-->

Efek mengerti akan Rububiyatullah

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Efek mengerti akan Rububiyatullah

03 August 2024

Efek mengerti akan Rububiyatullah

03 August 2024


Tak sedikit orang meragukan kekuasaan Allah. Benar nggak sih, Allah berkuasa memenuhi kebutuhan rezeki hamba-hamba-Nya. Mereka membayangkan, tanpa usaha, rezeki tidak akan turun. “Kalau tidak bekerja, dari mana dapat makan?”

Perkataan semacam itu tidak melulu terlontar dari lisan orang awam saja. Orang yang punya basis intelektual juga bisa terlintasi pikiran seperti itu. Anehnya, semakin tinggi pendidikan seseorang, bukan bertambah kokoh keyakinannya kepada Allah, melainkan bertambah rapuh. Tak sedikit orang yang menggapai pengetahuan yang tinggi, lalu kemudian memilih tidak percaya Tuhan. Dia bergantung pada pikiran dan keilmuannya, lalu menyusut dan hilang keyakinannya pada Allah. Ada juga di antara mereka menelusuri dalil-dalil penguat keyakinan bagi dirinya bagaimana Allah menjamin rezekinya. Padahal sebelum mantap keyakinan soal rezeki, manusia tidak akan pernah menemukan kelezatan dalam beribadah. Tidak fokus menghadap kepada Allah.   

Dia berpikir, seolah Allah angkat tangan terkait persoalan rezeki yang dihadapinya. Saya menuturkan, jika seorang ayah—tentu saja ayah yang benar—bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anaknya, maka tentu dia memikirkan cara untuk menyediakan nafkah yang halal lagi baik. Bukan hanya itu, dia juga telah merancang pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Dia selalu ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya. Untuk sekarang dan masa depannya.

Ingatlah, secara majasi, memang orang tualah yang menjadi sebab terlahirnya seorang anak. Akan tetapi, pada hakikatnya yang menciptakan kita semua adalah Allah. Jika seorang ayah yang menaruh cinta saja ditunjukkan dengan bertanggung jawab, bagaimana Allah Swt tidak bertanggung jawab apalagi angkat tangan dalam mengurus kehidupan kita. Bahkan, Allah menyeru kita agar hanya mengambil Allah sebagai penanggung jawab kehidupan kita.

Janganlah Anda mengambil (pelindung) selain Aku”. (QS. Al-Isra [17]: 2)

Cinta Allah pada hamba-Nya melebihi cinta seorang ibu, bahkan, kepada anaknya. Dengan fondasi keyakinan akan cinta Allah terhadap hamba-Nya, sekaligus memahami tentang pemeliharaan Allah yang terus berjalan pada hamba-Nya, seharusnya meluruhkan kecemasan kita terkait dengan rezeki, sekaligus menguatkan keyakinan yang kokoh kepada-Nya. Saking besar cinta Allah pada hamba-Nya, tanpa meminta pun, seorang hamba akan terus mendapatkan asupan rezekinya.

Bayangkan, ketika janin “tinggal” di rahim ibunya. Dia belum bisa meminta apa-apa. Dan Allah terus mengirimkan rezeki untuknya yang dialirkan melalui plasenta. Sebelum anak dilahirkan, Allah telah menetapkan rezekinya. Tidak pernah berkurang sedikit pun, apalagi tertukar. Lalu ketika anak dilahirkan, plasenta diputus. Apakah rezekinya terhenti? Ternyata tidak.

Allah sudah menyiapkan dua saluran rezeki bagi anak itu. Dia menghisap ASI sang ibu dengan disediakan dua puting ibu. Bahkan setelah berlalu dua tahun, anak disapih dari menghisap ASI ibunya. Apakah berarti rezekinya terputus? Tidak. Justru bermacam rezeki Allah bisa dia makan. Hilang satu tumbuh seribu. Demikianlah sebuah penggambarkan betapa luasnya rahmat Allah. Jika mengerti ini, maka tidak ada ruang bagi kita untuk cemas, apalagi putus asa terkait rezeki dari Allah.

Apa yang telah ditetapkan untuk kita, pasti akan sampai pada kita. Sementara yang tidak ditetapkan untuk kita, meski kita mengejarnya dengan terengah-engah, tetap saja kita tak sanggup meraihnya. Keyakinan soal jaminan rezeki dari Allah menjadi sebuah fondasi awal dalam perjalanan manusia. Bukankah rezeki adalah kebutuhan utama manusia bakda diberi kehidupan?

Bukan hanya manusia, binatang telah disediakan rezekinya oleh Allah. Binatang tidak diberi otak untuk berpikir. Dia bergerak berdasarkan intuisinya. Binatang tidak pernah mendapatkan pendidikan, sehingga peradaban dalam dunia binatang tidak mengalami peningkatan. Bergerak di tempat. Meski demikian, binatang tidak pernah dihinggapi rasa cemas terkait rezeki. 

Demi mematrikan keyakinan tentang rezeki, guru saya mengangkat contoh tentang cicak. “Bayangkan”, dawuh beliau, “cicak tidak bisa terbang, tapi makanannya yang bisa terbang. Dan cicak tidak mengejar makanannya, justru makanan yang terbang mendekatinya. Lalu kemudian dengan sangat gesit cicak menyantapnya”. Meski demikian, cicak tidak pernah stress sebab memikirkan rezeki.

Ada burung yang terbang, namun makanannya hidup di perairan. Tapi burung tersebut tidak pernah kesulitan mendapatkan rezekinya. Lintah tidak bisa bergerak cepat, tapi makanannya sebangsa binatang yang berlari cepat, seperti rusa. Lintah menempel di dedaunan, lalu kemudian ketika binatang lewat, langsung dia menempel dan menyerap darah di tubuh binatang tersebut.

Iya, tanpa kita harus mengetahui kalam-kalam ilahi, cukup kita merenungi bagaimana Allah menyediakan rezeki pada makhluk-Nya, terbukalah cakrawala keyakinan kita perihal jaminan Allah terkait rezeki. Janganlah berpikir kehidupan berjalan sendiri tanpa ada yang mengaturnya. Semuanya diatur dengan sempurna oleh Allah. Termasuk pola pemeliharaan-Nya yang teliti pada makhluk-makhluk-Nya. Dan tidak ada yang salah pada pembagian yang Allah terapkan. 

Intinya, seluruh makhluk yang melata di bumi telah disediakan rezekinya oleh Allah. Allah tak pernah lalai dan tak pernah kesulitan untuk menjangkau setiap makhluk untuk menyajikan rezekinya. Jika binatang saja dijamin rezekinya oleh Allah, bagaimana dengan manusia. Tentu saja Allah sangat memerhatikan manusia sebagai mahkota dari penciptaan. Ada beberapa ayat yang bisa kita jadikan penguat keyakinan kita terkait rezeki. Mari kita cerna QS. Hud ayat 6, QS Al-Ankabut ayat 60, dan QS. Az-Zariat ayat 22. Dengan kita merenungi ayat-ayat tersebut, diharapkan semakin menguat keyakinan kita pada Allah. Allah-lah yang menjamin rezeki kita.

Rezeki diadakan agar manusia bisa bertahan hidup. Berdampak pada terus berlangsungnya kehidupan. Setelah kita meyakini rezeki, insya Allah kita akan selalu berada dalam kemantapan hati, tentu saja hati akan dipenuhi ketenangan.

 

Allah Memberi Manusia Akal

Allah tidak hanya menyediakan rezeki, tapi Allah juga menyertakan manusia dengan akal. Dengan akal, ilmu manusia akan terus bertumbuh dan mengalami kemajuan. Peradaban dibentuk oleh karena akal manusia yang terus bergerak menuju kemajuan dan kejayaan. Adanya akal membuat kehidupan tidak membosankan, selalu menemukan perkara baru, dan tentu menggairahkan. 

Dengan ilmu yang meluncur dari akal, manusia bisa mengubah nature menjadi kultur. Sesuatu yang alami kemudian bertransformasi menjadi budaya karena sentuhan ilmu. Padi berhenti sebagai beras saja tanpa disertai ilmu. Karena ada sentuhan ilmu, maka padi akan berubah menjadi nasi, jadi tepung, jadi roti, dan menjadi bermacam jenis makanan. Dengan sentuhan ilmu, kapas bertransformasi menjadi benang, lalu menjadi kain, lalu menjadi baju.

Dengan akal pula, manusia akan selalu bisa menyesuaikan diri dengan segala perubahan yang menyeruak di medan kehidupan. Iya, manusia punya kemampuan menyesuaikan diri dari zaman ke zaman. Karena manusia diberi akal. Akal yang terus diberdayakan, karya manusia tidak pernah berhenti memenuhi ruang-ruang peradaban. Dulu mungkin komunikasi harus jarak dekat, lalu berlanjut dengan berkirim teks tanpa gambar. Tapi kini, manusia bisa berkomunikasi dengan kehadiran gambar dan teks secara bersamaan. Bahkan secara live. Majunya peradaban diharapkan mengulurkan kemudahan manusia dalam menjalani kehidupan.


Allah memberi Manusia Jodoh

Sebagai upaya melestarikan agama dan kehidupan, maka Allah Swt telah menetapkan jodoh setiap makhluk-Nya. Termasuk manusia. Pernikahan bukan hanya sebagai sarana untuk reproduksi, tapi juga sebagai regenerasi, sehingga cahaya kebaikan terus merambat dan menerobos dari generasi ke generasi. Karenanya, Rasulullah menganjurkan menikah karena beliau bangga dengan banyaknya umat. Umat di sini, kata guru saya, bukan kumpulan orang yang berdesak-desakan tanpa arah. Akan tetapi, kumpulan komunitas yang terdidik dengan pendidikan ala Nabi Muhammad Saw.

Peradaban dibentuk dari generasi ke generasi. Tidak cukup berhenti di kita. Mungkin saja Anda memiliki cita-cita luhur. Tidak semua yang Anda cita-citakan tergenapi. Lalu Anda menceritakan dan melukiskan cita-cita yang hendak Anda wujudkan pada anak-anak Anda, maka anak-anak Anda yang insya Allah akan meneruskan cita-cita luhur tersebut. Mungkin Anda memiliki nilai yang mulia, maka nilai mulia ini akan terus berlanjut dan meluas pada generasi setelah Anda.

 

Allah Memberi Manusia Agama

Agama sebagai nikmat penyempurna dari semua nikmat yang Allah turunkan ke bumi. Dengan agama, manusia akan terpandu untuk meraih kebahagiaan yang hakiki dalam hidup ini. Dengan agama, manusia tidak hanya terjalin secara horizontal dengan sesama makhluk yang hidup di bumi, tspi juga akan membangun keterikatan jiwa dengan Allah Swt sebagai penguasa seluruh semesta.

Agama—Islam—membentangkan formula orang untuk menggapai kebahagiaan. Dimulai dari aqidah. Melalui aqidah, manusia akan terikat kuat jiwanya dengan Allah Swt. Dari aqidah menyala keyakinan, kecintaan, dan rasa takut pada Allah Swt. Semua ahwal itu akan menyuntikkan dorongan yang sangat efektif untuk memacu orang bahagia. Dari aqidah juga, manusia akan membangun fondasi alasan yang kuat mengapa beribadah. Karena dari aqidah, orang mengerti akan tujuan kita beragama. Yakni dekat pada Allah Swt. Ketika sampai pada Allah—sebagai tujuan puncak—kebahagiaan akan membanjiri jiwa.

Kedua, syariat membangun kepatuhan pada Sayyidina Muhammad Saw. Dari syariat manusia mengikuti cara yang telah dicontohkan Sayyidina Muhammad. Karena beliaulah satu-satunya uswah yang layak memandu kita pada jalan kebenaran. Ketika orang telah mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw, maka dia tidak mengetahui agama, tetapi pelan-pelan akan terbawa untuk merasakan nikmatnya agama. Agama akan mengukir pengalaman indah ketika didasari dengan kepatuhan dan ketulusan.

Dan terakhir adalah akhlak. Akhlak sebuah kejujuran antara lahir dan batin. Manusia yang telah menggapai integritas. Dengan akhlak, manusia telah merasakan buahnya agama. Merasakan kelezatan agama.

Buah dari agama itu sendiri adalah takwa. Ketika orang bertakwa, maka agama akan selalu menjadi penyegar bagi jiwa. Sementara beragama yang tidak memancarkan ketakwaan, sama sekali tidak mengalirkan kebahagiaan ke dalam hati. 

 

BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang