Mengupas Diri
21 October 2024
Mari kupas
diri kita hingga kita menemukan hakikat diri. Selama ini, mungkin kita terjebak
pada prasangka bahwa diri kita adalah yang fisik. Yang bisa diindra. Tak ayal kita
menghabiskan waktu untuk memenuhi kebutuhan fisik. Meski alarm sering hadir di
hadapan kita, karena ternyata meski kebutuhan fisik telah terpenuhi,
kebahagiaan tidak mengisi jiwa kita. Kita terkapar dalam penderitaan.
Demi memahami
diri kita, Guru mulia mendemonstrasikan contoh berupa bawang merah. Bawang merah
terdiri dari lapisan kelopak demi kelopak. Kalau kita kelupas kelopak demi
kelopak bawang merah tersebut, sehingga pada kelopak terakhir, sudah tidak ada
apa-apa lagi. Lalu, sebagian berpandangan bahwa bawang merah identik dengan
kumpulan kelopak demi kelopak. Persepsi ini keliru.
Ketika orang menguliti sampai pada kupasan terakhir dari bawang merah, bukan berarti tidak ada apa-apa. Disana ada yang tak bisa dilacak oleh mikroskop sekalipun. Yang tanpa itu, bawang merah tidak ada dan tidak tumbuh. Apa itu? Itulah hidup. Manusia tak bisa melihat hidup itu sendiri, tanpa melihat gejala dari hidup. Serupa dengan energi listrik.
Tidak ada yang bisa melacaknya, tapi bisa
mengamati indikator dari energi listrik. Ketika kabel dicolokkan ke stop
kantak, AC yang semula tidak hidup lalu kemudian menjadi hidup. Televisi yang
sebelumnya tidak berfungsi atau mati, tiba-tiba memancarkan gambar-gambar.
Televisi yang memunculkan gambar, AC yang menyebarkan udara yang dingin
hanyalah indikator adanya energi listrik. Tapi energi listrik sendiri tidak
bisa dilihat, meski bisa diukur berapa dayanya.
Manusia, sekali lagi, tidak identik dengan fisik. Fisik hanya serupa kendaraan. Karena manusia yang sejati tidak pernah berubah. Sementara fisik bisa berubah. Dulu, ketika masih muda, otot masih kuat, mengangkat beban yang berat terasa enteng, kulit masih terlihat kenceng. Setelah tubuh menua, terlihat kisut dan mengerut, mengangkat beban yang berat sudah tidak kuat seperti dulu, tubuh mudah lelah. Banyak hal berubah.
Jika manusia
identik dengan fisik, ketahuilah bahwa fisik berubah. Padahal esensi manusia
tidak pernah berubah. Mungkin sebagian memandang diri identik dengan pikiran.
Pikiran juga akan berubah. Ada seseorang yang sangat mendukung dan getol
mempromosikan sebuah pemahaman keberagamaan, sembari mencela pandangan yang
lain. Akan tetapi, kini berbalik menjadi orang yang memusuhi pemahaman yang
dulu pernah didukungnya mati-matian, sembari mendukung pemahaman yang mereka
cela dahulu. Pemikiran mengalami transformasi sejalan dengan pertumbuhan jiwa
dan kedewasaannya.
Kepribadian
juga demikian. Mungkin dahulu, seseorang memiliki kepribadian yang “kemproh”,
acak-acakan, tapi dengan berjalannya waktu dia mulai menampilkan kepribadian
yang rapi, bersih, dan menawan. Dulu mungkin seseorang kalau berbicara terkesan
ketus, cuek, dan tak hirau dengan masukan orang lain. Kini, telah berubah
menjadi orang yang ramah, empati, dan tulus dalam membantu orang lain.
Dari situ,
kita menilai bahwa personalitas bisa berubah. Suatu yang berubah, sekali lagi,
bukan diri kita yang sejati. Karena dimensi kesejatian kita tidak pernah
berubah. Bagaimana kita menyingkap diri kita yang sejati?
Cobalah
pelan-pelan Anda telusuri diri Anda. Mungkin Anda secara fisik, pikiran, dan
kepribadian berubah. Tapi Anda sadar bahwa Anda yang dulu adalah Anda yang
sekarang. Anda yang sekarang berpenampilan rapi, iya adalah Anda yang dulu
perpenampilan awut-awutan dan acak-acakan. Mungkin ada mengubah namanya, bukan
hanya mengubah namanya juga mengubah wajah dengan melakukan operasi plastik.
Anda mencoba bertanya padanya, apakah Anda merasa bahwa dirimu yang berwajah
biasa saja, dan kini berubah menjadi cantik karena operasi plastik sudah
berbeda. Tentu saja menyingkap kesadaran terdalam Anda bahwa Anda merasa sama.
Yang sama itu adalah diri Anda yang sejati.
Diri kita yang sejati justru tidak berbentuk, tanpa menjadi penopang dari semua keberadaan kita. Karena tanpanya, sejatinya kita tidak ada. Seperti orang yang sudah meninggal. Eksistensinya hilang bersamaan dengan kematian yang merenggut dirinya. Orang menyebutnya telah meninggal dunia. Kalau direnungkan, sebenarnya yang meninggal dunia yang mana? Mungkin tersiar kabar bahwa Pak Dadang meninggal dunia.
Setelah kita melayat ke rumahnya, kita menemui tubuh Pak
Dadang tergeletak, terbujur kaku. Tak ada satu pun yang berkurang dari tubuh
Pak Dadang. Masih lengkap semuanya. Kiranya apa yang meninggalkan dunia? Yang meninggalkan dunia adalah ruhnya. Ruh
tidak terlihat, dan tidak pernah dibahas. Hanya saja, kehidupan kita ditopang
oleh karena adanya ruh. Ketika ruh meninggalkan fisik, maka manusia sudah tak
lagi memiliki kehidupan.
Lalu apa yang menjadi kerinduan ruh? Tidak ada yang menjadi kedambaan ruh, kecuali mengenal Allah. Makrifatullah. Siapa yang telah meraih makrifatullah, maka manusia telah menggapai untuk apa dia diciptakan oleh Allah.
0 comments