-->

Filsafat Aku

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Filsafat Aku

29 May 2025

Filsafat Aku

29 May 2025


Ketika ditanya, siapa yang paling kamu cintai? Mayoritas menjawab yang paling dicintai adalah aku. Bahkan segala cinta yang kupancarkan diharapkan kemudian bermuara dan kembali kepadaku. Manusia sangat mencintai dirinya sendiri. Saking cintanya, kadang dia mengorek-korek kotoran telinga dengan dengan cutton bud. Setelah berhasil didapatkan, tentu dia tahu bahwa kotoran itu berbau tidak enak, tapi tetap saja diciumi. Dengan tanpa bersalah.

Andai dipojokkan dan disalah-salahkan, dia akan tampil membela dirinya. Menangkis serangan yang mengarah pada dirinya. Meski tahu bahwa dirinya salah, tapi kalau disalahkan di depan umum, dia tidak terima. Lalu menyerang balik orang yang memojokkan. Saking besar cinta pada dirinya, manusia sangat melekat pada dirinya. Akhirnya mengkristal melalui takut akan kematian.

Andaikan manusia keluar dari belenggu “keakuannya”, maka dia telah meraih pencapaian yang hebat. Karena hijab terbesar manusia untuk mereguk kebahagiaan, alias menjalin perjumpaan dengan Allah, tidak ada lain kecuali keakuan.

Tentu Anda harus mengetahui dari mana keakuan itu terbentuk? Keakuan seperti sebuah tikar pandan yang dibentuk oleh garis dan lajur. Ketika garis dan lajur dikaitkan, lalu membentuk tikar. Andaikan kemudian lajur ditarik, dan garis ditarik, maka tikar pandan sudah tak ada lagi. Kalau begitu, aku sebenarnya tidak ada. Hanya bentukan baru. Lalu dengan apa keakuan dibentuk? Keakuan dibentuk oleh pikiran dan hawa nafsu. Iya, ketika pikiran dan hawa nafsu bersekutu, bersekongkol, dan membuat sebuah koloni untuk membangun keakuan. 

Keakuan membentuk seperti dinding. Hanya karena ada keakuan inilah, manusia akan gampang disakiti. Karena keakuan seperti ruangan. Ruangan itu banyak, dan lalu membangun perbedaan, diferensiasi, dan tingkat-tingkatan. Aku pula yang membawa manusia pada ruang pembandingan. Komparasi. Padahal, hanya dengan dibanding-bandingkan inilah, jiwa kita menjadi ciut, merasa tersingkir, merasa tidak berkembang, sehingga terus menyudutkan dirinya sendiri. Dia terkapar dengan jiwa yang rapuh.


Terkait dengan keakuan ini, saya teringat dengan ilustrasi yang disajikan oleh guru saya. Suatu saat, berhimpun berbagai macam es di warung. Disana ada es campur, es balok, es kerikil, dan lilin, dan beberapa jenis es lainnya. Mereka saling mengonfirmasi tentang dirinya yang berbeda dengan yang lain. Es campur memandang dirinya beda dengan es balok. Demikian juga es kerikil berbeda dengan es lilin. Dan seterusnya. Masing-masing merasa memiliki kekhasan. Hingga semua es mencair, timbullah kesadaran bahwa mereka sama-sama air. Iya, sama-sama berasal dari air.

Sebenarnya aku tidak ada. Hanya bentukan pikiran manusia. Dan selagi aku menyertai atau meliputi kita, kita akan mudah disakiti. Karena itu, perjuangan kita sebenarnya adalah bagaimana caranya mengikis atau meruntuhkan keakuan. Ketika kita tahu bahwa keakuan bukan sebenarnya. Keakuan bersifat palsu. Ketika orang telah berhasil meruntuhkan keakuan, dia tak lagi melihat aku yang individual, melainkan melihat aku yang universal. Kita akan mengubah pemahaman seperti halnya bermacam jenis es—yang semula—terbelenggu oleh bentuk-bentuk. Sampai kemudian seluruh es itu mencair, mereka sadar bahwa mereka sama-sama air. 

