Memaknai Tawakkal
10 December 2024
Dalam kisah Nabi Musa AS dan Sayyidina Khaidir AS, kita mendapati sebuah fragmen, bahwa Khaidir AS membangun ulang sebuah rumah yang nyaris roboh, dan ambrol. Setelah memperbaiki gubuk tersebut, Nabi Khaidir AS tidak meminta upah. Beliau diminta oleh Allah untuk membangun gubuk tersebut.
Setelah dicermati, mengapa Nabi Khaidir AS digerakkan untuk membangun ulang gubuk tersebut. Karena di bawah gubuk tersebut, seorang ayah—sudah wafat—meninggalkan harta untuk anak yatim yang ditinggal. Si ayah bukan hanya meninggalkan harta, tapi juga sangat bulat tawakkalnya pada Allah. Sebagai buah tawakkalnya, Allah tidak hanya menjaga anak yang ditinggalkan, tapi juga menjaga warisan yang harta buat anaknya. Karena kalau gubuk itu ambruk, dimungkinkan harta yang disimpan di bawah gubuk itu akan terlihat, dan akan diambili oleh paman yang selama ini memelihara anak yatim tersebut.
Dari situ kita menemukan sebuah kisah sederhana tentang kekuatan tawakkal. Bahwa ketika seseorang telah menyerahkan suatu urusan pada Allah, maka Allah akan menjaga amanah yang diserahkan pada-Nya.
Tentu Anda perlu tahu terlebih dahulu, apa itu tawakkal?
Dalam kitab Jami’ul Ushul fil Awliyai disebutkan bahwa tawakkal adalah keyakinan adanya keadaan dan kekuatan tentang perbuatan Allah. Dari situ, ditegaskan bahwa setiap realitas bersumber dari Allah Yang Mahakuasa.
Tawakkal tanda aktifnya iman. Dan iman sendiri bagaikan nyawa agama yang tumbuh dari dalam hati kita. Tanpa iman, jiwa kita tidak mengalami kehidupan. Tanda tidak tumbuhnya kehidupan ruhani, kita tak pernah merasakan kedamaian. Tanda matinya iman adalah matinya tawakkal. Tentu kita harus menggali terlebih dahulu apa makna dari tawakkal? Tawakkal menjadikan Allah sebagai wakil dari masalah yang kita hadapi.
Kita memang wakil Allah di muka bumi, akan tetapi kita jangan pernah merasa bisa segala-galanya. Meski kita telah menjalani tugas sebagai hamba sekaligus khalifah Allah, hati kita harus terus disandarkan pada Allah. Bukankah hanya—ketika—bersandar pada Allah, kita akan mengalami stabilitas ruhani. Kedamaian jiwa. Kita boleh bekerja keras, merancang dan menempuh bermacam strategi, namun hati kita tetap bersandar pada Allah. Tidak berpaling pada yang lain.
Berbincang tentang keyakinan lebih banyak mendapatkan reaksi, karena makin defisitnya keyakinan di masyarakat. Keyakinan di sini dalam konteks keyakinan pada Allah. Ketika teknologi makin canggih, orang justru bergeser pada kebergantungan terhadap teknologi, dan memandang segala hal yang bersumber dari teknologi terkesan wah. Inilah menjadi cikal bakal orang lebih mengagungkan sains daripada agama. Bahkan memandang agama membonsai atau menghentikan kemajuan sains.
Sebenarnya antara agama dan sains tidak usah dipertentangkan. Keduanya bisa berjalan beriringan. Sains bersumber dari hukum alam yang disertai observasi dan penelitian yang terus-menerus. Sementara agama adalah kebenaran yang bersumber dari Allah bagaimana memandu kehidupan menggapai kebahagiaan. Hadirnya agama dan sains akan mendukung terciptanya peradaban.
Demikian juga, usaha dan tawakkal tak usah dipertentangkan. Keduanya bisa sama-sama berjalan dalam kehidupan. Tawakkal merupakan upaya konektivitas kita dengan Allah. Sementara sains memandu kita untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terus bergerak. Meski di luar terus bergelombang, mengalami perubahan yang mendadak, ketidakpastian yang terus menerjang, karena tawakkal, maka hati akan selalu diberi ketenangan dalam mengarungi kehidupan yang tidak pasti.
Boleh digambarkan, usaha seperti kapal yang terus bergerak sampai pada pelabuhan terakhir. Sepanjang berlayar, tentu saja kapal tidak mendapati keadaan yang aman-aman saja. Tentu saja nahkoda harus memikirkan segala kemungkinan terburuk yang menimpa kapal ketika kapal sudah lepas dari pelabuhan. Boleh jadi, tiba-tiba ada badai yang menggoncang, membuat kapal oleng di tengah jalan. Akan tetapi, sudah disiapkan sebuah sistem yang canggih. Bagaimana telah disediakan jangkar yang kuat, sehingga kapal kelak tidak mudah oleng, apalagi karam.
Di permukaan kehidupan, kita akan menemui kondisi yang tidak pasti, tidak beraturan, dan berubah-ubah. Secara lahir, kita harus terus mengendalikan keadaan yang ada di luar, tapi hati kita hanya berdiam bersama Allah. Karena sejatinya kita tak bisa mengontrol kondisi yang berada di luar, bahkan kita pun tak bisa mengontrol keadaan diri kita sendiri. Kesemua keadaan di luar dan di dalam mutlak berada dalam kendali Allah SWT. Dan kita mengenal bahwa Allah Mahakuasa lagi Mahabaik, maka tidaklah kita terpandu kecuali berada di jalur kebaikan demi kebaikan.
Tawakkal tidak berada di wilayah fisik dan pikiran. Melainkan berada di wilayah hati. Dengan demikian, tawakkal tidak menghentikan usaha. Apalagi berpangku tangan. Justru tawakkal semakin menambah energi dalam usaha, karena tidak lagi dibayang-bayangi oleh ketakutan dan kecemasan.
Sebaliknya, tanpa tawakkal, seseorang mungkin bekerja dengan sangat keras. Akan tetapi, meski telah bekerja keras, hatinya disusupi perasaan khawatir, juga dibayangi bagaimana jika apa yang diusahakan kandas, alias gagal. Kecemasan yang terus menghantui dan menggerogoti jiwanya telah membuang energi positif, dan membiarkan energi negatif menguasainya. Walhasil, orang ini tidak bisa memanen kebahagiaan ketika menjalani proses. Padahal, kebahagiaan tidak terletak pada pencapaian, melainkan ada dalam proses yang dinikmati.
Guru saya mengumpamakan seperti orang yang sedang makan. Kebahagiaan tidak terletak pada saat dia kenyang. Justru dia rasakan ketika proses menikmati dengan lahap menu yang tersedia di atas meja. Sebaliknya, ketika kenyang, sudah tak lagi diisi, banyaknya makanan yang tergelar di meja justru membuat sedih. Makanannya enak-enak, tapi perut sudah full. Karena dunia itu sedikit, bukan hanya dari dimensi materi dunianya, juga kapasita kita tidak memenuhi untuk mencakup semua dunia.
Mungkin menjadi orang kaya sebagai impian semua orang, namun ketika kekayaan itu datang mendadak. Anda yang mungkin selama ini hidup miskin, tiba-tiba menjelma menjadi orang kaya raya yang tak tertandingi, maka Anda akan mengalami shock. Kekayaan itu mengaktivkan berbagai keinginan Anda. Makin banyak dan menumpuk keinginan bukan malah mendatangkan kebahagiaan, justru memancing menguarnya penderitaan di ruang jiwa.
Intinya, dengan tawakal, seseorang tidak dibayangi ketakutan akan apa yang terjadi. Sehingga dia bisa menikmati proses yang sedang dijalani. Dengan tawakkal hati menjadi tenang. Dengan tenang, kita bukan bisa menikmati proses, tapi juga akan muncul bermacam inspirasi dari hati yang tenang. Bukankah ide-ide brillian datang dari kondisi yang tenang?
Tawakkal dan ikhtiar ibarat sepeda motor. Di sepeda motor terpasang as yang menancap kokoh, tidak pernah goyang. Dan kemudian terpasang roda. Rodanya sifatnya terus bergerak. Gerak roda tentu berjalan untuk menggapai tujuan. As bersifat statis, sementara roda bersifat dinamis. Bayangkan, kalau as juga ikut bergerak ketika sepeda motor sedang dikendarai, niscaya yang terjadi adalah goyang, dan bisa jadi ada kecelakaan.
Karena tawakkal tidak hanya dipakai setelah usaha. Tawakkal sudah dipakai bahkan sejak sebelum usaha dimulai. Dikala usaha yang dijalani disertai tawakkal, maka usaha yang dilakukan akan lebih powerful oleh karena diiringi dengan kekuatan dari Allah. Jadi, jika Anda hendak mendatangkan energi Tuhan dalam aktivitas yang kau jalani, maka tawakkallah pada Allah. Ketika ikhtiar dan tawakkal berjalan bersamaan, insya Allah manusia akan menembus ketidakmungkinan yang menurut logika sulit digapai. Disebut dengan realitas yang melampaui logika.
0 comments