Bagaimana Bersyukur Dikala Musibah Datang?
18 November 2024
Pada saat sesi tanya jawab dibuka, seorang ibu mengajukan pertanyaan, “Kalau bersyukur ketika mendapatkan nikmat sudah barang tentu mudah dilakukan. Tapi, kalau bersyukur ketika dihantam musibah, tentu syukurnya terasa terpaksa. Bagaimana orang masih bersyukur dikala musibah datang?”
Pertanyaan ini boleh jadi mewakili hati banyak orang. Karena lazimnya orang bisa mengekspresikan syukur ketika nikmat datang. Dan rasanya sulit mengungkapkan rasa syukur di saat musibah menerjang. Manusia bukan robot yang mampu bereaksi pada dua kenyataan yang sama dengan cara yang sama. Reaksi manusia bukan terkait oleh kenyataan yang hadir, akan tetapi sangat terkait pada cara pandang yang dipakai. Ketika bisa mengambil cara pandang yang positif, maka insya Allah respon—reaksi—yang dihadirkan juga positif. Sebaliknya, cara pandang yang negatif akan menerbitkan respon yang negatif juga.
Begitu juga dengan musibah yang datang, setiap orang merespon sejalan dengan keluasan dan derajat ilmunya. Mungkin saja Anda mendapati orang terkubur dalam kesedihan ketika musibah datang menerjang, namun yang lain malah menunjukkan kebahagiaan. Kalau ditanya pada masing-masing orang tentang musibah, insya Allah kita akan menemukan cara pandang yang berbeda. Karena sekali lagi, cara pandang yang berbeda akan melahirkan respon yang berbeda. Respon yang berbeda akan mengirimkan vibrasi rasa yang berbeda pula. Respon negatif akan mengirimkan vibrasi penderitaan, sementara respon positif merambatkan vibrasi kebahagiaan.
Tiga Kategori Orang Yang Menghadapi Musibah
Kategori pertama, menghadapi musibah dengan sabar. Seseorang bersabar ketika memandang musibah dan nikmat sebagai realitas yang berlawanan. Musibah dipandang buruk. Buruk dalam artian tidak sejalan dengan keinginan. Sementara nikmat dipandang baik (karena sejalan selera). Ingin rasanya hidup hanya dikelilingi oleh nikmat dan nikmat saja. Akan tetapi, karena ada iman dalam hatinya, dia sangat menyadari bahwa musibah dan nikmat sama-sama datang dari Allah. Dan Allah tidak meluncurkan sebuah program secara random, acak-acak, tak beraturan.
Semua realitas yang mengemuka telah dirancang dengan ilmu dan pengaturan Allah yang bijak. Menyadari semua kejadian didasari dengan ilmunya Allah, maka sudah barang tentu di sana ada pelajaran yang bisa dipetik. Memang, pelajaran tidak bisa kita rasakan sekarang. Baru kita sadari beberapa saat setelah takdir itu berlalu. Dan menyadari bahwa realitas satu dengan realitas yang lain memiliki keterkaitan secara kelindan. Karena tidak ada yang salah dalam takdir, karena diramu dengan ilmunya Allah, yang menunjukkan bahwa setiap takdir menyimpan tujuan Allah. Dan Allah Maha Baik, sudah barang tentu tujuan dibalik semua realitas yang datang adalah kebahagiaan.
Iya, kita perlu menyadari tujuan di atas tujuan Allah adalah kebahagiaan. Bukankah manusia juga demikian? Ketika ditanya apa tujuan Anda, maka kita akan menjawab : tujuan saya bekerja keras untuk menggapai mimpi. Lalu, ketika semua yang kau impikan telah tercapai, apa kiranya yang menjadi tujuan Anda? Tujuan puncak dari sebuah perjuangan adalah bagaimana merasakan kebahagiaan. Iya, kebahagiaan adalah merupakan tujuan final yang tak memiliki tujuan lagi.
Sadarilah, bahwa segala realitas yang bertebaran di sekililing kita bertujuan akhir agar kita bahagia. Jadi tujuan di atas tujuan Allah adalah bahagia. Pemahaman seperti ini akan membawa kita pada tangga kesabaran demi kesabaran dalam menghadapi musibah. Dan kesabaran itu tidak ada batasnya. Apalagi, Allah tidak akan pernah menguji atau menurunkan musibah melebihi kapasitas hamba-Nya. Artinya, Allah tidak pernah overdosis dalam mencetuskan musibah. Iya, cara pandang demikian, akan semakin memperteguh kesabaran seseorang dalam menjalani musibah.
Ketegori kedua, menyikapi musibah dengan ridha. Kalau sabar, masih ada yang ditahan-tahan dalam hati. Sebenarnya ingin mengeluh, tapi menguatkan diri untuk tidak mengeluh, apalagi membocorkan keluhan pada orang lain. Kata guru saya, sabar itu ngempet. Ngempet tidak marah-marah. Ngempet tidak mengumbar keadaan buruk dirinya pada orang lain. Sementara ridha berangkat dari sebuah pandangan bahwa setiap realitas yang mengalir di medan kehidupan ini adalah yang terbaik.
Tahu bahwa realitas itu terbaik dari siapa? Yakin bahwa realitas yang menerpanya terbaik, karenanya meyakini semua kenyataan berasal dari Allah Yang Maha Baik. Sudah barang tentu Dia Yang Maha Baik hanya menurunkan kebaikan. Keburukan hanya versi manusia. Jika sejalan dengan keinginan, orang menyebutnya baik. Akan tetapi, ketika tidak selaras dengan keinginan, lalu disebut buruk.
Sikap ridha ini sebuah anugerah yang Allah berikan pada orang yang imannya sudah sampai pada level cinta. Bukankah seorang pencinta hanya melihat kebaikan dari yang dicintai? Memandang semua perkara yang mengalir dari yang dicintai terasa sempurna dan terbaik. Bagaimana mungkin tidak ridha, jika kita memandang Tuhan dengan kacamata cinta? Dia Maha Sempurna, Maha Baik, dan Maha Segalanya.
Di kala orang telah dihiasi sikap ridha, maka dia tidak terpengaruh dengan kenyataan yang menimpanya. Hatinya sudah seluas danau. Andaikan kau menebar garam di danau, meskipun banyak, maka garam tersebut tidak membuat danau asin. Sebaliknya, jika kita menaburkan garam di gelas, meski sedikit, maka akan terasa sangat asin. Dari sini, kita memahami bahwa orang yang ridha takkan mudah disakiti keadaan. Karena rasa sakit itu sebenarnya bukan berasal dari kenyataan, akan tetapi menandakan masih betapa sempit ruang jiwa kita.
Jika Anda menggerak-gerakkan besi di gelas, maka akan berbunyi gemerincing di gelas itu. Bahkan bisa membuat gelas tadi pecah. Sebaliknya, kalau Anda menggerak-gerakkan pedang sekalipun di ruang yang kosong lagi luas, maka Anda pedang itu sama sekali tak berbunyi. Dan tidak bisa menghancurkan ruang sedikit pun. Begitulah cerminan orang yang hatinya telah diliputi ridha, dia bukan hanya tidak terlukai oleh kenyataan yang datang, dia juga telah berhasil mendekap kenyataan dengan sempurna. Tidak aneh, jika orang yang menyakitinya, kadang didekap sebagai sahabat. Mengubah orang yang memusuhinya lalu menjadi sahabat yang sangat mencintainya.
Kategori ketiga, menyikapi musibah dengan syukur. Terkesan aneh, jika kita bisa bersyukur terhadap musibah. Bagaimana cara mensyukuri musibah? Bukankah selama ini, seseorang hanya bersyukur ketika mendulang nikmat? Sekali lagi, orang bersyukur sesuai dengan sudut pandangnya. Kalau seseorang memandang musibah sebagai nikmat yang tersembunyi, seseorang akan tergerak untuk bersyukur. Seorang kyai menumpangi sebuah bis.
Banyak sekali penumpang yang menaiki bis tersebut, tak sedikit orang yang terpaksa memilih berdiri, berdesak-desakan, dan berjejal. Di tengah kerumunan tersebut, tiba-tiba seorang pencopet mengambil dompet yang diselipkan di saku sang kyai. Segera setelah dompet itu berpindah di tangannya, si pencopet langsung lari dan keluar dari bis tersebut. Beberapa saat berikutnya, si kyai diberitahu bahwa beliau telah dicopet. Wajahnya tidak menunjukkan muka bersedih, bahkan sempat mengucapkan alhamdulillah. Beliau ditanya, “Mengapa kyai mengucapkan alhamdulillah, bukankah kyai sedang kehilangan dompet?”
“Saya bersyukur karena saat itu bukan aku yang menjadi pencopet, tapi aku justru yang dicopet. Anda bisa bayangkan, bagaimana jika Allah mengganti peran pencopet itu pada saya. Betapa malunya saya?”
Di suatu kesempatan ada orang kehilangan sandal. Sudah seharusnya dia menggerutu, merutuk keadaan, tapi justru wajahnya terlihat cerah berbinar. Bahkan diliputi rasa syukur. Mengapa dia bersyukur? Setelah ditelusuri, dia bersyukur karena dia hanya kehilangan sandal tidak kehilangan kaki.
Tak sedikit orang yang kehilangan kaki, sehingga dia tak bisa memakai sandal ke mana-mana. Kita harus mencari nikmat dibalik realitas sepahit apapun, niscaya kita bersyukur dalam setiap keadaan. Sadarilah, bahwa kita berada dalam samudera nikmat tak bertepi. Guru saya mengatakan, segala yang mengalir dari Allah adalah nikmat, sementara musibah hanya selingan saja.
Kalau kita tidak bersyukur dalam setiap keadaan, itu karena kita tidak memandang adanya nikmat yang mengalir. Kalau kita tidak menemukan nikmat, bukan karena tidak ada nikmat, melainkan mata hati kita yang tertutup untuk memandang nikmat. Maka, bagi orang yang hatinya terbuka, sepanjang mata memandang yang terlihat hanya lautan nikmat, bertebaran di mana-mana. Bagaimana mungkin orang yang sudah melihat semuanya adalah nikmat tidak bersyukur dalam setiap keadaan?
0 comments