Begitu juga, ketika orang masih terbelenggu oleh keakuan, dia berpikir bahwa dirinya bukan orang lain. Bahkan dia selalu terbawa oleh dorongan untuk menampilkan sisi perbedaan dengan orang lain. Dia selalu menampakkan nilai tambah dirinya. Ujungnya, mengagungkan dirinya. Memahatkan dirinya sebagai monumen yang dipuja dan dibanggakan oleh dirinya sendiri. Itulah puncak keakuan.

Selagi orang terpenjara oleh keakuan, yang notabene hhasil persepsi yang dibangun oleh dirinya, dia tidak akan pernah bisa mendulang kedamaian, apalagi kepuasan batin. Lantas, apa cara yang perlu kita tempuh untuk mengikis keakuan yang sudah kadung berakar kuat pada diri kita?

Pertama, melalui tafakur. Tentu berbeda antara berpikir dan tafakur. Kalau berpikir masih lebih pada perkara keseharian, terkait untung rugi. Sementara tafakur merupakan cara berpikir secara radikal, menemukan akar dari kedirian kita. Selama ini mungkin saja kita, bahkan kebanyakan manusia, mengapung dalam persepsi bahwa kita adalah yang tampak di mata. Tubuh kita, pikiran kita, dan perasaan. Kita habiskan waktu untuk meladeni diri sesuai dengan yang kita persepsikan. Bayangkan karena salah persepsi tentang diri ketika kita punya uang. Dari sekian uang tersebut, lalu kemudian di hadapan kita ada orang yang sangat membutuhkan bantuan, dan seandainya membantu tidak banyak mengurangi kekayaan kita. Namun kita enggan untuk memberi. Sementara kalau berkait dengan makan-makan di restoran, meski harga melangit pun tetap dibayar. Seolah tak menyesal sama sekali.

Padahal, kalau coba direnungkan, apa yang kita makan, akan jadi kotoran. Akan tetapi, yang kita sedekahkan akan kekal. Menjadi investasi kelak di akhirat. Mengulang kembali pelajaran yang diperoleh melalui perbincangan Rasulullah Saw dengan Sayyidah Aisyah r.ah.

Di suatu kesempatan Rasulullah Muhammad Saw mendapat hadiah kambing dari seseorang. Lantas, Rasulullah menyerahkan pada Sayyidah Aisyah r.ah untuk disembelih, dan meminta agar nanti dagingnya disedekahkan. Sayyidah Aisyah r.ah melaksanakan perintah Nabi Muhammad Saw, dan membagikan seluruh daging kambing tersebut kecuali pahanya.

Rasulullah Saw datang menjumpai Sayyidah Aisyah r.ah sembari menanyakan apa yang telah dilakukan dengan kambing tersebut. “Saya sudah menyedekahkan seluruh daging kambing tersebut, kecuali pahanya milik kita”, lapor Aisyah r.ah.

Rasulullah Saw tersenyum mendapatkan laporan istrinya tersebut. Sembari beliau bersabda, “Seharusnya semua adalah milik kita kecuali pahanya”.

Dari perbincangan menyiratkan sebuah pesan bahwa yang menjadi milik kita bukan apa yang kita makan. Tapi apa yang kita berikan. Dan setiap yang kita berikan, mungkin tidak menjadi makanan fisik kita, tetapi pasti akan menjadi makanan ruhani kita. Buktinya, ketika kau bisa memberi dan membantu orang lain, ada kepuasan yang tiba-tiba menyusup ke dalam hati Anda.

Kalau kita merenungi ini bahwa diri kita yang sejati bukan yang fisik, melainkan yang ruhani. Fisik hanyalah semacam kendaraan untuk memelihara yang ruhani.

Selain itu coba kita renungkan, ketika orang mengidentikkan dengan yang fisik. Fisik akan terus mengalami perubahan, bahkan mengalami penyusutan energinya. Dulu ketika kecil, dengan hidung yang sering mimisan dan meler, kita mengusap ingus dengan tangan, tentu saja orang jijik melihatnya. Dan kini, kita sudah mulai menjaga fisik, terlihat terawat, bahkan cantik, kalau memang keluar ingus, akan menggunakan tisu yang diyakini aman dari virus. Dulu kita kucel, dan sekarang sudah berpenampilan rapi.

Meski kita memiliki penampilan berbeda dengan masa lalu, kita tetap menyadari bahwa kita yang sekarang adalah kita yang dulu. Tidak ada yang berubah. Bahkan, meskipun kita sudah berubah nama. Kan, biasanya orang yang sering sakit-sakitan, lalu dirubah nama oleh orang tuanya. Meskipun dia sudah berubah nama, misalnya, dari Anton pada Sakhruhkhan, diam-diam dalam hatinya masih merasa tetap sama. Bahwa Sakhrukhan yang sekarang adalah Anton yang dulu. Berarti diri yang sejati tidak pernah berubah.

Fisik bisa saja mengalami pembusukan, dimakan belatung, lalu kemudian yang tertinggal hanya ulang belulang. Akan tetapi, yang sejati (ruhani) akan tetap abadi. Karena ruh ini akan diminta pertanggung-jawaban atas setiap apa yang dilakukan selama di dunia. Kalau kita renungkan, ketika ada orang meninggal, maka tersiar di masjid, “Innallillahi wainnaa ilahi rojiun, telah meninggal dunia pak Syafaat”. Coba Anda renungkan, kiranya siapa yang meninggalkan dunia.

Jika dilihat dari fisik, Pak Syafaat masih ada. Tubuhnya terbujur kaku, lengkap dengan segenap anggota tubuhnya. Sejatinya yang meninggalkan dunia adalah ruh Pak Syafaat. Itulah yang sejati dari Pak Syafaat. Ketahuilah, ruh ini tidak memiliki dirinya sendiri, dia berada dalam pengetahuan dan kekuasaan Allah. Ruh inilah yang benar-benar menghamba kepada Allah. Ruh memasuki kesadaran tidak memiliki dan dimiliki kecuali dimiliki oleh Allah. Hubungan ruh dengan Allah seperti hubungan cahaya dan matahari. Cahaya adalah milik matahari, bukan matahari milik cahaya. Ruh milik Allah, bukan Allah milik Ruh. Manusia milik Allah, bukan Allah milik manusia. Dari situ, kita akan terus belajar kembali kepada pemilik sejati. Karena disanalah kebahagiaan itu bersemi.

Kedua, melalui tazakkur. Tazakkur kita memfokuskan perhatian dan kesadaran pada Allah, sehingga kita sirna di hadapan Allah. Seolah kita diliputi oleh keagungan Allah Swt. Seperti halnya, orang yang sedang terpesona dengan rembulan, maka dia telah tenggelam dalam keindahan rembulan. Dia sudah lupa dirinya karena tenggelam pada pesona rembulan. Demikian juga orang yang sedang berzikir, dia sedang tenggelam dalam keagungan Allah, sehingga tak lagi menyadari dirinya.

Jika seseorang telah terliput ingat pada Allah saja, maka dia akan senantiasa berada dalam kebahagiaan tak terperikan. Allah tidak lagi dipandang sebagai entitas yang jauh, tapi Allah sangat dekat, lebih dekat daripada apapun. Bahkan Allah menggambarkan bahwa Dia lebih dekat pada urat nyawa. Bayangkan, tanpa urat nyawa, kehidupan kita terputus. Bagaimana nasib kita jika jauh dari Allah?

Zikir yang bisa memupus keakuan bukan zikir yang hanya dirapal dengan lisan. Melainkan zikir yang terserap hingga pada kesadaran. Selalu menyadari akan kehadiran Allah dalam setiap waktu dan keadaan. Bahkan, semuanya diliputi oleh Dia. Sehingga tak ada ruang yang tanpa Dia. Kita pun—secara keseluruhan—diliputi oleh Allah.

Ketiga, melalui jalan melayani. Melayani menjadi jalan efektif mengikis keakuan. Karena kecondongan nafsu adalah dilayani, sementara orang yang suka melayani berarti dia sedang membelakangi nafsu. Semula dia seperti membelakangi diri menghadap makhluk, tapi kemudian dia digerakkan untuk membelakangi segala sesuatu dan menghadap pada Allah. Secara lahir, dia melayani makhluk, tapi batinnya dialiri kesadaran bahwa dia sedang melayani Allah. Bahkan sampai pada situasi, sejati pelayan, pelayanan, dan yang dilayani hanya satu. Sama-sama Dia. Ketika seseorang telah sampai pada kesadaran ini, maka dia sudah tak lagi memiliki ruang untuk mengklaim amal sebagai miliknya. Dia telah larut dalam samudera laa hawla walaaquwwata illaa billah.   


BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang