-->

Tanpa Cinta, Bumi Bagai Kuburan

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Tanpa Cinta, Bumi Bagai Kuburan

28 April 2025

Tanpa Cinta, Bumi Bagai Kuburan

28 April 2025


 


Melalui cinta, semesta mengada. Semesta juga terpelihara tersebab cinta. Memang cinta tidak terlihat, tapi dampaknya nyata di lanskap kehidupan. Bayangkan, bagaimana Allah menciptakan manusia melalui rahim seorang ibu. Dari situ, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa manusia diciptakan dengan cinta. Manusia juga bisa melangsungkan hidupnya tersebab cinta Allah yang mengalir. 

Bayangkan, tanpa cinta dari Allah, kita tak bisa melihat, tidak bisa mendengar, tidak bisa mencicipi makanan yang enak. Semua kenikmatan yang kita reguk berasal dari rahmat Allah. Bahkan, ketahuilah kemerdekaan bangsa yang kita raih juga berkat rahmat Allah. Karena berasal dari rahmat Allah, maka tak ada ruang bagi kita untuk merasa hebat, paling mulia, atau merasa paling suci dari siapapun. Karena semua pencapaian, baik yang bersifat lahiriah atau ruhani, sama-sama mengalir dari rahmat Allah.

Mungkin Anda menemukan orang yang telah mencapai prestasi yang luar biasa. Lalu dia merasa bahwa pencapaian itu karena usaha keras yang dia lakukan. Tapi nyatanya, prestasi itu tidak bisa dipertahankan apalagi ditingkatkan. Dia malah makin terseok, dan terperosot ke lumpur kegagalan yang dalam. Mungkin ada orang yang pernah mencapai titik keemasannya, tapi kemudian popularitasnya semakin kesini semakin memudar. Bahkan namanya hilang, ditelan oleh datangnya tokoh baru yang lebih fenomenal. Benar, jika ada orang yang mau sombong, selalu katakan, “Di atas langit, (masih) ada langit lagi”.


Kalau Anda merasa hebat, yakini bahwa ada orang yang lebih hebat daripada Anda. Pada akhirnya, Anda sadar bahwa kehebatan manusia bukan diukur dengan prestasi yang diukirnya, tapi sangat ditentukan dengan batinnya yang berhias akhlak mulia. Makin mulia akhlak seseorang, maka kebahagiaan makin meningkat. 

Kita bisa belajar dari kisah Fir’aun. Dia telah menggapai puncak pencapaian terhebat dalam hidupnya. Seolah seluruh penduduk tunduk padanya. Walhasil dia mendeklarasikan dirinya sebagai Tuhan. Meski sebenarnya di relung hatinya, dia tidak terlalu yakin dengan ketuhanan dirinya. Seakan sebuah sikap yang sangat dipaksakan. Di tengah batas pencapaian yang sangat hebat, ternyata diam-diam dia tidak hanya bisa mempertahankan kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki. 

Bukan hanya kekuasaan dan kekayaan yang tak bisa dia pertahankan, bahkan dirinya “yang mengaku” Tuhan juga tak bisa dipertahankan. Semua pengakuan yang dikoar-koarkan habis ditelan oleh hilangnya semua kediriannya. Bersamaan dengan kematiannya, bukan hanya orang lain yang tak lagi mengakuinya sebagai tuhan. Bahkan dirinya sendiri sama sekali tidak mengakui sebagai tuhan. Dan berbalik mengakui Allah Swt sebagai Tuhan Yang Hakiki. 

Sedari awal kita harus menyadari bahwa kita lahir ke bumi dengan rahmat Allah. Lalu membuat kita terus bergantung pada Allah tanpa jeda. Bergelayut terus pada Allah. Tanda seorang telah jatuh cinta pada Allah, dia akan senantiasa tergerak untuk bersandar pada Allah secara total. Dia tak “mengalihkan” rasa butuh pada selain Allah. Karena telah merasakan betapa pahitnya menambatkan harapan pada makhluk. Betapa banyak orang yang telah mengalami luka batin oleh karena bersandar pada makhluk. Makin sering bersandar pada makhluk, tanpa disadari, kita telah membiarkan diri kita dilukai. Sementara orang yang bersandar pada Allah, hidupnya akan selalu diisi dengan kebahagiaan yang sempurna. 


Jika Anda—sejak awal—bersandar pada Allah, maka Anda akan sampai pada Allah. Tapi, jika kau memilih bersandar pada selain Allah, alias pada makhluk, maka kau sedang membuka jalan ‘kekecewaan’ yang bertubi-tubi. Apa yang saya tuliskan ini bukan sebatas teori, tetapi sudah menjadi pengalaman yang nyata dalam hidup saya. Jadi, kalau Anda ingin hidup berujung bahagia, maka sejak awal bersandarlah pada Allah. Dan jangan pernah merasa aman dengan apa yang tergenggam di tangan. Apalagi yang berada di tangan orang lain. Anda hanya merasa aman dengan apa yang berada dalam genggaman atau jaminan Allah. Iya, kalau Anda merasa aman bersama Allah, benar Anda akan selalu merasakan kenyamanan. 

