-->

Kemerdekaan Ruhani

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Kemerdekaan Ruhani

18 August 2024

Kemerdekaan Ruhani

18 August 2024


 

Di suatu kesempatan, saya mengecek HP saya. Masuklah sebuah pesan di WA saya. Inti pesannya, meminta saya untuk mengisi ceramah yang bertajuk spiritualitas kemerdekaan. Saya tercenung sementara, sembari bertanya apa hakikat dari kemerdekaan? Karena tak sedikit orang yang hidup di negara yang sudah merdeka, jiwanya mengerang, kesakitan, merasa terbelenggu, bahkan terpenjara.

Selama ini kebahagiaan—bagi orang miskin—identik dengan kekayaan. Seolah ketika kekayaan telah didulang, otomatis kebahagiaan yang membanjiri jiwa. Akan tetapi, nyatanya tak sedikit negara yang telah berlimpah kekayaan, tapi di sana banyak orang yang memilih bunuh diri. Di Swiss, misalnya, orang telah mereguk kemerdekaan. 

Bahkan kekayaan per kapita meningkat sangat pesat. Akan tetapi, di sisi lain, gelombang bunuh diri juga meningkat tajam. Bukankah bunuh diri sebagai indikator bahwa seseorang telah putus asa dalam menjalani hidup? Kemerdekaan tidak serta-merta membuat orang bisa membangun kebahagiaan. Bahkan kemerdekaan yang dipahami sebagai kebebasan yang tak terbatas (liberalisme), justru menimbulkan ketidakbebasan.

Setiap kebebasan yang tanpa batas justru mengganggu kebebasan orang lain. Seperti orang dengan bebas membakar jalanan, maka orang-orang yang berlalu lalang di jalan itu akan merasa terganggu dan terbatasi haknya untuk melewati jalan tersebut. Selama kemerdekaan yang kita dapatkan mengganggu kemerdekaan orang lain maka itu bukanlah kemerdekaan. Kemerdekaan sejati bukan hanya menyerap kebahagiaan di hati, tetapi juga menyebarkan kebahagiaan pada orang lain. Karena itu, kebebasan harus diatur agar menjadi jalan membangun harmoni dan kedamaian.

Selagi kemerdekaan berhenti di fisik, maka orang tidak menemukan kebahagiaan. Kesenangan iya. Ketahuilah kemerdekaan fisik sebagai wadah untuk bisa mencapai kemerdekaan hakiki. Jadikanlah kemerdekaan lahiriah menggerakkan kita untuk fokus meraih kemerdekaan hakiki. Bicara merdeka, berarti juga ada penjajahan. Adalah orang secara fisik telah meraih kemerdekaan, tapi jiwanya sedang terpenjara dan pesakitan. Bagaimana tandanya bahwa jiwa ini masih terjajah? Tanda orang terjajah, dia sedang gelisah, resah, penuh keluh-kesah.

Ada tiga penjara yang membelenggu manusia menggapai kemerdekaan. Selagi manusia belum bisa mendobrak, meruntuhkan, atau menerobos tiga penghalang ini, manusia tidak mengecap kebahagiaan yang sempurna. Apa saja tiga penjara yang harus diterobos itu?


Pertama, kebodohan. Kebodohan identik dengan kegelapan, sementara ilmu identik terang cahaya. Adakah orang bahagia dikala terjebak dalam ruang gelap gulita. Tentu saja tidak bahagia. Seperti seorang wanita berada di sebuah ruang yang dikelilingi temaram cahaya lampu. Mendadak lampu mati, ruang berubah menjadi gelap gulita. Wanita itu dicekam ketakutan, bahkan teriakan histeris. 

Ditingkahi bayangan-bayangan yang makin menyeramkan. Apalagi dia sendirian. Bahkan bunyi berderit lampu, dikira ada jin yang masuk, hendak menguasai rumah itu. Bermacam ketakutan menyeruak begitu saja tanpa kendali. Hingga lampu itu menyala kembali, segala bentuk ketakutan sirna begitu saja. Orang yang bodoh akan digerakkan oleh prasangkanya. Setiap prasangka tidak mengandung keyakinan, dan sangat rapuh. Karena itu, perlu kita berjalan dengan menggunakan ilmu.

Jika ilmu membuat orang bahagia, mengapa ada sebagian orang berilmu, kebahagiaannya tidak juga bertumbuh. Seolah berjalan di tempat. Tidak setiap ilmu menyuntikkan kebahagiaan ke relung hati. Karena kita berbicara seputar spiritualitas, maka ilmu yang membawa orang pada kebahagiaan adalah ilmu yang memandu kita untuk mengenal diri, lalu mengenal Allah. 

Itulah ilmu makrifat. Karena pengetahuan tentang diri dan Allah akan menjagakan kesadaran kita bahwa yang menjadi muasal dan tujuan kehidupan kita adalah Allah. Setidaknya dengan ilmu, kita mengerti peta sekaligus tujuan dari perjalanan yang kita tempuh. Ilmu seperti cahaya selalu menunjukkan, menerangi, dan menuntun kita agar selamat di perjalanan hingga tujuan.

Kedua, hawa nafsu. Ketika orang telah menyimpan ilmu, sekaligus menyingkap siapa sebenarnya diri kita. Hanya saja, ilmu masih sebatas ilmu, sebagai sebuah teori. Ilmu tersebut harus ditempuh dengan amal agar kelak merangkum ahwal dalam batin. Setelah melintasi kebodohan dengan datangnya ilmu, kita akan menemui tantangan berikutnya. Tantangan ini tentu saja bukan dari luar, tapi dalam diri kita sendiri. Yakni hawa nafsu. Nafsu apa saja yang kerap membelenggu manusia? Nafsu syaithaniyah, nafsu bahimiyah, nafsu syabu’iyah, dan nafsu rububiyah. 

Agama memberi kunci untuk mengendalikan beberapa nafsu tersebut. Shalat sebagai kunci mengendalikan nafsu syaithaniyah. Zakat sebagai kunci mengikis kuasa nafsu bahamiyah. Puasa sebagai kunci untuk mengikis nafsu syabu’iyah. Dan haji sebagai kunci mengikis nafsu rububiyah. Akan tetapi, ternyata rukun Islam—kadang masih kurang efektif untuk mengikis nafsu tersebut, maka tarekat dibentuk untuk mengefektifkan syariat. Nafsu Syaithaniyah dikikis dengan zikrullah. Nafsu bahimiyah dikikis dengan menjauhi pergaulan duniawi melalui uzlah. Nafsu syabu’iyah dikikis dengan al-ju’ (mengurangi makan-minum). Sementara nafsu rububiyah dengan shumt (diam).

Ketika orang telah menjalani empat rukun mujahadah ini, insya Allah terbuka jalan pembebasan dirinya dari kuasa hawa nafsu. Ketika orang telah melakukan mujahadah terus-menerus, maka pada ujungnya insya Allah terbuka hidayah jalan menuju Allah, sehingga dia bisa mereguk air makrifat.

Ketiga, keakuan. Setelah orang sanggup menerobos hawa nafsu, ternyata dia dihadapkan pada tantangan berikutnya. Inilah tantangan terbesar. Jika hijab menempel pada manusia, maka bisa-bisa dia sudah nyaris tiba di puncak, lalu melorot ke titik terbawah. Seperti halnya Iblis—nama awalnya Azazil—telah menumpuk pundi-pundi pahala bahkan derajat di sisi Allah, akan tetapi hanya karena memercik keakuan darinya, merasa dirinya lebih baik daripada Adam, maka dia harus menerima dirinya diusir dari surga.

Tak jarang, ketika orang telah menggapai kesuksesan, kemudian timbul klaim bahwa pencapaian itu karena usahanya. Karena upayanya. Pada mulanya, dia begitu mengagungkan pencapaian, lalu kemudian diam-diam mengagungkan dirinya yang telah meraih pencapaian itu.

Bagi orang yang telah mengenal Aku yang sejati, maka dia tidak lagi merasa ada. Karena yang sebenarnya ada hanya Allah Swt. Segalanya dipandang sebagai manifestasi kehadiran Allah. Dia tenggelam dalam kesadaran laa hawla walaa quwwata illaa billah. Inilah yang merdeka dari akunya sendiri. Dan merasa dirinya hanyalah sebagai obyek yang digerakkan dengan tangan kuasa Allah. Seperti halnya laron yang merindukan cahaya. Dia terpesona dengan cahaya, sehingga dia rela mati asalkan bisa menyentuh cahaya. Orang yang telah merindukan Allah, dia telah berhasil menegasi dirinya, dan menyadari yang ada hanyalah Allah.

BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang