdulillah. Bukankah puncak kembali pada permulaan? Seperti
orang yang bertawaf mengelilingi ka’bah. Dia memulai dari titik hajar aswad
lalu diakhiri di titik sama. Kalau kita mengawali dengan alhamdulillah,
maka akhirnya juga alhamdulillah. Bayangkan, ketika Nabi Adam a.s di
surga memulai ucapannya dengan dengan alhamdulillah, jika kita kelak telah
memasuki surga, maka ekspresi puncaknya juga alhamdulillah.
“Doa
mereka di dalamnya “subhanakallahumma” (Maha Suci Engkau Ya Tuhan kami),
dan salam penghormatan mereka ialah “salam” (salam sejahtera) dan
penutup doa mereka alhamdulillahi robbil ‘alamin (segala puji bagi Allah
Tuhan seluruh alam)”. (QS. Yunus [10]: 10)
Melalui
sekelumit kisah Nabi Adam a.s kita bisa mencuplik sebuah kesimpulan bahwa orang
yang berada dalam kesadaran ruhani yang tinggi, tidak ada yang diucapkan
kecuali alhamdulillah. Andai diantara kita masih terperangkap dalam keluhan,
resistensi dengan takdir, apalagi terseret dalam tubir depresi, menandakan
bahwa jiwa kita belum hidup.
Selagi
orang disertai kehidupan ruhani, jiwanya akan selalu terbawa untuk bersyukur,
dan sering-sering mengucapkan alhamdulillah. Alhamdulillah mengandung
pujian pada Allah sekaligus berzikir. Bahkan menandakan mencapai kehidupan
ruhani yang sangat mulia, ketika jiwa senantiasa dilimpahi rasa syukur. Selagi
orang tidak berzikir dan bersyukur, meski secara fisik dia hidup, namun dia
belum merasakan kehidupan ruhani yang sesungguhnya.
Karena
itu, tak ayal Allah menyeru orang-orang yang hidup secara fisik agar hidup
lagi. Tentu saja disitu yang dimaksud adalah kehidupan ruhani.
“Wahai
orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyeru
kamu pada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu. Dan ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah membatasi manusia dan hatinya, dan sesungguhnya
kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan”. (QS. Al-Anfaal [8]: 24).
Apa tandanya ruhani mengalami kehidupan? Ruhani hidup ditandai dengan kedamaian dan kepuasan batin. Jika Anda hendak meraih damai, maka selalu koneksikan hatimu dengan Allah Swt melalui zikir. Ketika kesadaran terus-menerus terpaut pada Allah, maka rasa damai akan menyertai. Sementara kepuasan batin bisa Anda akses dengan banyak bersyukur kepada Allah.
Karenanya, zikir dan syukur tidak bisa
dipisahkan. Keduanya saling bertaut. Zikir berada dalam perjalanan, sementara
syukur pada di terminal ketersampaian. Agar perjalanan memberi kebahagiaan,
perlu diisi dengan zikir, sehingga segala kecemasan terusir begitu saja. Kalau
sudah sampai, maka maka meluapkan rasa syukur.
“Maka
ingatlahlah kalian kepadaku, niscaya Aku akan mengingat kalian. Dan
bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian kufur”.
Di
kala kita mengingat Allah, maka Allah akan mengingat kita. Allah hadir
menyertai kita. Ketika hati menyadari akan kehadiran Allah selalu, maka hati
akan diliputi perasaan tenang. Tak terusik sama sekali. Rasa damai yang
menyelimuti hati menandakan hati sudah hidup. Sementara kalau Anda bersyukur,
Allah bukan hanya menganugerahi rasa damai, tapi Dia datang menumpahkan
keberkahan. Tambahan kebaikan setelah kebaikan. Kebahagiaan yang
susul-menyusul. Inilah kehidupan di atas kehidupan.
Mengapa
Semesta Berkelimpahan
Meski penduduk dunia mengalami ledakan yang begitu dahsyat. Diperkirakan, saat ini, bumi dihuni oleh 8 miliar manusia. Meski demikian, kita mendapati bahwa alam tidak pernah mengalami kelangkaan. Buah-buahan selalu tersedia, bukan hanya berlimpah, tapi beraneka ragam. Tentu banyak orang yang mengonsumsi ikan, tapi kita tidak mengalami kelangkaan stok ikan. Bahkan daging-daging berlimpah untuk dikonsumsi manusia.
Bayangkan tentang air. Siapa yang tidak butuh air? Semua
orang membutuhkan air. Air bukan hanya memberikan apa yang melekat pada
dirinya. Air telah rela memberikan dirinya. Anehnya, air tidak pernah mengalami
kelangkaan. Apalagi menyusut sama sekali. Meski kemudian mengalami kemarau
panjang, hanya waktu-waktu tertentu saja.
Pertanyaannya,
mengapa alam tidak mengalami kelangkaan? Karena alam semesta senantiasa
bertasbih dan memuji Allah. Semesta bertasbih dan memuji-Nya tidak secara
berkala. Tapi terus-menerus.
“Langit
yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan
tidak ada suatu pun melainkan bertasbih dan memuji-Nya. Tapi kamu tidak
mengerti tasbih mereka. Sungguh Dia Mahapenyantun lagi Mahapengampun”. (QS.
Al-Isra’ [17]: 44)
Orang
yang meminta belum tentu diberi. Orang yang meminta ampun belum tentu diampuni.
Sementara orang yang bersyukur—bertasbih dan memuji Allah—dijanjikan tambahan
dan pemberian yang berlimpah.
Karena
itu, jika Anda ingin hidup berlimpah, jauh dari perasaan kurang, tentu saja
Anda perlu meningkatkan rasa syukur kepada Allah Swt setiap saat. Karena
bersyukur, disebutkan, selain mengikatkan nikmat yang sudah ada, juga menarik
nikmat yang belum ada. Syukur serupa magnet yang akan menarik kebaikan demi
kebaikan. Dari situ, saya mengerti, mengapa guru saya mengajarkan saya agar
membaca tasbih sebelum subuh dengan sighat berikut :
Subhanallah
wabihamdihi subhanallahil adzim astaghfirullah
Karena
tasbih merupakan magnet menarik keberlimpahan. Jika hidupmu terasa sulit,
terasa sempit, dan terasa terhimpit, dan terus melarat, maka jangan menyalahkan
keadaan. Cobalah koreksi dirimu apakah sudah banyak memuji Allah atau tidak.
Kalau Anda terus-menerus mengeluh, Anda membiarkan diri terkubur dalam
penderitaan. Sementara jika Anda bersyukur pada Allah, maka Anda telah
menerbangkan dirimu di angkasa kebahagiaan.
Sebutlah
Nikmat Niscaya Bahagia
Jika
melihat kenyataan yang Anda anggap negatif, tiba-tiba terpantik keluhan dari
hati Anda. Sebaliknya, kalau Anda melihat kebaikan, maka akan menyala rasa
syukur dalam hati Anda. Warna kehidupan Anda sangat bergantung pada fokus Anda.
Kalau fokus Anda pada kebaikan—berupa nikmat—maka Anda akan selalu bahagia.
Kalau fokus Anda pada keburukan—berupa musibah—maka Anda akan selalu terperangkap
dalam penderitaan.
Jika
selama ini Anda merasa tersekap dalam penderitaan, coba telusuri mana yang lebih
sering antara mengingat nikmat yang Allah anugerahkan dan musibah yang Allah
timpakan. Kalau Anda sering mengingat nikmat Allah, maka Anda akan selalu
bahagia. Begitu juga sebaliknya. Sebutlah nikmat yang telah Allah alirkan
padamu, kebahagiaan akan mendatangimu.
“…Maka
ingatlah akan nikmat-nikmat Allah agar kalian beruntung”. (QS. Al-A’raf
[7]: 69)
Perlu kiranya merubah—menggeser—kebiasaan kita yang terlalu fokus pada musibah daripada melihat nikmat yang Allah curahkan. Praktiknya, setiap hari kita menghitung nikmat yang Allah berikan pada kita. Tak usah menghitung nikmat yang dahulu, cukup nikmat yang sedang kita rasakan sekarang, sungguh Anda takkan sanggup untuk menghitungnya.
Ketika Anda tidak bisa menghitungnya, maka Anda takkan
pernah berhenti untuk bersyukur. Bahkan, syukur yang Anda ungkapkan juga
menjadi nikmat tersendiri. Bukankah kekentalan nikmat itu sangat berkait dengan
kentalnya rasa syukur yang kita ungkapkan?
Praktik konkritnya, cobalah setiap hari Anda menuliskan 10 saja nikmat yang Allah curahkan pada Anda. Setiap nikmat yang kau tuliskan satu, hadirkan syukur dari dalam hati Anda. Ketika Anda terus menghitung nikmat disertai syukur, maka kehidupan Anda akan berubah. Bahkan, hidup Anda terasa ajaib. Ketika Anda selalu bersyukur, kebahagiaan akan selalu datang tanpa Anda pinta.
0 comments