Ketika Segala Keinginan Tergenapi
24 August 2024
Setiap jiwa menghendaki agar
keinginannya terpenuhi. Benarkah kebahagiaan berkait dengan terpenuhinya
keinginan? Keinginan yang terpenuhi hanya mengisi ruang-ruang kesenangan kita.
Iya, kita menghirup rasa senang ketika keinginan tergenapi. Dan sejatinya
tidaklah orang bisa menggenapi keinginan, karena keinginan selalu tumbuh jika
tak dikendalikan.
Keinginan—sebenarnya—pencipta jarak
antara kita dengan kebahagiaan. Makin banyak dan berderet keinginan menandakan
makin tebal dan panjang jarak kita dengan kebahagiaan. Lalu, ketika satu
keinginan terpenuhi bukan berarti telah selesai. Karena kemudian disusul oleh
keinginan baru yang lebih besar.
Dahulu, ketika masih kuliah, karena
sering berjalan kaki dari kos ke kampus, seseorang merasa sudah senang jika
bisa memiliki sepeda motor. Allah pun memberinya sepeda motor. Setelah
mendapatkan sepeda motor, lalu dia tergerak hati untuk menikah. Dia sudah
membayangkan, bahwa sepeda motor bukan lagi kendaraan yang keren bagi orang
yang sudah menikah.
Ketika sudah menikah, minat yang mengemuka dari jiwanya adalah bagaimana cara punya rumah dan mobil. Punya tempat yang tetap untuk menetap, dan kendaraan untuk mobilitas. Selagi orang masih terus dikendalikan nafsunya, dia tidak akan pernah merasa cukup. Akan terus didera perasaan kurang dan kurang lagi. Hawa nafsu seperti anak kecil.
Mungkin
dia sangat menginginkan sesuatu, dan ketika sesuatu itu telah berada di
genggaman, dia sudah tak lagi berminat, malah menaruh minat pada barang yang
berada di genggaman orang lain. Tak jarang HP orang lain seolah lebih keren
daripada HP kita sendiri. Begitulah jejak hawa nafsu yang terus menyerbu
manusia.
Keinginan akan terus moving.
Bergerak dari satu terget ke target berikutnya yang lebih besar. Jika setiap
keinginan terpenuhi, mungkin kita telah memperoleh segala-galanya. Jika kita tidak
pandai menyikapinya, justru akan berdampak buruk pada mentalitas kita. Seperti
seorang ayah yang membesarkan anaknya dengan cara dimanja. Setiap keinginan
terpenuhi. Ketika setiap keinginan terpenuhi, kelak setelah dia berhadapan
dengan realitas yang keras, dan orang tuanya sudah tak lagi menyertainya, maka
dia akan mudah mengeluh bahkan putus asa dengan realitas yang terjadi.
Dia seperti ikan yang hidup dalam akuarium.
Ia bisa bertahan, karena telah mendapatkan segala apa yang dibutuhkan, tanpa
harus bergerak kesana kemari untuk mencari makan. Karena makanan telah
disediakan di akuarium, tanpa harus berebutan dengan ikan-ikan yang lain. Ketika
ia dilemparkan ke lautan lepas, alih-alih ia sanggup beradaptasi sekaligus
mencari makan, malah dia tidak bisa bertahan dalam situasi lautan yang begitu
menantang, dan harus berebut makanan dengan ikan-ikan yang lain. Kadang
berhadapan dengan ikan yang lebih besar. Malanglah kehidupannya, jika kemudian
dia jadi santapan mereka.
Saya menyerupakan orang yang selalu
dipenuhi keinginannya seperti orang yang menyukai sebuah makanan. Dan dia
selalu bertemu dengan makanan yang disukainya. Misalnya, dia sangat menyukai
makanan yang mengandung gula. Karena dia terus memenuhi keinginan pada yang
manis-manis, dampaknya dia terkena penyakit gula atau diabetes. Begitu pula,
setiap keinginan yang dipenuhi kadang mengendap menjadi penyakit di hati kita.
Di tengah kemudahan yang dinikmati, manusia
tidak lagi perlu bekerja sangat keras untuk mendapatkan yang hebat, sehingga
mereka cenderung menuju kehidupan yang rentan atau rapuh jika dibandingkan
orang terdahulu yang hidupnya serba terbatas. Jika mereka ingin menyuci baju,
misalnya, dia harus berjalan kaki dari rumah ke sungai atau ke pemandian. Dia
mencuci satu persatu tumpukan baju mereka. Mungkin memakan waktu untuk mengucek,
dan membilas baju tersebut. Lantas, dia pulang ke rumah untuk menjemurnya.
Di zaman modern ini, baju yang menumpuk
tidak perlu diambil pusing. Masukkan saja ke mesin cuci, cukup diberi air, dan
dibiarkan mesin itu berputar sendiri, sehingga baju itu menjadi bersih kembali.
Bahkan sekarang mesin cuci dilengkapi dengan pengering. Tak usah berlama-lama
menanti untuk mengenakan kembali baju tersebut. Pun setrika, sekarang sudah
tersedia yang lebih modern dengan menggunakan setrika uap. Sungguh, kemudahan
diturunkan terus-menerus pada manusia akhir zaman.
Hanya saja, tersebab kemudahan yang gampang dinikmati tersebut, manusia tidak lagi terlatih untuk bersabar. Ingin selalu berada di jalur hidup yang serba instan. Jika dia menginginkan ini, maka diharapkan lekas diperolehnya. Tak usah menunggu berlama-lama. Mau makanan berselera tinggi, tinggal pesan melalui GoFood. Tak usah menanti lama, makanan sudah siap dinikmati. Dampak negatifnya, manusia sekarang tidak bisa bersabar. Tidak sabar ngantri.
Jika kemudian dia menemui kenyataan yang tak
sejalan dengan harapannya, melonjaklah kemarahannya. Bahkan jika berkali-kali
kenyataan selalu bertabrakan dengan ekspektasinya, dia akan bisa jatuh dalam
kubangan stress, depresi, bahkan putus asa. Perkara tersebut mencuat, karena
manusia tidak terlatih bersabar dalam menghadapi kenyataan.
Keinginan yang terus terpenuhi bukan menumbuhkan apalagi menguatkan jiwa, tapi berdampak pada rapuhnya jiwa. Apa yang kita senangi, dan terus kita penuhi, kelak membuat keadaan kita menjadi buruk dan sama sekali tidak kita harapkan. Seperti orang yang gemar menenggak minuman keras, tentu saja kesenangan membanjirinya. Akan tetapi, tak perlu menunggu lama, minuman keras tersebut akan mengendap menjadi penyakit.
Berbeda tentunya dengan jamu yang pahit. Tak semua orang menyukai jamu. Namun jamu akan membuat orang menjadi kuat dan kokoh. Banyak orang terjangkit penyakit karena dia selalu memenuhi seleranya. Makanan apa saja yang disukai, langsung disantapnya. Tidak pernah memikirkan akibat lanjutan dari makanan tersebut. Sehingga banyak orang menderita penyakit yg beraneka ragam dan ‘aneh-aneh’, seperti penyakit liver, penyakit kolesterol, diabetes, TBC, dll. Sebagian besar faktor penyakit yang diderita seseorang adalah makanan. Tentu makanan yang berlebih-lebihan. Bayangkan, kalau kita sedang enak-enaknya makan, meski perut terasa sudah kenyang, ingin nambah lagi.
Perspektif Baru tentang Kebahagiaan
Kalau Anda ingin bahagia, memenuhi keinginan bukan jalan untuk mendulang kebahagiaan. Jika Anda memanjakan keinginan Anda, alih-alih Anda bisa meraup kebahagiaan, Anda hanya mendapatkan kesenangan yang remah-remah, atau mungkin hanya bayangan dari kebahagiaan. Iya, kesenangan, seolah, sisi palsu dari kebahagiaan.
Ketika seseorang sedang
memenuhi keinginan, hawa nafsunya mendapatkan makanannya, akan tetapi,
ruhaninya mengalami kelaparan, kesengsaraan, dan merana. Seolah, secara lahir,
orang sedang menumpuk kesenangan. Padahal, batinnya sedang mengeluarkan
kebaikan sekaligus memasukkan keburukan. Selama orang masih bergumul dengan
keburukan, tentu saja dia tidak menghirup kebahagiaan.
Al-Qur’an menegaskan kebebasan itu
hanya melemparkan orang pada kehidupan yang sengsara. Pada neraka. Sementara
orang yang mengendalikan keinginan, sedang berjalan menuju kebahagiaan surga.
Memang tempat menuju surga dipenuhi perkara-perkara yang tak disukai hawa
nafsu. Sementara tempat menuju neraka berserakan dengan perkara yang disukai
oleh hawa nafsu.
Kebahagiaan—sekali lagi—didulang dengan mengendalikan keinginan, bukan mengumbar keinginan. Karenanya, kalau Anda ingin bahagia, perlu diawali dengan membangun jarak pada kebiasaan-kebiasaan nafsu. Kalau Anda menyadari bahwa nafsu menyukai tidur, maka bergeraklah untuk mengurangi tidur.
Mengurangi tidur sebagai upaya untuk membangun jarak dengan
kebiasaan benda mati. Benda mati tidak menyadari dirinya serta apa yang
tergelar di luar. Begitu juga orang yang sedang pulas dalam tidur yang dalam
tanpa mimpi, biasanya dalam kondisi kosong. Tidak menyadari apa-apa. Tidak
menyadari dirinya, juga apa yang terserak di luar dirinya.
Kita perlu menyalakan kesadaran ruhani
dengan mengurangi (diet) tidur. Mengurangi tidur bukan berarti tanpa
aktivitas. Mengurangi tidur untuk mengaktivasi kesadaran tentang Allah.
Nafsu juga punya kecondongan
makan-minum. Makan minum jadi kecondongan tanaman. Kita kurangi kebiasaan
makan-minum untuk membuat kita tidak terlalu melekat dengan kebiasaan tumbuhan.
Kita perlu mengubah mindset, hidup bukan untuk makan-minum, melainkan
makan dan minum untuk hidup sekaligus mengisinya dengan beribadah kepada Allah.
Dengan berpuasa, insya Allah akan mengundang hadirnya ibadah dalam hidup kita.
Nafsu suka bergaul, tidak kuat sendirian. Inilah kebiasaan hewan yang suka bergaul. Karenanya, ia selalu tergerak untuk mencari teman untuk diajak berbincang bermacam hal. Jika Anda sadar, nafsu menyukai pergaulan duniawi, maka Anda kurangi segala koneksi yang hanya semakin menyuburkan kecintaan terhadap dunia.
Luangkan waktu barang berapa
hari untuk menikmati kesendirian, keheningan, sembari merenungi tentang hakikat
diri sendiri. Anda akan sampai pada sebuah pengalaman bahwa ternyata menyendiri
bersama Allah itu menyajikan kenikmatan tersendiri. Kita tak lagi terbawa untuk
banyak menilai orang lain, tapi lebih fokus untuk menilai dan membenahi diri
sendiri.
Demikianlah, cara membawa kita pada
kejernihan jiwa. Pergaulan duniawi yang tak terkendali bagaikan sebuah
lingkungan yang berhamburan dengan polusi. Selagi Anda sering disana, dadamu
akan sesak. Karena itu, jauhilah lingkungan tersebut untuk membersihkan
paru-paru jiwamu dari polusi ruhani. Masih segar di ingatan saya ucapan Guru
Mulia, “Murid yang sejati menyukai kesendirian dan keheningan”. Ketika dia
hadir dalam sebuah pertemuan, tidak bisa berlama-lama. Karena kenyamanan
diperoleh dikala menyendiri. Menyendiri bersama Allah.
Terakhir, nafsu suka bicara. Sebagai
kebiasaan khas manusia. Dia bersemangat ketika pembicaraannya mendapatkan
anggukan dan sambutan hangat dari audiens. Dia ingin terus berbicara, tentu
saja agar tampak cerdas dan berilmu. Terlebih, tak jarang orang jatuh pada
pembicaraan yang sia-sia. Karena nafsu punya kegandrungan berbicara, maka kita
lawan dengan diam. Diam yang terpandu akan sangat efektif untuk menyerap
hikmah. Menjadi pintu terbukanya pencerahan.
Dari pemaparan di atas, kita bisa
menarik semacam kesimpulan bahwa kebahagiaan didapatkan bukan dengan menuruti
hawa nafsu, melainkan justru dengan mengendalikan hawa nafsu. Ketika orang
telah berhasil mengendalikan hawa nafsu, maka dia akan senantiasa berada dalam
kesehatan batin.
Begitu juga, kalau selama ini, kita
merasa terbelenggu dalam penderitaan atau terjangkit penyakit batin, perbanyak
lakukan mujahadah yang keras, insya Allah hati kita akan kembali sehat.
0 comments