Efek mengerti akan Rububiyatullah
03 August 2024
Tak
sedikit orang meragukan kekuasaan Allah. Benar nggak sih, Allah berkuasa
memenuhi kebutuhan rezeki hamba-hamba-Nya. Mereka membayangkan, tanpa usaha,
rezeki tidak akan turun. “Kalau tidak bekerja, dari mana dapat makan?”
Perkataan
semacam itu tidak melulu terlontar dari lisan orang awam saja. Orang yang punya
basis intelektual juga bisa terlintasi pikiran seperti itu. Anehnya, semakin
tinggi pendidikan seseorang, bukan bertambah kokoh keyakinannya kepada Allah, melainkan
bertambah rapuh. Tak sedikit orang yang menggapai pengetahuan yang tinggi, lalu
kemudian memilih tidak percaya Tuhan. Dia bergantung pada pikiran dan
keilmuannya, lalu menyusut dan hilang keyakinannya pada Allah. Ada juga di
antara mereka menelusuri dalil-dalil penguat keyakinan bagi dirinya bagaimana
Allah menjamin rezekinya. Padahal sebelum mantap keyakinan soal rezeki, manusia
tidak akan pernah menemukan kelezatan dalam beribadah. Tidak fokus menghadap
kepada Allah.
Dia
berpikir, seolah Allah angkat tangan terkait persoalan rezeki yang dihadapinya.
Saya menuturkan, jika seorang ayah—tentu saja ayah yang benar—bertanggung jawab
terhadap kelangsungan hidup anaknya, maka tentu dia memikirkan cara untuk menyediakan
nafkah yang halal lagi baik. Bukan hanya itu, dia juga telah merancang
pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Dia selalu ingin memberikan yang terbaik
bagi anaknya. Untuk sekarang dan masa depannya.
Ingatlah,
secara majasi, memang orang tualah yang menjadi sebab terlahirnya seorang anak.
Akan tetapi, pada hakikatnya yang menciptakan kita semua adalah Allah. Jika
seorang ayah yang menaruh cinta saja ditunjukkan dengan bertanggung jawab,
bagaimana Allah Swt tidak bertanggung jawab apalagi angkat tangan dalam
mengurus kehidupan kita. Bahkan, Allah menyeru kita agar hanya mengambil Allah
sebagai penanggung jawab kehidupan kita.
“Janganlah
Anda mengambil (pelindung) selain Aku”. (QS. Al-Isra [17]: 2)
Cinta
Allah pada hamba-Nya melebihi cinta seorang ibu, bahkan, kepada anaknya. Dengan
fondasi keyakinan akan cinta Allah terhadap hamba-Nya, sekaligus memahami
tentang pemeliharaan Allah yang terus berjalan pada hamba-Nya, seharusnya meluruhkan
kecemasan kita terkait dengan rezeki, sekaligus menguatkan keyakinan yang kokoh
kepada-Nya. Saking besar cinta Allah pada hamba-Nya, tanpa meminta pun, seorang
hamba akan terus mendapatkan asupan rezekinya.
Bayangkan,
ketika janin “tinggal” di rahim ibunya. Dia belum bisa meminta apa-apa. Dan
Allah terus mengirimkan rezeki untuknya yang dialirkan melalui plasenta.
Sebelum anak dilahirkan, Allah telah menetapkan rezekinya. Tidak pernah
berkurang sedikit pun, apalagi tertukar. Lalu ketika anak dilahirkan, plasenta
diputus. Apakah rezekinya terhenti? Ternyata tidak.
Allah
sudah menyiapkan dua saluran rezeki bagi anak itu. Dia menghisap ASI sang ibu
dengan disediakan dua puting ibu. Bahkan setelah berlalu dua tahun, anak
disapih dari menghisap ASI ibunya. Apakah berarti rezekinya terputus? Tidak. Justru
bermacam rezeki Allah bisa dia makan. Hilang satu tumbuh seribu. Demikianlah
sebuah penggambarkan betapa luasnya rahmat Allah. Jika mengerti ini, maka tidak
ada ruang bagi kita untuk cemas, apalagi putus asa terkait rezeki dari Allah.
Apa
yang telah ditetapkan untuk kita, pasti akan sampai pada kita. Sementara yang
tidak ditetapkan untuk kita, meski kita mengejarnya dengan terengah-engah,
tetap saja kita tak sanggup meraihnya. Keyakinan soal jaminan rezeki dari Allah
menjadi sebuah fondasi awal dalam perjalanan manusia. Bukankah rezeki adalah
kebutuhan utama manusia bakda diberi kehidupan?
Bukan hanya manusia, binatang telah disediakan rezekinya oleh Allah. Binatang tidak diberi otak untuk berpikir. Dia bergerak berdasarkan intuisinya. Binatang tidak pernah mendapatkan pendidikan, sehingga peradaban dalam dunia binatang tidak mengalami peningkatan. Bergerak di tempat. Meski demikian, binatang tidak pernah dihinggapi rasa cemas terkait rezeki.
Demi mematrikan keyakinan tentang rezeki,
guru saya mengangkat contoh tentang cicak. “Bayangkan”, dawuh beliau, “cicak
tidak bisa terbang, tapi makanannya yang bisa terbang. Dan cicak tidak mengejar
makanannya, justru makanan yang terbang mendekatinya. Lalu kemudian dengan sangat
gesit cicak menyantapnya”. Meski demikian, cicak tidak pernah stress sebab
memikirkan rezeki.
Ada
burung yang terbang, namun makanannya hidup di perairan. Tapi burung tersebut
tidak pernah kesulitan mendapatkan rezekinya. Lintah tidak bisa bergerak cepat,
tapi makanannya sebangsa binatang yang berlari cepat, seperti rusa. Lintah
menempel di dedaunan, lalu kemudian ketika binatang lewat, langsung dia
menempel dan menyerap darah di tubuh binatang tersebut.
Iya,
tanpa kita harus mengetahui kalam-kalam ilahi, cukup kita merenungi bagaimana
Allah menyediakan rezeki pada makhluk-Nya, terbukalah cakrawala keyakinan kita
perihal jaminan Allah terkait rezeki. Janganlah berpikir kehidupan berjalan
sendiri tanpa ada yang mengaturnya. Semuanya diatur dengan sempurna oleh Allah.
Termasuk pola pemeliharaan-Nya yang teliti pada makhluk-makhluk-Nya. Dan tidak
ada yang salah pada pembagian yang Allah terapkan.
Intinya,
seluruh makhluk yang melata di bumi telah disediakan rezekinya oleh Allah.
Allah tak pernah lalai dan tak pernah kesulitan untuk menjangkau setiap makhluk
untuk menyajikan rezekinya. Jika binatang saja dijamin rezekinya oleh Allah,
bagaimana dengan manusia. Tentu saja Allah sangat memerhatikan manusia sebagai
mahkota dari penciptaan. Ada beberapa ayat yang bisa kita jadikan penguat
keyakinan kita terkait rezeki. Mari kita cerna QS. Hud ayat 6, QS Al-Ankabut
ayat 60, dan QS. Az-Zariat ayat 22. Dengan kita merenungi ayat-ayat tersebut, diharapkan
semakin menguat keyakinan kita pada Allah. Allah-lah yang menjamin rezeki kita.
Rezeki
diadakan agar manusia bisa bertahan hidup. Berdampak pada terus berlangsungnya
kehidupan. Setelah kita meyakini rezeki, insya Allah kita akan selalu berada
dalam kemantapan hati, tentu saja hati akan dipenuhi ketenangan.
Allah
Memberi Manusia Akal
Allah tidak hanya menyediakan rezeki, tapi Allah juga menyertakan manusia dengan akal. Dengan akal, ilmu manusia akan terus bertumbuh dan mengalami kemajuan. Peradaban dibentuk oleh karena akal manusia yang terus bergerak menuju kemajuan dan kejayaan. Adanya akal membuat kehidupan tidak membosankan, selalu menemukan perkara baru, dan tentu menggairahkan.
Dengan ilmu yang meluncur dari akal,
manusia bisa mengubah nature menjadi kultur. Sesuatu yang alami kemudian
bertransformasi menjadi budaya karena sentuhan ilmu. Padi berhenti sebagai
beras saja tanpa disertai ilmu. Karena ada sentuhan ilmu, maka padi akan
berubah menjadi nasi, jadi tepung, jadi roti, dan menjadi bermacam jenis
makanan. Dengan sentuhan ilmu, kapas bertransformasi menjadi benang, lalu menjadi
kain, lalu menjadi baju.
Dengan akal pula, manusia akan selalu bisa menyesuaikan diri dengan segala perubahan yang menyeruak di medan kehidupan. Iya, manusia punya kemampuan menyesuaikan diri dari zaman ke zaman. Karena manusia diberi akal. Akal yang terus diberdayakan, karya manusia tidak pernah berhenti memenuhi ruang-ruang peradaban. Dulu mungkin komunikasi harus jarak dekat, lalu berlanjut dengan berkirim teks tanpa gambar. Tapi kini, manusia bisa berkomunikasi dengan kehadiran gambar dan teks secara bersamaan. Bahkan secara live. Majunya peradaban diharapkan mengulurkan kemudahan manusia dalam menjalani kehidupan.
Allah
memberi Manusia Jodoh
Sebagai
upaya melestarikan agama dan kehidupan, maka Allah Swt telah menetapkan jodoh
setiap makhluk-Nya. Termasuk manusia. Pernikahan bukan hanya sebagai sarana
untuk reproduksi, tapi juga sebagai regenerasi, sehingga cahaya kebaikan terus
merambat dan menerobos dari generasi ke generasi. Karenanya, Rasulullah menganjurkan
menikah karena beliau bangga dengan banyaknya umat. Umat di sini, kata guru saya,
bukan kumpulan orang yang berdesak-desakan tanpa arah. Akan tetapi, kumpulan
komunitas yang terdidik dengan pendidikan ala Nabi Muhammad Saw.
Peradaban
dibentuk dari generasi ke generasi. Tidak cukup berhenti di kita. Mungkin saja
Anda memiliki cita-cita luhur. Tidak semua yang Anda cita-citakan tergenapi.
Lalu Anda menceritakan dan melukiskan cita-cita yang hendak Anda wujudkan pada
anak-anak Anda, maka anak-anak Anda yang insya Allah akan meneruskan cita-cita
luhur tersebut. Mungkin Anda memiliki nilai yang mulia, maka nilai mulia ini
akan terus berlanjut dan meluas pada generasi setelah Anda.
Allah
Memberi Manusia Agama
Agama
sebagai nikmat penyempurna dari semua nikmat yang Allah turunkan ke bumi.
Dengan agama, manusia akan terpandu untuk meraih kebahagiaan yang hakiki dalam
hidup ini. Dengan agama, manusia tidak hanya terjalin secara horizontal dengan
sesama makhluk yang hidup di bumi, tspi juga akan membangun keterikatan jiwa
dengan Allah Swt sebagai penguasa seluruh semesta.
Agama—Islam—membentangkan
formula orang untuk menggapai kebahagiaan. Dimulai dari aqidah. Melalui aqidah,
manusia akan terikat kuat jiwanya dengan Allah Swt. Dari aqidah menyala
keyakinan, kecintaan, dan rasa takut pada Allah Swt. Semua ahwal itu akan menyuntikkan
dorongan yang sangat efektif untuk memacu orang bahagia. Dari aqidah juga,
manusia akan membangun fondasi alasan yang kuat mengapa beribadah. Karena dari
aqidah, orang mengerti akan tujuan kita beragama. Yakni dekat pada Allah Swt.
Ketika sampai pada Allah—sebagai tujuan puncak—kebahagiaan akan membanjiri
jiwa.
Kedua,
syariat membangun kepatuhan pada Sayyidina Muhammad Saw. Dari syariat manusia
mengikuti cara yang telah dicontohkan Sayyidina Muhammad. Karena beliaulah
satu-satunya uswah yang layak memandu kita pada jalan kebenaran. Ketika
orang telah mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw, maka dia tidak mengetahui
agama, tetapi pelan-pelan akan terbawa untuk merasakan nikmatnya agama. Agama
akan mengukir pengalaman indah ketika didasari dengan kepatuhan dan ketulusan.
Dan
terakhir adalah akhlak. Akhlak sebuah kejujuran antara lahir dan batin. Manusia
yang telah menggapai integritas. Dengan akhlak, manusia telah merasakan buahnya
agama. Merasakan kelezatan agama.
Buah
dari agama itu sendiri adalah takwa. Ketika orang bertakwa, maka agama akan
selalu menjadi penyegar bagi jiwa. Sementara beragama yang tidak memancarkan
ketakwaan, sama sekali tidak mengalirkan kebahagiaan ke dalam hati.
0 comments