Ketika Kematian Bertamu
04 November 2024
Jumat kemarin, tepat tanggal 25 Oktober, saya berkesempatan untuk menyampaikan khotbah di Masjid Hasan Sya’roni. Sebuah masjid yang berada di perkampungan saya tinggal. Semolowaru Selatan. Di kesempatan tersebut, saya membawakan ceramah, yang tak pernah saya khotbahkan di masjid manapun. Yakni tentang kematian. Di waktu malamnya, melintas ide untuk menyampaikan khotbah terkait kematian.
Saya hendak menyuguhkan perspektif berbeda tentang kematian. Tak sedikit orang yang memandang kematian bagaikan suasana yang sangat mencekam, menakutkan, dan setiap orang ingin bergegas lari darinya. Atau mungkin ada yang memandang kematian sebuah penghentian terakhir, yang dibayangi oleh kekosongan. Seolah setelah kematian tidak ada apa-apa. Dulu tiada, lalu ada, lalu tiada lagi. Seakan hidup berlalu begitu saja, tanpa ada pertanggung jawaban. Itulah pendapat yang beredar di kalangan atheis.
Kematian, justru, sebuah pintu gerbang seseorang menuju alam baqa. Kekekalan. Selama di dunia orang berada dalam kondisi fana. Serba tidak kekal. Di kala orang sedang merengkuh kekayaan, kekayaan tidak selamanya berada di genggaman. Bahkan kehidupan ini mengalir dari nafas ke nafas. Dan kita sama sekali tidak bisa memastikan tentang apa yang terjadi beberapa menit berikutnya. Semua yang kita miliki hanyalah klaim yang semu. Karena nyatanya tak bisa dipertahankan ketika kematian datang merenggut.
Suatu saat, ketika Raja Dzulkarnain merasakan kehidupan akan segera berakhir, dia menyampaikan wasiat pada seluruh keluarganya, juga pada para pelayannya, “Wahai keluargaku, jika kelak saya mati, tolong ketika jenazah saya dimasukkan ke keranda, kalian biarkan tangan saya dikeluarkan dari keranda. Serta pilihlah dokter terbaik untuk mengiringi prosesi pemakamanku”, wasiatnya.
“Untuk apa raja?”, sebagian mereka bertanya.
“Untuk memberikan pelajaran pada seluruh rakyatku, bahwa Raja Dzulkarnain, penguasa wilayah barat dan timur, ketika kematian telah merenggutnya, dia menuju ke pemakaman tidak membawa apa-apa. Tangannya kosong. Dan, meski dia telah dirawat oleh dokter terbaik di kerajaannya, dokter tak sanggup menghalangi datangnya kematian”.
Sebuah nasihat indah dari Raja Dzulkarnain. Bahwa manusia tidak memiliki apa-apa, dan bahkan manusia dimiliki oleh Tuhannya. Dia dalam genggaman Tuhannya. Seluruh kebesarannya memudar dan redup setelah kematian merenggutnya.
Mengingat kematian bukan membuat orang kemudian terpuruk dalam keputus-asaan. Dengan mengingat kematian, seseorang akan menggali makna dibalik kehidupan yang dijalani. Semakin orang mengingat kematian, justru dia bisa menyelami kehidupan sejati. Sebuah kehidupan ruhani dimana oase kedamaian terbentang.
Tidak selesai disitu, ketika orang mengingat kematian, justru semakin tergerak untuk bekerja keras mengumpulkan bekal setelah kematian. Mungkin, dia bekerja lebih keras lagi, memberi nafkah yang terbaik untuk keluarga, berdonasi untuk sesama, dengan diniati beribadah. Diharapkan kerja kerasnya akan menjadi kebaikan yang mengalir meski kematian telah merenggutnya. Bukankah amal khoiriyah semacam amal yang akan terus mengalir pahala bagi pengamalnya yang telah mati selagi amal tersebut memiliki dampak positif bagi orang lain.
Selain itu, kalau kita ingin membersihkan hati, memperkuat semangat bertobat pada Allah, maka kita perlu mengingat kematian. Bukankah kematian disebut sebagai nasihat? “Cukup kematian sebagai nasihat”. Kematian memang tidak berbicara, diam seribu bahasa, tapi justru lebih fasih dari kata-kata yang sampai berbusa-busa.
Dengan mengingat kematian, dan setiap orang meyakini akan menjumpai kematian ini, seseorang tergerak menyiapkan amal, juga menyiapkan hati yang bersih dalam menghadapi kematian. Bahkan, disebut, hati manusia sering berkarat, seperti besi yang ditetesi air. Lantas bagaimana cara membersihkannya? Caranya dengan membaca Al-Qur’an dan mengingat kematian. Jadi, mengingat kematian sangat membantu bersihnya hati. Padahal Allah hanya menerima orang yang datang padanya dengan hati yang bersih?
Bahkan, agar kita tidak terlalu terbelenggu oleh berbagai tuntutan duniawi yang semakin ketat, sesekali kita mengingat kematian. Karena dalam kacamata kematian, urusan duniawi seruwet apapun akan terasa ringan. Ketika Anda merasa hidupmu nelongso, cobalah datang ke pemakaman umum.
Ketahuilah, semua orang yang berada disana, ingin kembali dihidupkan, dan apabila hidup ingin melakukan amal kebaikan. Anda sedang dianugerahi kehidupan, maka pergunakan hidup dengan menjalani sebaik-baik ibadah kepada Allah. Dari sini, kita bisa memahami mengapa orang yang cerdas adalah orang yang senantiasa menilai dirinya, lalu sikap melakukan amal untuk bekal setelah kematian? Karena ketika kematian merenggut kita, peluang kita untuk beramal sudah habis, dan masa pertanggung-jawaban atas seluruh perbuatan terbuka di hadapan kita.
Anda harus memiliki waktu untuk mengingat kematian. Sebuah pintu masuk untuk melakukan muhasabah terhadap diri sendiri. Karena jika Anda memandang hidup masih lama, maka Anda akan selalu menunda-nunda untuk bertobat kepada Allah. Padahal, kematian tidak pernah mengabarkan jauh-jauh hari pada Anda, kapan dia merenggut semua kelezatan yang sedang Anda cicipi. Kematian tidak hanya datang pada orang yang sakit. Orang yang sedang sehat dan bugar, bisa saja disambar kematian. Bahkan yang sakit, tidak kunjung menjumpai kematian. Kematian tidak hanya menemui orang yang sudah tua, anak muda juga bisa ditangkap oleh kematian.
Dimana saja kau berada, kematian akan sanggup merenggut, menangkap, dan dan menyergap dirimu. Bahkan, andaikan Anda bersembunyi di benteng yang kokoh lagi tinggi, kematian akan tetap berhasi menjangkaumu. Tidak ada yang bisa menghalangi kematian datang merenggutmu.
Kematian dalam perspektif
Bagi orang yang jauh dari Allah, kematian sangat menakutkan, membuat seluruh kulit gemetar ketika mengingatnya. Sudah membayangkan, bagaimana siksa akan datang bertubi-tubi. Dia ingin terus hidup, dan ingin berpaling dengan kematian. Apakah Anda menghendaki atau tidak, kematian akan tetap tiba, menekuk dan mencabut ruh Anda. Hanya saja, ketika manusia meletakkan cintanya yang berlebihan terhadap kehidupan dunia, dia akan senantiasa disusupi kekhawatiran dan ketakutan dengan kematian.
Karena kematian, diyakini, akan memisahkan dirinya dengan semua pesona duniawi yang sudah dirasakan selama ini. Ketika orang telah melekat cintanya pada duniawi, maka dikhawatirkan kelak akan mati dalam keadaan buruk (suul khotimah). Kenapa demikian? Karena bagi orang yang mencintai duniawi, kematian adalah momen dia harus dipaksa berpisah dengan yang dicintainya.
Tentu berbeda dengan orang yang jatuh cinta pada Allah, kematian justru menjadi gerbang perjumpaan dengan Allah Swt.
Di kala Jalaluddin Rumi memasuki detik-detik kematiannya, murid-murid duduk mengelilingi beliau, sembari menangis. Dibayangi kekhawatiran yang sangat dalam bagaimana jika ditinggal oleh Sang Pengasuh jiwa mereka. Tiba-tiba Syaikh Jalaluddin Rumi menyela, “Mengapa kalian menangis? Bukankah sudah lama momen ini saya nantikan. Sebuah momen perjumpaan dengan Kekasih, Allah Swt?”
Sebuah kalimat pamungkas. Bahwa seorang kekasih sangat merindukan kekasihnya. Dan gerbang untuk melepaskan kerinduan itu adalah melalui kematian. Kematian hanyalah sebuah batas bagi manusia dari menikmati kehidupan yang sementara, menuju kehidupan yang abadi.
Ada kisah yang menarik tentang Nabi Ibrahim dan Malaikat Maut. Nabi Ibrahim berkata pada Malaikat Maut ketika dia datang untuk mencabut ruhnya. “Apakah kau melihat kekasih membunuh kekasihnya?” Maka kemudian Allah mewahyukan pada Nabi Ibrahim. “Apakah melihat kekasih benci bertemu dengan kekasihnya?”
Lalu Nabi Ibrahim berkata, “Wahai malaikat maut, sekarang cabutlah!”
Bagi orang yang hatinya dikuasai cinta pada Allah, kematian justru menjadi jalan melepaskan semua kerinduan pada-Nya yang terus menggelora di hatinya.
0 comments