Menembus Kemustahilan
12 July 2024
Pikiran mengajak pesimis,
sementara iman mengajak optimis. Pikiran sering dibayangi ketidakmungkinan,
sementara iman selalu menyingkap kemungkinan yang jarang bisa dijangkau pikiran.
Sebuah kalimat magis Guru Mulia yang terus-menerus terngiang di telinga saya,
menggema di pikiran saya, sekaligus menancap di relung terdalam hati saya, “Suatu
yang rasanya tidak mungkin menurut akal dan kebiasaan, tidak mustahil bagi
Allah”.
Keyakinan ini mengantarkan kita selalu tenang dalam situasi dan keadaan apapun. Meski masalah menghantam bertubi, meski kemiskinan terus-menerus menghimpit tanpa celah, meski seolah tak ada jalan keluar yang membentang, bahkan seperti terjebak di tempat yang gelap gulita, hati tetap disinari harapan. Tidak berkurang harapan sedikit pun pada Allah. Berkurang harapan saja tidak, apalagi pupus harapan. Sebuah mindset emas yang harus dijaga dan dinyalakan dalam hati kita selalu.
Keyakinan membuat orang selalu berada di istana kedamaian, meski fisiknya terbelenggu dalam kesulitan. Mungkin dia miskin, tapi Allah Yang Maha Kaya selalu berada di sampingnya. Bukan hanya di sampingnya, tapi juga selalu menjalankan pemeliharaan-Nya yang disertai kasih sayang tanpa syarat.
Seperti seorang anak yang sedang memiliki sebuah
kebutuhan, dari diri anak tersebut tidak punya apa-apa yang bisa diandalkan.
Akan tetapi, kalau dilihat dari ayah atau ibunya, cukup bahkan berlebih jika
hanya hendak memenuhi kebutuhannya.
Yakin atas kekuasaan Allah membuat kita terus memiliki optimisme. Tidak gampang susut oleh karena deraan masalah yang menerpanya. Dia selalu mengaitkan diri pada Allah, tidak sedikit pun bersandar pada makhluk. Karena bersandar pada yang lemah hanya membuat diri semakin lemah. Tanda lemahnya jiwa tentu akan mudah didera kekhawatiran dan akhirnya membuahkan rasa kecewa.
Jika orang ingin menjadi sosok kuat (powerful)
tentu dia akan memilih bersandar pada Yang Maha Kuat. Dan hanya orang-orang
yang bersandar pada Yang Maha Kuat yang akan menjelma menjadi sosok yang
berjiwa kokoh. Tidak mudah runtuh oleh tersebab masalah yang menerpa. “Siapa
yang menginginkan sebagai manusia yang kuat, maka bertawakkalah pada Allah”,
sebuah sabda Nabi Muhammad Saw yang selalu saya ingat.
Kualitas seseorang bukan diukur
dari amalnya saja. Amal banyak belum tentu menjamin seseorang punya kedudukan
yang tinggi di hadapan Allah. Bahkan, tak jarang amal yang banyak, lalu,
menumbuhkan benih-benih kesombongan di relung hati. Berkeyakinan dengan
amalnya, dia langsung masuk surga. Sikap sombong, alih-alih akan membawa
seseorang menuju surga, malah akan melemparkan ke dalam neraka. Bukankah Nabi
bersabda, “Tidak masuk surga orang yang hatinya dihinggapi kesombongan meski
seberat zarrah”.
Masih mendengung di telinga
saya cerita dari guru mulia tentang dua hamba Allah. Yang pertama ahli ibadah.
Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk beribadah pada Allah. Satunya lagi
adalah seorang yang suka mabuk. Allah pun mengutus sosok malaikat untuk menjajaki
kualitas kedekatan dua hamba tersebut di hadapan Allah. “Sampaikan kepada
kedua hamba-Ku, bahwa mereka tidak masuk surga, sehingga onta masuk ke lubang
jarum”.
Pergilah malaikat tersebut
dengan menyerupai manusia untuk menjalankan misi yang diperintahkan Allah.
Malaikat itu terlebih dahulu menjumpai ahli ibadah. “Ada salam Allah
untukmu. Kata Allah, engkau tidak masuk surga hingga onta masuk ke lubang jarum.”
Tentu ahli ibadah terhenyak
dengan kabar yang didengar.
“Tidak mungkin onta bisa
masuk ke lubang jarum. Jika demikian, aku tidak mungkin masuk surga. Lantas,
buat apa aku beribadah selama ini”, tukas ahli ibadah.
Selanjutnya, malaikat
mendatangi pemabuk yang sedang sempoyongan. Sesekali dia mau menancapkan
tongkatnya. Karena mabuk, fokusnya terganggu, sehingga dia tak sanggup
menancapkan tongkat tersebut. Dihampirilah pemabuk tersebut oleh sang utusan
Allah.
“Ada salam dari Allah
untukmu”, malaikat menyapanya.
“Hah, siapa? Allah
menyampaikan salam untuk saya yang ahli maksiat ini?”, tanya si pembuk
dengan keheranan.
“Iya, dari Allah. Kamu
mabuk. Kata Allah, Anda tidak masuk surga hingga onta masuk ke lubang jarum”, kabar
malaikat.
“Kalau itu Allah yang
berkata, tentu saja bisa. Bukan hanya satu onta, seratus onta pun bisa saja
masuk ke lubang jarum”, katanya dengan wajah yang riang gembira. Bahkan dia
menari-nari saking yakinnya dengan berita yang dikabarkan malaikat tersebut.
Dari kisah tersebut, kita memungut kesimpulan bahwa tingginya kedudukan manusia sangat bergantung pada kokohnya keyakinan pada Allah. Keyakinan—sebagai pancaran dari keimanan—seperti nyawa yang membuat seseorang mengalami kehidupan ruhani.
Pesona Iman Nabi Ulul Azmi
Kita takkan pernah jenuh mengisahkan
tentang derap perjuangan Nabi Ulul Azmi dengan segala keajaiban yang mengiringi
mereka. Nabi Nuh a.s, seorang Nabi yang telah berdakwah sepanjang 950 tahun.
Akan tetapi, dalam dakwahnya beliau hanya mendapatkan pengikut 80 orang. Meski
hanya mendapatkan pengikut dalam jumlah kecil, beliau tak pernah putus asa dari
rahmat Allah. Kesabarannya begitu teguh bak karang. Tak bisa dihantam oleh
segala kenyataan yang tak sesuai dengan ekspektasi beliau. Meski istri dan
sebagian anak-anaknya membangkang terhadap perintahnya, beliau tetap bersabar
sekaligus berserah diri pada Allah.
Puncaknya, beliau diperintah
Allah merakit kapal di sebuah bukit. Di saat dia menunaikan perintah Allah,
kaumnya yang membangkang mengolok-olok Nabi Nuh a.s, bahkan melabeli gila. Nabi
Nuh a.s bersabar terhadap ocehan kaumnya, sembari menuntaskan proses perakitan
kapal tersebut. Sehingga terjadilah banjir bandang yang tak bisa dielakkan.
Banjir bukan hanya menelan rumah-rumah, menenggelamkan sekian manusia dan
pepohonan, bahkan air terus naik menuju gunung. Para pembangkang tetap
bersikeras tidak mau mengikuti arahan Nabi Nuh a.s, sehingga mereka semua Allah
tenggelamkan dalam banjir bandang. Hanya pengikut setia Nabi Nuh a.s saja yang
Allah selamatkan. Mereka selamat dengan asbab menumpangi kapal rancangan Nabi
Nuh a.s.
Setelah Nabi Nuh a.s, kita
patut terhenyak dan terkagum-kagum dengan kisah Nabi Ibrahim a.s ketika
dilemparkan ke dalam kobaran Api Namrud. Tersebab beliau telah didakwa
menghancurkan berhala-berhala sesambahan Namrud dan rakyatnya, Bapak Tauhid
diseret, diletakkan di ketepel yang besar, dan dilemparkan ke dalam kobaran
api. Dikala telah tercebur dalam kobaran api tersebut, datanglah Malaikat
Jibril a.s menawarkan bantuan. “Apakah Anda membutuhkan pertolongan?”, kata
Jibril a.s.
“Darimu saya tidak butuh
pertolongan. Kalau dari Allah, iya”, balas Nabi Ibrahim a.s.
“Tentu saja dari Allah”, ujar
Jibril a.s.
“Allah Maha Tahu apa yang
menjadi kebutuhanku. Hasbunallah wanikmal wakil nikmal mawla wanikman
nashiir”, pungkas Nabi Ibrahim a.s.
Tiba-tiba Nabi Ibrahim a.s
merasakan api itu sejuk, menyelamatkan. Dia hanya meyakini pertolongan hanya
datang dari Allah. Bayangkan, kesulitan sebesar apapun, tetap Allah yang
menjadi tempat bersandar dan kembali. Dan Allah selalu hadir dengan keajaiban
yang luar biasa.
Selain itu, juga Nabi Musa a.s
mewariskan sebuah kisah yang begitu manakjubkan. Bagaimana ketika beliau
dikejar oleh Fir’aun dengan bala tentaranya. Beliau bersama budak Bani Israil
menunggangi kuda batina yang lemah, sementara Firaun menunggangi kuda jantan.
Pengejaran hingga sampai di ujung laut merah. Tentu saja, Nabi Musa a.s
dihimpit oleh dua keadaan yang sama-sama sulit. Kalau tetap melaju, beliau akan
tenggelam ke lautan merah. Jika terus berhenti di pinggir laut, tentu saja
beliau akan diterkam oleh Fir’aun dengan bala tentaranya.
Akan tetapi, keyakinan beliau
dengan pertolongan Allah tidak pernah pupus. Dengan keyakinan yang kuat, beliau
diperintah melemparkan tongkatnya sembari mengucapkan Hasbunallah wanikmal
wakiil nikmal mawla wanikman nashiir, maka mendadak lautan merah menjadi
jalan raya. Beliau dengan pengikutnya mampu melewati jalan tersebut dengan leluasa
hingga ke tepian pantai. Tepat ketika Fir’aun berada di tengah jalan, maka
jalan itu kembali membentuk sebagai lautan yang menenggelamkan Fir’aun bersama
pasukannya.
Begitu juga yang terjadi pada
Nabi Isa a.s. Ketika beliau dibawa Golgotta oleh orang-orang Yahudi untuk
disalib. Akan tetapi, proses penyaliban Nabi Isa a.s gagal oleh karena beliau
dalam sekejap diangkat ke langit oleh Allah, dan seorang pemuda wajahnya
diserupakan dengan Nabi Isa a.s disalib oleh orang-orang Yahudi. Peristiwa
ajaib itu tentu karena keyakinan Ruhullah tersebut pada datangnya pertolongan
Allah.
Demikian juga yang terjadi
pada Penutup Nabi, Penghulu semua Nabi, Nabi Muhammad Saw. Ketika hendak
menunaikan misi hijrah ke Yatsrib, sekitar 100 pemuda mengepung rumah beliau.
Mereka punya satu misi, menangkap dan membunuh Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi,
di tengah malam, ketika mata mereka masa terbelalak, Nabi Muhammad melewati
mereka dengan mudahnya.
Mereka mengintai gerak langkah
Nabi, menyisir tapak kakinya, dan memburu setiap informasi tentang beliau. Akan
tetapi, sesemangat dan secanggih apapun strategi yang dipakai, mereka tetap
gagal untuk menemukan apalagi menangkap Nabi Muhammad Saw. Kayakinan beliau Saw
atas kesertaan Allah dan perlindungan telah mendatangkan keajaiban dalam dakwah
Nabi Muhammad Saw.
Dari kisah heroik ini, kita
mengambil kesimpulan bahwa kemenangan yang didulang para Nabi Ulul Azmi adalah karena
kebersandaran mereka yang sangat kuat dan teguh pada Allah. Mereka tidak lagi
bergantung pada hukum sebab akibat—meskipun secara lahiriah mereka tetap
menempuhnya—dia lebih memilih memegang kuat-kuat hukum qudratullah. Karena
semua keajaiban memancar dari kuasa Allah yang tak terbatas, dan tak bisa
dihalangi oleh siapapun. Sebab akibat yang dirancang manusia bisa saja buyar,
berantakan, dan tidak keraun ketika sudah diserang oleh qudratullah. Sementara
hukum qudratullah tak bisa ditembus oleh hukum sebab akibat. Bukankah semua
kenyataan hanya mengalir dari kuasa Allah?
0 comments