Lalu ridha pada Allah. Kalau kita benar tawakkal terkait masa depan, maka terkait apa yang terjadi, kita telah menyiapkan hati untuk selalu meresponnya dengan ridha. Mengapa ridha? Karena kita sadar sesadar-sadarnya bahwa setiap kenyataan yang datang di hadapan kita berasal dari Allah saja. Tidak dari yang lain. Sementara makhluk hanyalah sebagai peraga untuk merealisasikan kehendak Allah. Jika kesadaran ini telah memasuki dan menguasai kita, maka kita akan selalu ridha dengan jenis kenyataan apapun yang mendatangi kita. 

Ridha membuat orang hidupnya sejahtera. Terhindar dari perasaan kurang. Jika orang sudah sejahtera dan berkelimpahan, lalu apa yang bisa dilakukan? Tak ada yang dilakukan kecuali hanya memberi dan memberi saja. Kebahagiaan tidak lagi terletak pada seberapa banyak yang dia dapatkan, tetapi diukur oleh seberapa banyak yang diberikan dan dilepaskannya. Sepertinya ia menanam kebahagiaan di hati orang lain, tapi tumbuh di medan hatinya sendiri. Bahkan, andaikan pohon, maka pohon kebahagiaan di dalam hatinya terus tumbuh subur oleh karena seringnya dia berbagi dengan orang lain. Kesedihannya tidak lagi terletak oleh karena tak terpenuhi keinginan pribadinya. Tapi, dia bersedih karena tidak bisa berbagi dengan orang lain. 

Jika Anda menjadi orang tua, sudah tak lagi berpikir untuk mendapatkan apalagi mengeruk sesuatu dari anak-anak kita. Akan tetapi, yang dipikirkan apa yang bisa diberikan bahkan diwariskan ke anak-anak kita. Sangat bahagia rasanya bisa memberi banyak kepada anak-anak. Begitulah cerminan orang yang jiwanya telah matang, maka dia selalu berpikir untuk memberi dan membahagiakan orang lain. 


Bukan hanya fokus membahagiakan orang lain, dia juga tidak terpengaruh dengan perlakuan buruk orang lain terhadap dirinya. Dia selalu berpikir, jika orang tidak berlaku baik—bahkan berlaku buruk—pada dirinya karena memang hanya bisa memberi keburukan. Bukankah orang hanya mengeluarkan apa yang menjadi isinya? Ketika berisi kebaikan, maka yang tercurah adalah kebaikan. Begitu sebaliknya. Seperti orang tua yang sangat memaklumi anak kecil yang selalu meminta, meronta, bahkan berteriak—tanpa sopan santun. Tentu saja perlu ada pmakluman. Mereka tak bisa kita paksa untuk memberi. Karena dia belum bisa memberi. Kecuali meminta saja. 

Kepada orang yang sering berlaku jahat bahkan kasihan, karena sebelum dia menyakiti orang lain sejatinya dia berulang kali menyakiti dirinya sendiri. Iya, hanya orang sakit yang selalu terdorong untuk menyakiti orang lain. Sementara orang yang baik selalu terdorong melakukan kebaikan semata-mata. 

Melihat Semuanya dalam Kacamata Cinta 

Di kala kau bisa melihat semuanya dalam kacamata cinta, maka sejauh mata memandang kau hanya melihat hamparan taman yang indah. Kau akan merasakan bukan hanya orang-orang baik yang bekerja sama. Bahkan orang baik dan orang buruk bisa bersinergi untuk meningkatkan kebaikan.

Sebagian orang memusuhi orang yang terbiasa mencaci maki kita, sehingga kita selalu mengerahkan energi untuk mengenyahkan, menyingkirkan, bahkan menghabisi mereka. Selintas pikiran mengabarkan betapa bahagia hidup tanpa hadirnya musuh. Musuh dianggap hanya menggerogoti kebahagiaan saja. 

Padahal, kalau mau merenung sejenak, bahwa kehadiran pencaci sebagai sparring partner untuk menguji ketangguhan kita, sekaligus menumbuhkan benih-benih kebaikan yang berada di dalam hati kita. Bayangkan, kalau Anda bersabar dengan cacian orang tersebut, maka pahala yang kau tambang tak terbatas, melampaui semua amal-amal lahiriah yang Anda lakukan. Bukankah pahala kesabaran tanpa batas? Dan tidaklah orang meraih ‘maqam sabar’ tanpa ada yang disabari. Iya, karena ada yang disabari itulah, orang kemudian layak disemati gelar sebagai orang yang sabar. Ketika Anda telah mencapai maqam yang tinggi, di sana Anda mereguk ketenangan bahkan kepuasan batin yang tak tergambarkan. Pada akhirnya Anda akan berterima kasih pada orang yang telah mengantarkan Anda menggapai maqam sabar. Kepada siapa? Kepada orang yang telah menguji kesabaran Anda. 

Anda bisa belajar pada purnama yang indah. Keindahan purnama sama sekali tidak terlihat, apabila menyeruak ketika matahari bersinar terik. Keindahan purnama justru terlihat ketika gulita. Bersamaan dengan terbitnya fajar pagi, maka purnama itu akan terlihat pucat pasi karena diterpa oleh matahari. Dari situ, maka kita belajar bahwa semua membimbing kita menuju kebenaran. Dan setiap perkara yang memandu pada kebenaran haruslah kita cintai dengan sepenuh hati. Apabila kita mencintai semuanya, insya Allah kita akan selalu mencerap kebahagiaan dalam setiap kenyataan. 


BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang