Keindahan Ilahi
02 June 2024
Bagaimana kita menggambarkan keindahan Ilahi? Tentu kita tidak sanggup. Setiap
keindahan yang kau sebutkan, hanya percikan dari keindahan-Nya. Kalau Anda
mengetahui keindahan yang sesungguh-Nya, Anda akan tersungkur sujud. Tenggelam
dalam keindahan sekaligus keagungan-Nya, sebagaimana dialami oleh Nabi Musa a.s.
Melihat panorama indah yang terhampar di hutan, menyaksikan langit biru
yang membentang luas di cakrawala, tiba-tiba burung terbang mengepakkan
sayapnya dengan indah, kita sudah menaruh kagum yang dalam. Kita tak sanggup
menggambarkan bagaimana keindahan rasa yang merambat di jiwa. Kenyataan di luar
tak bisa kita gambarkan sesempurna mungkin. Kalimat yang kita rangkai selalu
kurang untuk melukiskan kenyataan yang tergelar. Apalagi kondisi jiwa yang
sedang meliputi kita sebagai respon terhadap keindahan yang membentang, tentu
saja tak bisa digambarkan dengan detail.
Ketika kita melihat keindahan semesta, kita bukan hanya terkagum-kagum
dengan keindahan di luar, tapi kita juga terbawa kagum pada bagaimana Allah
menciptakan mata yang bisa menangkap keindahan. Karena indahnya pemandangan itu
tidak ada bagi orang yang buta, merdunya suara tidak ada bagi orang yang sedang
tuli. Begitulah kekaguman kita terhadap kenyataan yang tergelar di luar, juga membawa
kita kagum pada sarana yang mengantarkan kita bisa mencerap realitas yang
bertebaran di luar.
Bagaimana setiap kekaguman yang berasal dari luar bisa membawa kita
untuk makin terkagum-kagum dengan Allah Swt. Jika ciptaan-Nya saja membuat kita
begitu terperangah dan terpikat, bagaimana jika kelak kita berjumpa dengan Yang
Maha Menciptakan. Kita sudah tak lagi bisa berkata-kata, hanya ingin selalu
bersama dengan-Nya. Tak ingin terpisah meski sedetik saja.
Dikala Anda tertarik dengan sesuatu, mungkin saja dianggap sebagai
perasaan selintas. Lalu lenyap. Sampai pada level, dimana Anda menaruh rasa
cinta, Anda hanyut pada keindahannya. Meski demikian, Anda masih menyadari diri
Anda. Hingga sampai pada fase, Anda kehilangan diri Anda, yang terlihat oleh mata
hanya pemandangan itu saja. Seperti orang yang memandangi bulan purnama yang
sangat indah, dia tenggelam dalam keindahan rembulan, sehingga kendati digigit
nyamuk, tetap saja tidak terasa. Dia hanya menyadari adanya rembulan. Tidak ada
yang lain. Dirinya pun sudah tidak ada. Bahkan dihantarkan pada keadaan, dia
menjadi rembulan itu sendiri. Mengalami identifikasi dengan rembulan. Maksudnya
bagaimana?
Kehadirannya selalu menjadi purnama bagi setiap orang yang ditemui.
Menerangi orang-orang yang sedang tertutupi kegelapan. Ketika orang sedang
mengalami keadaan jiwa yang kusut masai, semrawut, dia hadir mengurai dan
melepaskan satu per satu masalah orang lain. Dengan membawa mereka pada sumber
dari segala solusi kehidupan. Yakni Allah. Ketika orang telah menjadi rembulan
bagi sesama, kehadirannya selalu membuka gerbang kebahagiaan bagi orang lain.
Keindahan di luar hanya pancaran dari keindahan di dalam. Mungkin, bagi
orang yang sedang jatuh cinta, menatap bulan purnama, apalagi didampingi
kekasih tercinta, tentu sebuah kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan
kata-kata. Sebaliknya, orang yang sedang putus cinta, bulan purnama yang
dipandangi dalam kesendirian, hanya merobek luka lama. Mengenang keindahan yang
pernah dirajut, dan kini telah menjadi berantakan dan carut-marut. Tak sedikit
orang, pada mulanya dia mencerap kebahagiaan dari seseorang. Akan tetapi,
setelah putus kongsi, setiap memandang wajahnya hanya menikamkan belati ke ulu
hati. Sakit, tapi tak berdarah.
Dari sini, saya ingin menyampaikan bahwa keindahan tidak sepenuhnya
bersifat obyektif. Tapi sangat subyektif. Sebuah rumah sederhana, mungkin
berbahan bambu, diiringi dengan kicauan burung yang saling bersahut-sahutan, disertai
tingkah kucing yang selalu mendekat minta dielus, dan di sampingnya ada seorang
istri yang menemani dengan setia, tentu saja kebahagiaan membuncah di dalam
jiwanya.
Di sisi lain, ada orang yang tinggal di sebuah rumah mewah dilengkapi
dengan fasilitas supermewah. Akan tetapi, disana sedang bergolak perselisihan, atau
ada permusuhan yang terpendam, maka rumah mewah itu bagaikan neraka. Tidak meneteskan
kebahagiaan sedikit pun.
Dari ilustrasi di atas, kita bisa mengunduh kesimpulan bahwa kebahagiaan berasal dari sudut pandang, dan sudut pandanglah yang melahirkan respon. Sudut pandang sangat ditentukan oleh kualitas keimanan kita pada Allah. Selagi hati seseorang belum berisi iman, maka dia akan terdorong memandang segala yang terhampar di luar dengan pandangan hitam putih, dualitas, untung rugi.
Semua dipandang dalam
kacamata berlawanan. Maka, orang yang tak terpatri iman, dia cenderung
diperbudak alias dikontrol oleh kenyataan yang ada di luar dirinya. Sementara
orang beriman, melampaui logika, dia terbawa untuk menembus dibalik kulit
kenyataan yang dipandang mata. Lantas, bagaimana kita bisa mengunduh keindahan
pandangan?
Perlulah kiranya ditancapkan bermacam nilai-nilai ilahiah ke relung jiwa kita.
Pertama, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Kita sadar sesadar-sadarnya bahwa segala kenyataan yang terbentang sebagai wujud kekuasaan Allah. Kekuasaan Allah mutlak. Tak ada yang membatasi. Tidak ada satu pun makhluk yang melampaui kekuasaan Allah. Karena itu, mengapa kenyataan, lalu disebut dengan takdir. Takdir mengalir dari Kuasa Allah Yang Mutlak.
Pemahaman ini akan membawa kita untuk
senantiasa mengembalikan urusan pada Allah. Tak pernah terpikir menyalahkan
orang lain. Kalau kita mendapati kenyataan yang tak sesuai dengan harapan,
bahkan berkebalikan dengan harapan yang diusung selama ini, maka kita menyadari
inilah kekuasaan Allah. Kalau sudah tahu ini sebagai bentuk kekuasaan Allah,
maka kita terus bersandar bahkan berserah diri pada Allah.
Kita sedang terapung dalam samudera kekuasaan Allah. Kita tak bisa mengendalikan laju dan gelombang samudera, kita hanya harus siap menyesuaikan diri terhadap gelombang yang ada, agar kita tidak tengelam dalam samudera. Kita tak bisa menghindar apalagi mengusir kenyataan. Kita hanya perlu menyiapkan mental agar bisa menyesuaikan diri dengan kenyataan yang datang menghantam kita. Dikala kita melihat kekuasaan Allah dibalik musibah yang dihadapi, kita benar-benar merasakan sebagai hamba. Bukan hanya menyembah Allah, tapi merasa sebagai milik Allah. Dikuasai oleh Allah Swt. Kalau kita sudah merasa berada dalam benteng kekuasaan Allah, kita takkan lagi didera ketakutan pada selain-Nya. Hidup ini akan terasa indah berada dalam benteng Allah.
Kedua, Allah Maha Mengetahui. Setelah mengerti segala kenyataan menyembur
dari kekuasaan-Nya, kita juga menyadari bahwa setiap kenyataan memancar dari
ilmu-Nya. Mungkinkah realitas yang diilmui tidak punya tujuan? Tentu saja semua
kenyataan didasari dengan tujuan. Tujuan Allah tidak lain kecuali agar
hamba-Nya bahagia. Kesadaran ini harus disusupkan ke hati kita bahwa segala
kenyataan yang menerpa tidak lain agar kita bahagia. Jika kita mengerti ini,
kita tentu saja menyambut setiap kenyataan dengan wajah tersenyum, hati
gembira. Allah selalu berinteraksi dengan kita, dan berinteraksi dengan
semangat memberi kebahagiaan. Jika kita tidak menyerap kebahagiaan di setiap
kenyataan yang kita alami, kesalahan melekat pada kita, mengapa kita tidak menyambutnya
dengan gembira.
Kita tak bisa menyambut kenyataan dengan hati gembira, karena pandangan
kita terhenti pada kenyataan, bukan yang menciptakan kenyataan. Kalau pandangan
hati tembus pada yang menciptakan kenyataan, tentu saja kita akan selalu
bergembira ria. Karena tidak ada yang salah dari setiap takdir. Mengapa? Karena
diramu dengan ilmu-Nya. Setiap yang diilmui pasti punya tujuan. Dan tidak ada
tujuan dari Allah kecuali kebahagiaan. Kalau Anda menghendaki kebahagiaan dalam
setiap keadaan, selalu sadari ini. Berusahalah untuk senantiasa sejalan,
selaras, dan sekemauan dengan Allah. Kalau Anda sudah memasuki palung kesadaran
“sekemauan” dengan Allah, maka Allah akan menyingkap rahasia dibalik setiap
kejadian. Dengan begitu, Anda tidak hanya bahagia, bahkan Anda menemukan
pencerahan atau kepuasaan batin yang tak terlukiskan.
Ketiga, Allah Maha Sempurna. Dari Yang Maha Sempurna, tentu meluncur
kesempurnaan. Tak ada yang terlontar dari tangan-Nya kecuali kesempurnaan. Jika
Anda tidak menemukan kesempurnaan dibalik realitas yang Anda alami, Anda jangan
menyalahkan kenyataan. Salahkan diri Anda sendiri, mengapa belum bisa melihat
perkara dengan sempurna. Mungkin saja hati ini masih tertutup untuk menyaksikan
kesempurnaan. Bagi orang yang sedang berkacamata hitam, tentu tidak bisa
menyaksikan keindahan bulan purnama. Maka, alangkah baiknya, kita memohon
kepada Allah agar dianugerahi melihat kenyataan apa adanya. Disana ada sebuah
kesempurnaan yang tak terjajaki oleh pikiran.
Kenyataan yang tergelar di hadapan kita dikemas sesuai dengan yang kita harapkan, lalu disebut nikmat. Juga dikemas dengan bungkus yang tak sesuai harapan, lalu disebut dengan musibah. Musibah sebagai wujud demonstrasi akan sifat Jalalnya Allah. Keperkasaan Allah yang tak bisa dihadang. Sementara nikmat sebagai wujud demonstrasi sifat jamalnya Allah.
Allah Yang Maha Indah.
Ketika dibelai nikmat, seseorang akan bersyukur. Ketika dipapar musibah,
seseorang akan bersabar. Ketika orang telah berhasil menerobos semua nikmat dan
musibah sebagai perkara yang sama, yang mengalir dari Zat Yang Maha Sempurna,
maka dia akan selalu bersyukur.
Kebahagiaan tidak didapatkan dari kenyataan, akan tetapi didulang
melalui sikap kita terhadap kenyataan. Kalau Anda melihat kenyataan yang
tergelar di depan Anda dengan sempurna, tentu saja Anda akan selalu bersyukur.
Bersyukur itulah yang jadi penyumbang kebahagiaan di hati Anda. Selagi Anda
belum bersyukur dalam setiap kenyataan, Anda takkan bisa bersyukur dalam setiap
keadaan.
Keempat, Allah Maha Baik. Mindset pamungkas yang perlu kita ketahui adalah Allah Maha Baik. Tidak ada yang mengalir dari Yang Maha Baik kecuali kebaikan saja. Seperti halnya teko hanya mengeluarkan sebagaimana isinya. Kalau berisi susu, maka ketika dituangkan akan mengalir susu. Kalau berisi teh, maka yang keluar juga teh. Kalau berisi racun, tentu saja ketika dituang yang tercurah adalah racun. Begitulah Allah. Allah Maha Baik.
Tidak ada
yang mengalir dari-Nya kecuali kebaikan saja. Kalau Anda telah memahami ini,
tentu saja akan selalu ridha menyapa kenyataan. Tidak akan pernah mengeluh
terhadap kenyataan. Semuanya yang dilihat hanya kebaikan Allah Swt. Perhatian
tidak lagi terikat pada yang fisik, tapi sudah menyentuh pada dimensi isinya.
Isinya hanya kebaikan saja. Kalau orang sudah ridha pada Allah, tentu dia akan
selalu menemukan keindahan setiap saat. Keindahan Ilahi yang tidak ada
habis-habisnya.
0 comments